“Puasa Menurut Pandangan Buddhisme”

Oleh: Y.M. Bhikkhu Thanavaro Thera, B.A., M.Ed.

Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa.

Dalam Buddhisme dikenal se­buah istilah yang dapat diartikan se­bagai “puasa”.  Tetapi puasa yang dimak­sud masih diperbolehkan untuk minum, sehingga umat Buddha yang mempraktikkan puasa tidak akan mengalami dehidrasi atau kehilangan cairan tubuh yang secara medis dapat mengganggu kesehatan fisik maupun batin.

Menurut H.H. Mitchell, Journal of Biological Chemistry 158, otak dan jantung terdiri dari 73 persen air, dan paru-paru sekitar 83 persen air. Setiap fungsi dalam tubuh tergantung pada air, termasuk kegiatan otak dan sistem saraf. Otak adalah salah satu organ paling penting dalam tubuh yang fung­sinya tergantung pada akses air yang berlimpah.

Air memberikan otak energi elek­trik untuk semua fungsi otak, terma­suk proses berpikir dan memori.

Menurut Dr. Corinne Allen, pen­diri Advanced Learning and Development Institute, sel-sel otak mem­butuhkan dua kali lebih banyak energi daripada sel-sel lain dalam tubuh.

Istilah puasa dalam Buddhisme di­kenal dengan nama Uposatha. Secara harfiah istilah Uposatha berarti masuk untuk berdiam diri ( dalam keluhuran ).  Kata puasa dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yaitu puvasa (baca: puwasa) yang terdiri dari kata “pu” (membersihkan, me­mur­nikan) dan “vasa” (baca: wasa – berdiam, tinggal). Ada penafsiran bah­wa kata Uposatha ( bahasa Pali) berasal dari kata upavasatha — di ma­na ava menjadi o — yang memiliki makna berdiam dalam, berdiam de­kat, mengamalkan, menjaga, mera­wat. Dalam puasa Buddhis atau upo­satha, umat Buddha melakukan prak­tik latihan pelaksanaan 8 moralitas (attha-sila) yang disebut juga uposatha-sila karena dilakukan pada hari uposatha yang bertujuan untuk membersihkan diri dari kekotoran batin.

Hari Uposatha, umumnya jatuh se­tiap tanggal 1, 8, 15, 23 dalam pe­nang­galan lunar .

Pada hari-hari ini, umat awam yang berbhakti , berusaha melatih diri dengan menjalankan Atthasila, mem­bawa persembahan ke vihara dan me­ngisi waktu mereka di vihara dengan puja bhakti, belajar dhamma, dan meditasi.

Sistem penanggalan di India kuno membagi sebulan menjadi dua bagian (pakkha, paksa) : (1). sukka-pakkha (Jawa Kuno, suklapaksa) : paruh te­rang (hari setelah bulan gelap dihi­tung sebagai hari ke-1, sampai dengan hari saat bulan purnama);

(2). kala/kanha-pakkha (Jawa Kuno, kresnapaksa) : paruh gelap/susut (hari setelah bulan purnama dihitung sebagai hari ke-1, sampai dengan hari saat bulan gelap total).

Uposatha jatuh pada hari ke-8 dan ke-14 atau ke-15 dari paruh terang atau paruh gelap (catuddasi pañcadasi atthami ca pakkhassa). Kalau paruh bulan (pakkha, paksa) tersebut memiliki 15 hari maka yang dipakai adalah hari ke-15, tetapi bila hanya memiliki 14 hari maka yang dipakai adalah hari ke-14. Jadi, dalam satu bulan ada empat hari uposatha.

Uposatha-sila atau attha-sila terdiri dari:

1. Panatipata veramani sikkhapa­dam samadiyami. ( Aku bertekad me­latih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup).

2. Adinnadana veramani sikkha­padam samadiyami.(Aku bertekad melatih diri mengindari pengambilan barang yang tidak diberikan).

