Environmentalisme Upaya Penyelamatan Lingkungan

Oleh: Muhammad Husein Heikal.

Menurut Wikipedia, Environme­nta­lis­me adalah filosofi, ideologi dan gerakan sosial yang luas mengenai ma­salah kon­ser­vasi ling­kung­an dan peningkatan ke­sehatan lingkungan. Environmenta­lis­me mendu­kung pelestari­an, restorasi dan/atau per­baik­an lingkungan alam, dan dapat disebut seba­gai sebuah gerakan untuk mengendali­kan pen­cemaran atau melin­dungi keanekara­ga­m­an tum­buhan dan satwa. Untuk alas­an ini, kon­sep-konsep seperti etika lahan, etika ling­kungan, keanekaragaman hayati, eko­logi dan hipotesis biophilia hipotesis merupakan hal yang dominan.

Pada intinya, environmen­ta­lis­me adalah upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dan berbagai sistem alam, di mana manu­sia bergantung sedemikian rupa sehingga semua kompo­nen mendapat perlakuan yang sesuai untuk kelestari­an­nya. Lingkungan menjadi sesuatu yang berharga dalam kehidupan di dunia, menjadi faktor keberlanjutan kehi­dup­an manusia di bumi. De­mi menjaga dan melestarikan lingku­ngan, maka muncullah gerakan yang ber­nama envi­ronmentalisme.

Environmentalisme mun­cul setelah Re­vo­lusi Industri di Prancis yang menimbul­kan pencemaran lingkungan modern seperti yang umum terjadi saat ini. Munculnya pab­rik-pabrik besar dan eks­ploitasi dalam jumlah besar dari batubara dan bahan ba­kar fosil menimbulkan polusi udara. Pembuang­an limbah industri kimia dengan vo­lume besar ditambah dengan urbanisasi yang pe­sat pula me­nyebabkan kepadatan pen­duduk. Langkah pertama yang diambil untuk me­ngon­trol kondisi ini adalah dengan muncul­nya “British Alkali Acts” yang disahkan pada 1863, untuk mengatur polusi udara yang merugikan (gas HCl) yang merupakan hasil dari proses Leblanc, yang di­gunakan untuk menghasilkan abu soda.

Jauh sebelum mulai ter­ben­tuknya kesa­daran ataupun gerakan sebagai usaha untuk me­minimalisir dampak per­kembangan pera­daban terha­dap lingkungan, Raja Edward I dari Inggris melalui proklamasi di London pada tahun 1272 mela­rang pemba­karan batubara karena me­nim­bulkan asap yang kemu­dian menjadi masalah udara waktu itu. Jika dilihat, sejak abad pertengahan, usaha-usa­ha mengenai lingkungan su­dah dilaku­kan meskipun ti­dak dalam lingkup yang le­bih luas.

Isu-isu mengenai ling­kung­an sendiri, te­lah menda­pat sorotan di masyarakat du­nia sekitar tahun 1970-an, na­mun aspek lingku­ngan ba­ru muncul pada studi Hu­bung­an In­ternasional yang ditandai dengan diseleng­ga­rakannya konferensi PBB di Rio De Jenei­ro pada tahun 1992 dengan tema “Global Warming”. Kesadaran secara langsung ten­tang krisis alam itu mulai timbul setelah ter­bitnya buku yang berjudul “Silent Spring” pada tahun 1962. Buku ini adalah hasil kajian dari seorang saintis wanita bernama Rachel Car­son.

Meskipun buku ini hanya menampilkan dampak-dam­pak pencemaran akibat in­dus­tri kimia terhadap alam se­kitar dan me­nampikan pen­jelasan-penjelasan terkait ma­salah itu, ia berhasil mem­buat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga dunia agar terhindar dari krisis alam yang semakin meluas akibat perkembangan sains dna teknologi di zaman mo­dern.

Pada tahun 1967 seorang ahli sejarah, Lynn White Jr, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”. Artikel ini memuat pan­dangan­nya mengenai faktor utama yang menyebabkan krisis alam sekitar. Menurut­nya, faktor utama yang me­nyebabkan krisis alam dan lingkungan adalah faktor ideologi. Ideologi atau dok­trin itu melahirkan suatu pan­dangan umum (world-view) dalam kehidupan manusia yaitu mereka diizinkan oleh Tuhan untuk mengksploitasi alam sekitar demi kelang­sungan hidup mereka.

