Modernisme dan Postmodernisme

Oleh: Sisi Rosida

Modernisme secara eti­­mologi berasal dari kata “mo­dern”. Muncul dari kata “mo­dernus” (latin) yang artinya sekarang. Merupakan tatacara hubungan manusia dengan ling­kungan sekitarnya. Menurut Has­san Hanafi, tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencera­h­an, dan humanisme.

Modernisme merupakan su­atu periode yang mengafirmasi keeksistensian manusia, berda­sarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran. Sikap dan cara berfikir yang disesu­aikan dengan tuturan zaman. Mencapai kebenaran pengeta­huan dalam kehidupan perada­ban modern, sehingga mempe­ngaruhi tingkat intelektualitas paling tinggi.

Modernisme didasarkan pa­da penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk memperoleh pengetahuan. Rasio manusia di­anggap mampu menyelami ke­nyataan faktual menemukan hu­kum-hukum maupun dasar-da­sar esensial dan universal dari ke­nyataan, yang bermuara pada postmodernisme.

Pada awalnya, kata postmo­dern tidak muncul dalam filsafat ataupun sosiologi. Dalam arsi­tektur dan sastra. Arsitektur dan sastra postmodern merupakan pengembangan dari gaya arsi­tektur dan sastra modern yang to­taliter, mekanis dan kurang human. Postmodernisme meru­pa­kan reaksi terhadap kemajuan zaman dan teknologi, muncul se­bagai bentuk penolakan terha­dap pemikiran logis (modern).

Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya fa­ham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada bi­dang seni oleh Federico de Onis tahun 1930. Kemudian pada bi­dang Sejarah oleh Toyn Bee tahun 1947. Setelah itu berkem­bang dalam bidang-bidang lain seperti  sastra, filsafat, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial.

Post-modernisme merupa­kan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan perhatiannya pada perubahan dalam bidang se­ni, ekonomi, politik, dan kultural (Giddens 1990; Jenkins, 1995: 6). Suatu kondisi masya­ra­kat tidak lagi diatur oleh prin­sip produksi. Melainkan repro­duksi informasi dimana sektor jasa media, menjadi faktor yang paling menentukan.

Dalam postmodernisme, pi­kiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emo­si dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak le­bih dari sebuah konstruk sosial. Kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Iden­titas diri muncul dari kelompok.

Modernisme dan postmo­dernisme, tidak sekedar aliran fil­safat dan teori sosial yang ha­nya berorientasi pada konsep, system dan metode saja. Para pe­mikir kontemporer seperti Karl Popper, Houston Smith dan Habermas, tidak menganggap penting soal timbulnya gerakan postmodernisme.

Mereka tetap ya­kin akan kekuatan gerakan modernisme. Modernitas masih mampu membimbing kehidu­pan kontemporer sampai jangka waktu yang tidak bisa diten­tukan. Lebih dari itu, modernitas mempunyai akar filosofis yang le­bih jelas.

Kita tentu mengganggap hi­dup ini berada di dunia modern. Padahal sejak tahun 1960-an, ter­jadi perubahan zaman yang membawa kehidupan manusia berada dalam alam postmoder­n­isme. Modernisme akhirnya di­nilai sebagai kemajuan linier dan kebenaran mutlak dari oto­nomi manusia. Mengarah kepa­da pembenaran dan pembuktian atas pemikiran optimis.

Berangkat dari pandangan ka­pitalisme, eksistensialisme, li­beralisme, dan idealisme. Se­mua aspek modernis, tentu me­miliki semangat dalam mencari dan menemukan kebenaran makna, kebenaran esensial, dan kebenaran universal.

Diabad 20, modernisme diba­gi menjadi dua periode yang ber­beda dan bukan lagi menjadi aspek yang dominan. Ditandai dengan munculnya paham post­modernisme, sebagai koreksi da­ri modernisme.

Postmodernisme merupakan dasar dari upaya untuk meng­gam­­barkan suatu kondisi. Ber­ka­itan dengan fenomena dan bu­daya intelektual yang berangkat dari pengalaman, pemikiran subjektif dan teknologi. Penye­im­bang, merujuk pada konsep berfikir subjektif. Termasuk di dalamnya situasi dan tata sosial dari produk teknologi dan infor­masi, globalisasi, dan fregmen­tasi gaya hidup.

Tujuannya, sebenar­nya seba­gai upaya menghargai fak­tor (tradisi dan spiritual) yang dihi­langkan oleh rasionalisme, struk­tualisme dan sekuralisme. Pemikiran dalam postmodern­isme dihargai berdasarkan per­kembangan teknologi dan per­kem­bangan zaman. Artinya, postmodern menolak kecendru­ngan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal terten­tu. Seperti disiplin akademis, bu­daya dan kehidupan, fiksi dan te­ori dan realitas. Dengan demi­kian postmodernisme cenderung menghapus adanya status.

Sejatinya, postmodernisme menyatakan tidak ada kebena­ran yang universal, yang valid un­tuk semua orang. Postmodern­isme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi kecil), tidak menen­tu­kan, dan sebuah ketidakper­cayaan terhadap semua hal yang universal.

Jika modernisme menggang­gap karya asli sebagai otentik, na­mun postmodernisme sangat me­mentingkan hal yang bersifat hiper-realitas. Artinya, karya sa­ngat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarluaskan melalui me­dia. Sama halnya ketika seni dan karya sastra dianggap seba­gai kreasi unik dari penciptanya. Seiring berkembangnya tekno­logi, seperti komputer dan media, maka karya sastra mulai ter­bit diberbagai media.

Zaman dulu media cetak men­jadi alternatif pa­ling la­ris dalam menambah pe­ngeta­huan dan menjadi media satu-satunya bagi karya sastra. Seiring dengan perkembangan zaman, masya­rakat sudah bergantung dengan internet. Sastra cyber, e-paper, dan bermacam-macam situs be­ri­ta online.

Tanpa disadari, perkembang­an teknologi membuat manusia berpikir secara irasional. Mela­tih diri untuk berfikir sendiri ber­dasarkan pengalaman dan daya nalar masing-masing. Misalnya dalam karya sastra, pembaca selalu bebas mengintrepreta­si­kan makna yang terkandung di da­lamnya.

Masyarakan tidak lagi terdo­ktrin oleh karya sastra yang me­miliki makna unik. Pembaca dapat menafsirkan dan membe­ri­kan makna sendiri terhadap se­ni dan karya sastra. Jalan pikiran yang berbeda, memfokuskan diri keluar dari masalah-masalah umum, atau isu-isu yang berhu­bungan dengan manusia.

Humanisme menjadi sejenis doktrin yang beretika, yang cang­kupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas ma­nusia. Berlawanan dengan sis­tem beretika tradional yang ha­nya berlaku bagi kelompok-ke­lompok etnis tertentu.

()

Baca Juga

Rekomendasi