3. Abrahmacariya veramani sik­kha­padam samadiyami. (Aku berte­kad melatih diri mengindari hubu­ngan seksual ).

4. Musavada veramani sikkha­pa­dam samadiyami. (Aku bertekad me­la­tih diri menghindari berbohong).

5. Suramerayamajjappa­madat­thana veramani sikkhapadam sama­diyami. (Aku bertekad melatih diri menghindari minuman memabukan yang menyebabkan lemahnya kesa­daran)

6. Vikalabhojana veramani sikkha­pa­dam samadiyami. (Aku bertekad me­latih diri menghindari makan ma­kanan setelah tengah hari).

7. Naccagita-vadita-visuka­das­sana-malagandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami.( Aku bertekad melatih diri menghindari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukan; me­makai perhiasan untaian bunga, we­wangian, dan barang kosmetik de­ngan tujuan untuk memperindah tubuh).

8. Uccasayana-mahasayana vera­mani sikkhapadam samadiyami. (Aku bertekad melatih diri menghin­dari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi  dan besar (mewah)).

Lima faktor bagi sila ke-1 adalah :

1. Pano-keberadaan makhluk hidup.

2.  Panasannita - menyadari bahwa itu adalah makhluk hidup.

3. Vadhacittam - niat untuk mem­bunuh.

4. Upakkamo - usaha untuk mem­bunuh.

5. Tena maranam - mengakibatkan kematian makhluk hidup tersebut.                           

Lima faktor untuk sila ke-2 :

1. para-pariggahitam -  benda-benda yang ada pemiliknya.

2. para-pariggahita-sannita - mengetahui ada pemiliknya.

3. theyya-cittam - niat untuk men­curi.

4. upakkamo - usaha untuk men­curi.

5. tena haranam -  benda-benda ter­curi akibat usaha tersebut.

Dua unsur pokok sila ke-3 menurut KaNkhavitaraNi dan Ulasan Brah­majala-sutta :

1. sevanacitttam : niat untuk berhu­bu­ngan seksual.

2. maggena maggappatipadanam : kontak seksual melalui salah satu lu­bang (alat kelamin, anus atau mulut).

Empat unsur pokok sila ke-3 me­nurut Ulasan Khuddakapatha :

1. ajjhacaraniya-vatthu : dasar atau jalur untuk perbuatan salah.

2.  tattha-sevanacittam : niat untuk melakukan hubungan seksual melalui salah satu dari jalur yang disebutkan di atas.

3. sevanappayogo : usaha untuk berhubungan seksual.

4. sadiyanam : perasaan senang.

Sila ke-4 mempunyai empat faktor:

1. atatham-vatthu - hal yg tidak benar.

2. visamvadana-cittam - niat untuk berbohong.

3. tajjo vayamo - usaha dilakukan.

4. parassa tadattha-vijananam - pihak lawan mengerti apa yang dikatakan.

Sila ke-5 mempunyai empat faktor:

1. madaniyam - minuman keras.

2. patu-kamyata-cittam - niat untuk meminum.

3. tajjo vayamo - usaha dilakukan.

4. pitappavesanam - minuman ke­ras berhasil diteguk melewati teng­gorokan.

Empat unsur pokok sila ke-6 :

1. vikalo : waktu dari tengah hari hing­ga subuh keesokan harinya.

2. yavakalikam : makanan atau sesuatu yang dianggap makanan.

3. ajjhoharanappayogo : usaha untuk makan.

4. tena ajjhoharanam : tertelannya makanan itu melalui usaha tersebut.

Empat jenis makanan atau minu­man (bagi seorang pabbajita) :

1. yava-kalika (sebatas waktu).

Semua jenis makanan bhojana (makanan utama yang kadang-ka­dang diterjemahkan sebagai makanan lunak) dan khadaniya (makanan pendamping yang kadang-kadang di­terjemahkan sebagai makanan keras. Susu masuk dalam golongan ini).

