Arsitektur Sustainable Building

Oleh: Dewanty Ajeng Wiradita.

Berdasarkan kebutuhan individu akan sumber energi di bumi dari waktu ke waktu, banyak upaya yang dilakukan. Upaya tersebut dapat ditempuh salah satunya dengan pene­rapan gedung yang berorientasi pada sustainable building. Sustainable building merujuk pada konsep mengu­pa­yakan keberlangsungan energi sumber daya alam yang diterapkan pada sebuah bangunan. Konsep ini bia­sa juga dikenal dengan eco-green building. Demikian menurut pengamat arsitektur di Kota Medan, Basariah Pala­rosha, ST, MT.

“Prinsip bangunan yang menerap­kan green building adalah memiliki ins­tru­men penghematan sumber ener­gi, baik yang terbarukan maupun tidak. Kebutuhan pengadaan bangunan sema­cam ini bisa dikatakan datang dari kekhawatiran orang-orang akan keber­langsungan sumber daya alam. Misalnya, polusi udara, perubahan iklim, air di Kutub yang bisa saja mele­leh,” jelasnya.

Salah satu contoh bangunan yang menerapkan konsep ini ada di negeri jiran Indonesia adalah Singapura. Ne­gara yang menurut Basariah sangat peduli pada  konsep green design atau  sustainable building ini memiliki instrumen arsitektur green design pada atap ArtScience Museum di area Mari­na Bay Sands, pusat Kota Singapura.

Bagian atap yang terbuka memung­kinkan air hujan tertampung dan masuk mengalir melalui tiang-tiang pipa yang saling bersilangan, menem­bus hingga ke lantai dasar. Aliran air tersebut kemudian bermuara pada penggunaan di dalam gedung sendiri, yakni untuk kebersihan toilet.

Selain penghematan air, gedung ini juga banyak menggunakan kaca pada bagian badan gedung. Hal ini dilaku­kan demi membiarkan banyaknya masuk cahaya matahari ke dalam gedung, sehingga mengehmat penggu­naan listrik di dalamnya. Seperti dika­ta­kan salah seorang pengelola gedung asal Kosta Rika.

“Secara struktur, ini adalah museum pertama di dunia yang menerapkan kon­sep seperti ini. Selain air, kita juga menerapkan penggunaan banyak kaca di gedung agar banyak cahaya matahari yang masuk,” ungkapnya.

Kembali mengenai konsep sustai­nable building, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1978-an. Dan seka­rang semakin gencar digalakkan mengingat kondisi alam yang diper­parah pemanasan global. Selain kedua bentuk penghematan energi di atas, di tempat lain, pengehamatan bisa dila­kukan dengan memanfaatkan tenaga angin, misalnya di Negara Belanda. Tak hanya itu, penggunaan material bangunan dari industri konstruksi juga kini kebanyakan menggunakan mate­rial alam.

Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia

Konsep green building di Indonesia sendiri diatur oleh  Lembaga Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia), lembaga mandiri yang ber­ko­mit­men penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan.

Didirikan pada tahun 2009 oleh para profesional di sektor perancangan dan konstruksi bangunan gedung yang memiliki kepedulian kepada penera­pan konsep bangunan hijau, GBC Indonesia bertujuan untuk melakukan transformasi pasar serta diseminasi kepada masyarakat dan pelaku bangu­nan untuk menerapkan prinsip-prinsip bangunan hijau, khususnya di sektor industri bangunan gedung di Indo­nesia.

GBC Indonesia mengeluarkan  sistem rating yang dinamakan Green­ship, terbagi atas enam kategori, yakni Tepat Guna Lahan, Efisiensi dan Konservasi Energi, Konservasi Air, Sumber & Siklus Material, Kualitas Udara & Kenyamanan Udara Dalam Ruang, dan Manajemen Lingkungan Bangunan.

Basariah menambahkan, Indonesia sepatutnya bisa menerapkan konsep ini, mengingat negara ini merupakan negara di iklim tropis, dengan intensitas cahaya matahari yang cukup tinggi. “Kita bisa menerapkan konsep ini di Indonesia karena negara kita negara tropis. Ada baiknya gedung-ge­dung menggunakan banyak kaca agar cahaya matahari mudah masuk. Selain sehat, ini juga untuk menghemat listrik,” tukasnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi