Oleh: Posman Sibuea.
Kita patut mengapresiasi dengan baik upaya pengawasan keamanan pangan yang dilakukan Pemerintah Kota Medan pada penyelenggaraan Ramadhan Fair pada tahun ini. Dari pengawasan yang dilakukan BPOM Medan bersama Badan Ketahanan Pangan (BKP) Medan pada awal minggu ini menemukan makanan yang diduga menggunakan formalin.
Untuk itu masyarakat harus waspada. Pasalnya, ada dugaan di sejumlah pasar tradisional lainnya juga beredar makanan yang mengandung formalin dan produk pangan olahan yang tidak memiliki izin edar resmi. Hal ini mengingatkan kita pada kejadian beberapa tahun silam, isu makanan berformalin menjadi buah bibir dan berita hangat di berbagai media.
Sekarang bahan pengawet mayat yang tidak berwarna dan berbau amat menusuk ini kembali ditemukan pada sejumlah produk makanan. Ini mengindikasikan pengawalan keamanan pangan masih lemah. Kasus makanan berformalin adalah puncak gunung es yang menggambarkan besaran masalah yang tersembunyi jika kasus buruknya keamanan pangan muncul. Bila satu jenis produk makanan berformalin ditemukan, dapat diduga puluhan bahkan ratusan produk makanan olahan lainnya menggunakan formalin sebagai pengawet namun tidak muncul ke permukaan akibat kurangnya pemberitaan.
Pelajaran Berharga
Isu formalin yang sempat menggegerkan masyarakat di awal 2006 sesungguhnya dapat menjadi bahan pelajaran berharga guna menyadarkan masyarakat akan bahaya formalin pada makanan. Saat itu masyarakat untuk beberapa saat sempat menghindari tahu, mi basah, dan ikan basah dari menu hariannya. Akibatnya, sejumlah produsen tahu dan mi basah sempat mengalami keterpurukan usaha.
Sayangnya, karena kita adalah bangsa pelupa, teror formalin yang menghebohkan itu tidak diingat lagi karena tertelan kesulitan hidup sehari-hari. Isu formalin pun reda. Namun, seiring dengan radanya isu formalin, adakah pihak yang menjamin tidak ada lagi penggunaan formalin untuk makanan?
Meski Kementerian Perdagangan telah mengatur tata niaga formalin untuk membatasi peredaran formalin secara bebas, sejumlah produsen makanan olahan mengaku masih mudah menemukan bahan pengawet yang satu ini. Secara teoretis formalin tidak diperjualbelikan secara bebas di pasaran dan konsumen yang akan membeli harus menunjukkan identitas diri dan menyatakan tujuan pembeliannya.
Penjualan secara bebas formalin di pasaran dibuktikan dari hasil penelitian Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari uji formalin yang dilakukan pada tahu dan ikan asin, 40% dari 28 sampel yang diuji dinyatakan positif mengandung formalin. Hal sama juga ditemukan Badan POM di seluruh Indonesia. Pada pemantauan yang dilakukan setiap enam bulan sekali, selalu ditemukan makanan berformalin di pasaran, meski hasilnya selalu menurun.
Pertanyaannya, bagaimana sesungguhnya mekanisme pengawasan tata niaga formalin yang konon sudah diatur pemerintah itu? Ke depan, Kementerian Perdagangan harus lebih ketat mengawasi lalu lintas jual beli zat pengawet yang amat membahayakan kesehatan ini. Pasalnya, pihak produsen makanan masih menganggap pemakaian formalin untuk mengawetkan berbagai produk makanan bukan perbuatan kejahatan karena belum ada sanksi hukum berat bagi penggunanya.
Kita sudah memiliki tiga undang-undang (UU) yang secara eksplisit mengatur perdagangan makanan dan minuman yang aman untuk kesehatan, yakni UU tentang Kesehatan, UU tentang Pangan, dan UU tentang Perlindungan Konsumen. Namun, ketiga UU ini belum dimaksimalkan perannya untuk menghentikan pemakaian bahan-bahan berbahaya dalam makanan sehingga masih banyak beredar berbagai produk pangan olahan yang tidak aman bagi kesehatan.
Hak atas Keamanan
Konsumen mempunyai hak atas keamanan untuk produk pangan. Ini diatur dalam Pasal 4 UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal senada disebutkan dalam UU No 18/2012 tentang Pangan. Produk pangan yang aman merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.
Namun, setiap kali keamanan pangan berbenturan dengan akal-akalan pelaku industri pangan, kita kembali tersentak karena pengalaman tidak pernah kita jadikan pelajaran. Tragedi biskuit beracun, 1989; kasus mi instan beracun, 1994; dan tragedi mi basah dan tahu berformalin, 2005, tampaknya tak cukup menjadi ‘lampu kuning’ bagi pemerintah untuk menata kembali keamanan pangan berkelanjutan.
Kebiasaan masyarakat menggunakan formalin untuk mengawetkan makanan, sesungguhnya menunjukkan persoalan kita yang kian kompleks, dalam artian ancaman formalin barulah sebagian dari masalah besar yang dihadapi bangsa ini. Naiknya harga kebutuhan sehari-hari seperti minyak goreng, susu, beras, dan minyak tanah adalah persoalan lain yang membawa rakyat ke dalam proses pemiskinan.
Perkembangan teknologi pangan yang kian pesat belakangan ini memosisikan penyedap rasa, pewarna, pemanis, dan pengawet sintetik kian mendapat tempat di hati masyarakat. Nenek moyang kita yang hidup bersahaja dan akrab dengan alam, cukup menggunakan kunyit, daun pandan, dan rempah alami sebagai pelengkap masakan. Namun, ketika makanan diposisikan sebagai komoditas ekonomi guna meraup untung, pedagang ‘nakal’ kerap menggunakan bahan tambahan pangan melampaui takaran yang dianjurkan atau bahkan menambahkan bahan yang tidak semestinya digunakan.
Mudahnya memperoleh berbagai bahan pengawet yang dilarang membuat persoalan keamanan pangan bergulir bak bola salju. Keinginan konsumen mendapatkan tahu yang kenyal mendorong produsennya menggunakan bahan pengawet formalin. Dengan alasan sulit memperoleh pengawet yang aman dan murah, ditambah kurangnya pengawasan kian memperluas penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan.
Penggunaan formalin dalam bahan makanan sejatinya menyisakan bahaya bagi kesehatan. Seperti sifat desinfektan pada umumnya, formalin dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, cendawan, atau kapang. Selain itu, zat pengawet ini dapat mengeraskan jaringan tubuh sehingga dengan kadar 3%-4% digunakan untuk mengawetkan mayat atau bahan biologi dan patologi lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 722/Menkes/Per/IX/1988, formalin termasuk bahan kimia yang tidak boleh digunakan untuk bahan makanan. Formalin yang mengandung 37% formaldehid dalam air dan biasanya mengandung metanol hingga 15% sebagai pengawet, jika dikonsumsi bisa menimbulkan tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, diare, iritasi pada saluran pernapasan dan kanker.
Perbaikan Pengawasan
Pemerintah patut melakukan perbaikan pengawasan keamanan pangan dengan menetapkan zat pengawet yang aman dengan harga terjangkau sebagai pengganti formalin. Pengetahuan yang masih rendah tentang keamanan pangan membuat orang secara tidak sadar melakukan tindakan yang bisa membahayakan kesehatan konsumen.
Untuk itu, patut dilakukan pendidikan keamanan pangan lewat kerja sama dengan berbagai instansi terkait untuk melaksanakan pelatihan cara-cara berproduksi yang baik (good manufacturing practices, GMP) kepada industri pangan skala rumah tangga. Lewat pelatihan ini diharapkan dapat kian menyadarkan pihak industri pangan akan pentingnya produk yang aman bagi kesehatan.
Masyarakat konsumen pun harus mendapat penyuluhan dan pendidikan keamanan pangan untuk mampu memilih produk pangan olahan yang konsumsi. Melalui proses pendidikan keamanan pangan ini, masyarakat disadarkan untuk tidak membeli atau mengonsumsi makanan yang dicurigai sudah ditambahkan formalin atau pengawet lain yang membahayakan kesehatan.
Selama ini sebagian besar masyarakat masih belum peduli tentang keamanan pangan sehingga belum menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu. Masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu sudah merasa puas jika dapat membeli produk pangan dengan harga murah meski produk pangan olahan itu bermutu rendah dan tidak terjamin keamanannya.
Karena itu, proses pendidikan keamanan pangan dapat dimulai sejak dini ketika anak-anak masih duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak dengan menyediakan bekal makanan yang dipersiapkan secara higienis dari rumah. Peran guru untuk memberi penjelasan kepada murid untuk tidak jajan dan tidak mengonsumsi makanan dan minuman berwarna-warni yang dijual di seputar sekolah sangat diharapkan dan amat penting untuk mencegah peredaran makanan tidak sehat.***
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Unika Santo Thomas SU Medan. Sekretaris Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Kota Medan dan Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia di Sumatera Utara.