1. yama-kalika (sebatas semalam).

Jus buah-buahan (dengan ukuran maksimal sebesar kepalan tangan), jus tebu, jus akar teratai (semuanya sudah disaring alias bebas dari am­pas).

1. sattaha-kalika (sebatas tujuh ha­ri).

Lima jenis obat-obatan yaitu gi (sappi), mentega segar (navanita), minyak (tela), madu (madhu), dan air gula (phanita).

4.yava-jivika (seumur hidup).

Semua bahan yang tidak termasuk dalam kategori di atas, dimasukkan dalam kategori ini (misalnya akar-akaran, dedaunan yang sudah dike­ringkan, serta obat-obatan herbal lainnya).

Bagi mereka yang mengambil sila “menghindari makan pada waktu yang salah”, jenis makanan atau mi­numan pertama hanya boleh disantap antara waktu terang tanah (garis ta­ngan mulai tampak pada jarak sepe­rentangan tangan, atau hijau daun mu­lai tampak) dan tengah hari (waktu di mana matahari mencapai titik kul­minasi tertinggi). Jenis yang kedua (mi­numan jus tanpa ampas) boleh diminum sepanjang hari. Sedangkan yang ketiga (lima jenis obat-obatan) boleh diminum sepanjang hari. Jenis yang ke-empat adalah air rebusan dari akar-akaran, dedaunan, kulit pohon, obat atau sari herbal lainnya yang telah dikeringkan boleh diminum sepanjang hari (termasuk obat-obatan kimiawi atau vitamin lainnya).

Bagian I dari sila ke-7 memiliki tiga unsur pokok :

1. naccadini : hiburan seperti nya­nyian, tarian, dan sebagainya.

2. dassanatthaya gamanam : pergi menonton.

3. dassanam : menonton atau men­dengarkan.

Bagian II dari sila ke-7 memiliki tiga unsur pokok :

1. maladinam aññatarata : hiasan un­tuk memperindah diri seperti bu­nga, parfum dan sebagainya.

2. anuññatakarana bhavo : kecuali sedang sakit, penggunaan benda-benda demikian tidak diizinkan.

3. alamkata-bhavo : menggunakan hiasan dengan niat untuk memper­cantik diri.

Tiga unsur pokok sila ke-8 :

1. uccasayana-mahasayanam : tem­pat tidur yg tinggi atau besar (me­wah)

2. uccasayana-mahasayana-sañ­ñita : menyadari bahwa itu adalah tem­pat tidur yang tinggi atau besar.

3. abhinisidanam va abhinipaj­janam va : duduk atau berbaring di tempat tidur tersebut.

Uposatha-sila atau attha-sila bia­sanya diambil pada pagi hari . Boleh mengambilnya dari seorang bhikkhu atau kalau tidak memungkinkan maka boleh ber-adhitthana sendiri dengan mengucapkan satu per satu dari sila atau cukup ber-adhitthana, “Hari ini saya akan menjalankan uposatha-sila (atau attha-sila).”

Jika Attha-sila  ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tentu akan membawa berkah yang besar  dimasa kini ataupun masa yang akan datang.

Dalam Digha Nikaya; Maha Pari­nibbana Sutta, Guru Agung menga­takan: "Ia yang melaksanakan Sila dengan baik, nama harumnya tersebar luas hingga sampai ke alam dewa; Ia akan memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma (lahir dan batin); Tanpa ketakutan dan keraguan; ia dipuji oleh orang yang bijaksana; meninggal de­ngan tenang; dan terlahir di alam surga. "

Memahami arti penting mengenai puasa dalam Buddhisme maka sudah sepantasnya kita sebagai umat Buddha  senantiasa selalu berusaha untuk menjalankannya dalam setiap hari Uposatha, sebagai sarana untuk terea­lisasi nya cita-cita luhur pembebasan tertinggi.

Sabbe satta  bhavantu sukhi­tatta.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia

()

Baca Juga

Rekomendasi