Islam Antara Doktrin, Pemikiran dan Realitas Sosial

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag.

Para pengkaji Islam sering mem­bedakan Islam sebagai doktrin, pemikiran dan realitas sosial. Sebagai doktrin, Islam merupakan wahyu Allah yang disam­paikan melalui Nabi Muhammad Saw. Ajaran dasarnya tertuang di dalam kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Muham­mad Saw. Kedua ajaran dasar ini kemudian dipahami oleh para ulama melalui pe­ngem­bangan nalar dan pemikiran mereka. Inilah yang kemudian melahirkan pemi­kiran Islam yang meliputi segenap aspek ajaran doktrin Al-Quran dan Sunnah tersebut. Dari sini lahirlah pemikiran tentang tafsir, hukum Islam (fiqh), tasauf, filsafat, teologi, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Sebagai pemikiran, tentu saja pendapat para ahli di dalamnya sangat bera­gam. Mereka menafsirkan dan mema­hami doktrin atau ajaran dasar Islam sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi dan lingkungan sosial, tingkat kecerdasan dan kecenderungan pribadi. Dari pemikiran terhadap ajaran dasar Islam ini kemudian lahirlah peradaban yang merupakan realitas sosial masyarakat pada masanya.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara doktrin dan pemikiran ini. Perta­ma,doktrin bersifat ajaran dasar, sedang­kan pemikiran bersifat penafsiran ulama terhadap ajaran dasar; kedua, doktrin bersumber dari Allah Swt. dan Nabi-Nya Muhammad Saw., sedangkan pemikiran bersumber dari ulama; ketiga, doktrin bersifat baku, mutlak tidak mengalami peru­bahan dan berlaku universal untuk se­tiap masa dan tempat, sedangkan pemi­kiran sangat bersifat relatif, temporal dan lokal, tergantung pada situasi, kondisi dan keadaan lingkungan yang melingkupinya.

Karena ajaran dasar Al-Quran dan Sunnah ini terbatas dalam arti jumlah ayat-ayat dalam wahyu Allah Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis standar, maka perlu dilakukan pengkajian dan penafsiran terhadap ajaran-ajaran dasar Islam tersebut agar umat Islam mampu menjalankan agamanya sesuai dengan semangat moder­nitas.

Pengkajian ini yang akhirnya melahir­kan pemikiran Islam dari berbagai aspek­nya tentunya sangat beragam, sesuai dengan lingkup sosial dan permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Yang paling penting digarisbawahi adalah bahwa pemikiran, karena produk akal manusia dalam memahami pesan-pesan ajaran agama, bersifat tidak mengi­kat dan sangat mungkin untuk dikaji ulang dan ditinggalkan. Karena, boleh jadi pemikiran yang sebelumnya dianggap relevan dan sesuai dengan zamannya, ketika dihadapkan dengan realitas kekinian ternyata kehilangan relevansi. Dengan kata lain, tidak semua pendapat ulama masa lalu harus kita terima mentah-mentah. Tanpa mengurangi rasa hormat umat Islam generasi sekarang terhadap ulama dahulu yang telah berjasa mengem­bangkan berbagai aspek pemikiran Islam, boleh jadi ada pendapat-pendapat mereka yang sekarang tidak dapat diamalkan dan dipertahankan.

Di antara contoh dalam pemikiran hukum Islam yang dapat disebutkan adalah tentang wali mujbir menurut Imam Syafii. Wali mujbir adalah wali (ayah) yang bisa menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan wali tersebut, tanpa mempertanyakan keizinan atau kesediaan perempuan itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab masa lalu yang patriar­khat tentu saja ini relevan. Akan tetapi, dalam konteks sekarang pandangan ini tentu tidak dapat dipertahankan. Aturan per­kawinan di Indonesia sendiri, di anta­ranya melalui UU No. 1/1974 dan Kom­pilasi Hukum Islam, menolak wali mujbir ini dan mensyaratkan kesetujuan pihak mempelai laki-laki dan perempuan sebe­lum berlangsungnya akad nikah.

Ini artinya, pemikiran masa lalu tidak selamanya harus diikuti dan Indonesia telah melakukan dan merumuskan hal yang terbaik untuk konteks sosial masya­rakatnya sekarang.

Masalahnya adalah, masih ada di kalangan umat Islam yang menganggap pemikiran ulama sebagai ajaran doktrin Islam dan berpegang teguh kepadanya tanpa mau beranjak darinya, meskipun nyata-nyata kehilangan relevansi. Dalam konteks hukum Islam, mereka meman­dang bahwa mematuhi pendapat ulama adalah wajib. Inilah kekeliruan berpikir umat Islam saat ini. Akibatnya, ketika negara mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umat Islam, kalau tidak sejalan dengan pandangan ulama masa lalu, mereka menolaknya dan mengang­gapnya bertentangan dengan agama.

Lebih celaka lagi kalau ada yang mem­benturkan antara regulasi negara dengan hukum yang dituangkan ulama dalam ki­tab-kitabnya. Akhirnya muncullah pan­dangan, “menurut agama sudah sah, tapi menurut negara belum.” Ini yang sering muncul di masyarakat. Ketika negara mengatur pernikahan harus dicatatkan lembaga yang berwenang, mereka me­man­dangnya itu hanya hukum negara. Akhirnya terjadilah perkawinan liar di bawah tangan. Bagi mereka, pernikahan tidak perlu dicatatkan. Toh, pada masa Nabi Saw. tidak ada pencatatan nikah.

Inilah kekeliruan berpikir sebagian umat Islam. Pencatatan pernikahan tidak lain adalah bagian dari pengamalan semangat ajaran Islam yang menginginkan kemaslahatan.

Dengan adanya pencatatan nikah, suami istri memperoleh buku nikah dan memiliki kepastian hukum. Ini tentu saja menjamin kemaslahatan bagi mereka berdua dan perlindungan hukum, terutama bagi perempuan.

Karena itu, sangat beralasan kalau Ibn Qayyim al-Jauziyah, ulama abad perte­ngahan, mengatakan bahwa sesungguhnya tujuan ajaran Islam adalah kemaslahatan. Di mana pun ditemukan kemaslahatan, itulah hakikat sebenarnya ajaran Islam.

()

Baca Juga

Rekomendasi