Oleh: Abul Muamar
SAYA baru saja selesai makan saat mendengar adzan Isya berkumandang. Itu berarti saatnya untuk berangkat ke langgar. Sejak pagi, saya memang sudah sangat berniat untuk tarawih. Dengan tergopoh-gopoh saya bergegas, mengambil wudhu, dan berpakaian rapi.
Tiba di langgar salat Isya sudah dimulai. Untungnya masih rakaat pertama. Yang datang tak ramai. Hanya dua syaf di depan terisi penuh. Sedang syaf ketiga hanya diisi dua orang. Saya bergabung di syaf ketiga. Terikutilah salat Isya oleh saya dan kemudian lanjut tarawih.
Di langgar tempat saya salat, tarawih dilaksanakan 20 rakaat, ditambah tiga rakaat salat witir. Begitulah sejak dari dulu sampai sekarang. Sejak saya kecil sampai sekarang saya beranak tiga dan bercucu dua.
Empat rakaat pertama tarawih selesai. Sekonyong-konyong, entah kapan datangnya, terlihat saya seorang bocah kecil di syaf paling belakang. Syaf keenam jika dihitung dari jumlah karpet sajadah yang terbentang. Bocah itu sendirian. Umurnya sekitar 4 atau 5 tahun, menurut taksiran saya. Saya lihat bocah itu malu-malu karena saya lihati. Dia lucu, menggemaskan. Saya tersenyum dan dia tersenyum karena saya tersenyum.
Seruan untuk rakaat selanjutnya atau rakaat kelima dan keenam atau dua rakaat yang ketiga, dikumandangkan. Para jamaah menyahut dengan semangat, termasuk bocah kecil tadi meskipun lafaz yang dia ucapkan cuma asal bunyi saja. Yang dewasa juga banyak yang menyahut asal sahut. Bagi mereka, yang penting adalah menyahut. Tak masalah salah asal bunyi sahutannya sebunyi dengan jemaah yang lain.
Berdirilah para jamaah dan mengangkat takbir. Saya masih memperhatikan anak itu. Anak itu mulai lesu, mulai malas, mulai terkantuk-kantuk. Saya perhatikan terus anak itu sampai dia berdiri dan melipat tangannya di atas perut - salat.
Dalam hati saya berpikir, mungkin karena dia sendiri yang anak-anak, makanya dia tak semangat. Mungkin dia kecapekan karena kebanyakan bermain di siang hari. Saya maklum, dia masih anak-anak. Kalaupun ada teman sebayanya, belum tentu salatnya akan lebih baik. Malah dia mungkin akan salat sambil bermain-main.
Rakaat demi rakaat pelan tapi pasti tertunaikan. Saya merasa tertarik untuk terus memerhatikan anak itu. Seakan ada daya tarik yang maha dahsyat yang membuat saya harus memerhatikannya. Tiap dua rakaat selesai, perhatian saya tak pernah tidak tertuju ke anak itu. Saya lihat dia selalu malu-malu ketika saya lihati. Kadang saya perhatikan dia khusyuk ketika saya perhatikan. Sebentar kemudian, tidak khusyuk lagi dia kalau tidak saya perhatikan.
Ketika hendak memulai dua rakaat yang kesekian, saya lagi-lagi menyempatkan memerhatikan anak itu. Untuk memastikan apakah dia sudah melipatkan tangannya secara benar dan salat dengan khusyuk atau tidak. Sampai-sampai kekhusyukan saya sendiri yang menjadi terusik. Setiap kali salat berlangsung, saya tergerak untuk melirik anak itu. Kadang dia tidur-tiduran atau cuma duduk. Kadang dia bermain-main sendirian. Saya tak bisa memalingkan lirikan mata saya dari anak itu. Bahkan saat tengah bersujud, saya pun menyempatkan diri mengintip ke belakang ke anak itu.
Untuk yang kesekian kalinya pada rakaat kesekian, saya perhatikan anak kecil itu tidak ada pada tempatnya semula. Anak kecil itu tiba-tiba sudah berada di syaf sejajar dengan saya. Kami hanya dipisahkan oleh dua jamaah lain.
Kali ini anak kecil itu sudah remaja. Dia bukan lagi kecil seperti yang tadi saya lihat. Tingginya hampir menyamai tinggi saya. Dari fisiknya, umurnya saya taksir sekitar 14 atau 15 tahun. Selesai dua rakaat yang kesekian, saya tak tahu lagi rakaat keberapa karena saya gagal mempertahankan hitungan saya. Saya sebenarnya ingin sekali menyapa anak itu, untuk menanyakan kenapa dia tiba-tiba pindah. Saya ragu. Saya khawatir saya dianggap tak khusyuk - walaupun sebenarnya memang benar demikian.
Doa di antara dua rakaat salat selesai. Saya mencoba mengambil kekhusyukan dengan memejamkan mata. Begitu selesai, saya lihat anak itu tak lagi ada di syaf yang sejajar dengan saya. Anak remaja itu sudah kembali ke belakang. Kembali menjadi kecil seperti semula. Saya makin tak habis pikir. Saya meyakinkan diri bahwa saya hanya berhalusinasi.
Kembali lagi, saya memerhatikan anak kecil itu. Anak kecil itu malu-malu. Saya akhirnya kagum pada anak kecil itu. Meskipun lesu-lesuan, dia masih mau salat tarawih, masih mau datang ke langgar. Hanya dia satu-satunya anak kecil.
Pada malam Ramadan yang nyaris mendekati Lebaran begini, anak-anak seumuran dia lebih banyak keluyuran. Bermain petasan, atau sekadar kejar-kejaran di luar sana. Anak ini tidak. Dia tetap melawan malasnya, melawan hasrat kekanak-kanakannya. Boleh jadi dia terpaksa karena perintah orangtuanya. Meskipun mungkin benar demikian, setidaknya dia nurut–anak yang langka ditemui sekarang ini.
Tarawih terus berlanjut. Saya kembali mengintip anak itu lewat ujung mata saya. Ketika dua rakaat kesekian lagi selesai. Saat saya menoleh ke belakang, anak itu hilang lagi. Anak itu tahu-tahu sudah berada di syaf paling depan. Kali ini saya lihat anak itu jadi bilal, mengumandangkan seruan-seruan tarawih. Anak itu menjadi remaja yang hampir dewasa. Saya terperanjat. Saya kucek-kucek mata saya, saya geleng-gelengkan kepala saya, untuk memastikan bahwa yang saya lihat tidak benar. Hasilnya sama. Anak itu masih di depan, masih jadi bilal. Suaranya merdu, keras, tegas. Anak itu berubah menjadi remaja setengah dewasa yang sepertinya begitu fasih dengan tugasnya. Wah, saya jadi iri.
Saya tak percaya apa yang saya lihat. Saya pun pergi sejenak ke tempat mengambil wudhu untuk membasuh wajah. Ketika saya masuk kembali ke dalam, saya lihat anak itu sudah kembali di syaf belakang. Lega saya. Ternyata benar tadi saya berhalusinasi.
Dua rakaat demi dua rakaat terus berjalan. Tiba-tiba saya lihat anak itu tak ada lagi di belakang. Dia pindah lagi ke depan. Paling depan bahkan! Kali ini dia jadi imam. Saya semakin tak percaya. Salat saya semakin tak khusyuk saja jadinya. Tanpa mengucek mata, saya langsung memprotes, saat jamaah tengah khusyuk.
“Sebentar! Bagaimana saudara-saudara membiarkan anak itu jadi imam!”
Seluruh jamaah kaget, menoleh ke arah saya. Termasuk juga jamaah perempuan yang berada di belakang yang dipisahkan dengan kain. Mereka pada mengintip, berjinjit dan mendongak ke arah saya.
“Masjid ini sudah gila!” teriak saya lagi.
Seluruh jamaah memandangi saya. Sebagian murka terhadap saya. Sebagian lagi, yang merasa mengenal saya, menenangkan yang marah dan menegur saya dengan sopan.
“Pak Uum, jangan ribut. Orang jadi terganggu,” seorang jamaah menegur saya dengan lembut.
Saya jadi malu. Tiba-tiba anak kecil yang saya lihat jadi imam di depan tadi sudah tidak ada. Anak kecil itu kembali lagi ke belakang. Saya, sekali lagi, jadi sangat malu.
Dua rakaat berikutnya selesai, anak kecil itu tiba-tiba berubah menjadi sesosok laki-laki tua yang lumpuh, yang nampaknya tak lagi bisa berdiri. Umurnya sekitar 80 tahun. Saya pandangi dia. Raut wajahnya seperti tak asing. Melihatnya, saya merasa seperti anak kecil, yang malu-malu karena dilihatinya.
Sejurus kemudian, saya benar-benar berubah jadi anak kecil. Anak kecil yang bahkan belum mengerti mengerjakan salat, tapi merasa penting untuk tetap datang ke langgar dan salat. Laki-laki tua jelmaan anak kecil itu berubah menjadi lebih muda, menjadi pria dewasa, umurnya sekitar 45 tahun.
Pria itu kemudian mendekati saya dan berkata kepada saya yang sudah berubah menjadi kecil, “lama kau tak nampak, Nak. Kemana saja?”
Saya terdiam lama sebelum menjawab.
“Maaf, Wak. Saya kerja. Mencari harta dan kekayaan. Alhamdulillah, harta saya sekarang banyak, Wak. Banyak sekali. Tak bisa dihitung jumlahnya. Selama ini saya tak sempat salat karena saya tak punya waktu.”
Pria itu tersenyum rendah. Tak lama, saya mendapati tubuh saya tak lagi kecil, sudah kembali seperti sedia kala. Pria itu kembali berubah menjadi anak kecil seperti semula.
Saya merasa malu dan sedih. Salat telah memasuki Witir, saya masih juga terbata-bata dalam salat. Apalagi dalam bacaannya. Saya hampir-hampir sepenuhnya lupa bagaimana caranya salat. Saya meraba-raba dalam salat, anak kecil itu masih terlihat oleh mata saya. Dia mengerjakan salat dengan khusyuk, sendirian, meski lesu-lesuan.
Akhirnya saya dapat merasakan ketidakasingan dari diri anak kecil itu. Saya yakin saya mengenal anak itu - anak yang setiap hari ke langgar. Apalagi pada bulan Ramadan, ikut tarawih dan tadarus; anak yang meskipun tak mengerti betul tentang salat dan bacaannya, tapi tetap datang untuk salat.
Ketika Witir selesai, pandangan anak itu berubah sinis, tajam, dengan mata yang marah. Matanya merah. Kali ini saya yang dibuat malu karena dipandanginya.
Saya tertunduk: betapa lama saya tak menyentuh langgar, mencium sajadah, bersembah sujud. Betapa saya dulu pernah sangat akrab dengan itu semua.