Mereka telah dititipkan oleh Tuhan, jadi tidak ada yang bisa membatasi mereka dalam melakukan eksploitasi. Lynn White Jr. menjelaskan dengan berpegangan pada pandangan umum tersebut dalam kehidupan masyarakat barat yang secara dinamik dan terstruktur dengan meng­gunakan sains dan teknologi­nya untuk mengeksploitasi alam sekitar tanpa batasan. Fenomena inilah yang me­nye­babkan pengikisan dan kemerosotan kualitas alam sekitar secara lokal maupun global.

Pada dekade akhir abad ke-20, gerakan environmen­ta­lisme menjadi sebuah ge­rakan yang berkembang de­ngan cepat, perangkat trans­na­sional yang paling efektif mengubah pandangan dan peraturan lingkungan hidup di lingkup global, merupakan reaksi terha­dap industriali­sasi, pertumbuhan kota, dan udara memburuk dan pence­maran air.

Untuk itu, gerakan envi­ron­mentalisme yang bersifat global dapat dimasukkan da­lam salah satu counter hegemonic globa­lisasi. Gerakan Environmental Movement atau Environmental Activism pada hake­katnya menggam­barkan satu fenomena yang sama, yakni gerakan sosial yang fokus berge­rak di bi­dang perlindungan, pelestari­an, dan keadilan lingkungan hidup. Meski­pun berada da­lam satu wadah besar terdapat beragam aliran pemikiran dalam gerakan lingkungan. Keragaman tersebut tercer­min pula pada pilihan-pilihan aksi, praksis, ataupun metode gerakan mereka sendiri, se­buah kondisi yang membuat aktivisme lingkungan bisa mewujud.

Gerakan lingkungan hidup bisa dilihat sebagai bagian dari perilaku bersama (collective behavior) yang secara formal mewu­jud dalam ben­tuk berbagai kelompok dan organisasi lingkungan. Me­ka­nisme collective action yang bekerja mampu mem­pe­ngaruhi faktor-faktor cost and benefits yang membuat seseorang memutuskan untuk bergabung dan terus terlibat dalam gerakan lingkungan.

Faktor-faktor pendorong ter­sebut penting untuk dipa­hami karena kelompok dan organisasi lingkungan hidup pada dasarnya tergolong se­bagai organisasi sukarela, yakni kelompok-kelompok for­mal yang anggota­nya ber­asal dari individu yang ber­gabung tanpa paksaan dan tanpa alasan komersial, tapi untuk memajukan tujuan alam bersama.

Di Indonesia, isu me­nge­nai lingkungan sudah diper­bicangkan pada pemerin­tah­an Orde Baru, dimulai de­ngan diselengga­rakan­nya se­minar Pengelolaan Ling­kung­an Hidup dan Pemba­ngunan Nasional di Universitas Pajajaran, Bandung, 15-18 Mei 1972. Pada masa pe­merintahan Orde Baru, isu-isu lingkungan memang di­galakkan. Faktor terpenting dalam permasalahan ling­kungan salah satunya adalah pertumbuhan penduduk di mana saat itu Indonesia men­jadi negara paling padat di dunia.

Pertumbuhan penduduk dan juga banyak­nya eks­ploi­tasi sumber daya alam secara besar-besaran yang membuat gerakan ling­ku­ngan dimulai di Indonesia dan kemudian didukung pemerintah. Selain pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan juga industrialisasi, Indonesia ju­ga mengalami beberapa ke­bakaran hutan yang menim­bulkan permasalahan asap di.

Kebakaran hutan menye­babkan banyak­nya CO2 di uda­ra, sehingga dapat meng­ganggu kesehatan dan me­nye­babkan hilang­nya keane­ka­ragaman hayati. Isu-isu ini men­jadi dasar munculnya ge­rakan environmen­talisme di Indonesia.

Konsep environmentalis­me berkaitan erat dengan pro­ses pembangunan berke­lanjutan. Pembangunan ber­kelanjutan dila­kukan demi tu­juan bersama dalam rang­ka modernitas dan globalisasi. Modernitas dan glo­balisasi ke­mudian memberikan pe­ngaruh pada perluasan eko­nomi, di mana teknologi juga berperan secara langsung. Industria­lisasi yang ber­kem­bang semakin mendekati tujuan mo­dern­itas itu, selan­jutnya memberikan dampak secara langsung pada perma­salahan lingkungan.

(Penulis adalah mahasis­wa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, USU)

()

Baca Juga

Rekomendasi