Bencana Lingkungan Bermula dari Rasa Sepele

Oleh: M. Arif Suhada

Sedari kecil kita diajar­kan untuk tidak menganggap sepele terhadap apapun. Si­kap sepele bisa diartikan se­ba­gai memandang remeh, enteng, sebelah mata, dalam menyikapi segala sesuatu. Sepele adalah sikap negatif yang harus dihindari melekat dalam pribadi kita. Sebab ke­sepelean itu bisa berakibat bu­ruk dan menimbulkan pe­nyesalan pada diri kita.

Contoh sederhana, sewak­tu sekolah misalnya, kita pas­ti pernah memandang sepele pada mata pelajaran yang kita anggap mudah, dan kita ma­las belajar karena merasa su­dah menguasai materi pela­jaran tersebut. Sialnya, keti­ka ujian, soal-soal yang ter­saji malah tidak bisa kita ja­wab. Padahal soal yang dibe­rikan pernah dipelajari sebe­lumnya. Hanya saja ketika itu kita lupa cara pengerjaannya sebab tidak ada persiapan. Alhasil, nilai ujian kita pun anjlok. Timbulah penyesalan mengapa kita tidak belajar pada hari-hari sebelumnya. Rasa sepele yang kita tanam itupun akhirnya menyesak­kan dada.

Memang rasa sepele itu berbuntut pada sebuah pe­nye­salan. Apa yang kita pi­kirkan ternyata tidak sesuai dengan realita di lapangan. Kita cenderung malas untuk memikirkan kemungkinan terburuk dari setiap tindakan yang kita lakukan. Praktis, itu membuat segala sesuatu­nya seakan tidak ada masalah. Kita pun menjadi lebih se­nang memandang remeh me­nyikapi berbagai persoalan. Barangkali sampai kita sen­diri yang merasakan akibat­nya, barulah kemungkinan kesadaran itu akan muncul.

Sikap itulah yang saat ini benar-benar meracuni para­digma berpikir masyaraka kita, utamanya dalam kon­teks lingkungan. Sehingga setiap bencana berawal dari sikap sepele itu. Berbagai per­ingatan tentang ling­kung­an selalu ditanggapi sepele dan diabaikan. Maka tidak heran, jika masalah ling­kung­an sulit sekali diatasi. Meski berulangkali diberi perintah, anjuran, dan larangan, tapi hanya sedikit di antara kita yang menjalankannya secara serius. Selebihnya masih me­ngedepankan rasa sepele da­lam dirinya.

Lihatlah misalnya, mesti larangan membuang sampah sembarangan itu sudah ter­pat­ri dalam ingatan, bahkan sejak kita masih SD. Namun, masih banyak di antara kita yang suka sepele untuk mem­buang sampah sembarangan. Apalagi jika dirasa jum­lah­nya sampah cuma sedikit. Padahal, tumpukkan sampah itu mulanya juga diawali dari jumlah yang sedikit, lalu la­ma-lama menjadi bukit. Maka, menyepelekan sampah yang sedikit, berarti mendu­kung timbulnya keberadaan sampah yang lebih banyak lagi.

Anggaplah yang dibuang itu berupa sampah-sampah kecil atau yang jum­lahnya sedikit. Seperti bung­kus per­men, plastik nasi bung­kus, bekas minuman gelas, atau sampah lain yang sering kita hasilkan dalam aktifitas ke­seharian. Tapi jika kenyata­an itu juga diamini dan dila­kukan oleh ribuan orang, maka dalam waktu bersama­an ada ribuan sampah yang mencemari lingkungan. Ini­lah yang barangkali tidak terpikirkan sampai kesana, atau sebenarnya sudah dime­ngerti hanya saja disepele­kan. Tampaklah memang jika kesepelean itu menutupi nalar berpikir yang sehat. Maka menjadi beralasan, jika berawal dari kesepelean itu bisa menyebabkan datangnya berbagai bencana yang meru­sak lingkungan kita.

Boros Karena Sepele

Pada akibat yang lain, rasa sepele yang kita pupuk dalam diri juga menumbuhkan si­kap boros dalam hidup. Pe­makaian barang secara ber­lebihan (boros) tidak dipa­hami sebagai suatu permasa­lahan yang berarti. Berangkat dari kesepelean itu misalnya, sangat jarang kemudian yang menyadari penggunaan tisue tanpa dihemat memiliki andil dalam pengurangan pohon di hutan. Pun dalam pemakaian plastik yang mengutamakan kebiasaan sekali pakai buang, tidak dilihat bahwa sampah plastik bisa mencemari ling­kungan sampai ratusan tahun.

Bahkan, ketika pemerin­tah mengambil kebijakan ten­tang penerapan kantong plas­tik berbayar, sikap boros yang bermula dari kesepelean itu masih belum berubah. Pada­hal diambilnya kebijakan itu tidak terlepas karena kesepe­lean kita dalam mengguna­kan kantong plastik secara boros. Maka pemerintah pun mengenakan biaya sebesar Rp 200 perkantong plastik yang kita gunakan. Alih-alih supaya banyak yang mela­kukan penghematan, yang terjadi lagi-lagi sikap penye­pelean lebih mendominasi. Ya, biaya Rp 200 itu diang­gap tidak ada artinya, dan be­gitu mudah dikeluarkan se­hingga kebiasaan boros da­lam pemakaian kantong plas­tik masih terus berlanjut.

Padahal dengan adanya kebijakan itu harusnya bisa dipahami bahwa keberadaan sampah plastik di lingkungan kita sudah sangat meng­kha­watirkan. Maka itu, kita di­minta untuk bisa melakukan penghematan dan mengga­lakkanan pemakaian kantong belanja yang lebih ramah ling­kungan. Jadi substansi­nya bukan pada jumlah biaya Rp 200 itu, tetapi mengapa kemudian kebijakan itu men­jadi penting untuk diambil.

Kalaulah dengan biaya Rp 200 yang diterapkan peme­rintah tidak lantas membuat kita segera tersadar, itu ber­arti kesadaran kita benar-benar hanya bersandar pada hukuman. Tanpa sadar kita telah meminta kepada peme­rintah untuk dinaikkan lagi pengenaan biayanya secara ber­kali-kali lipat, hanya de­ngan begitu kesadaran itu baru muncul. Benarkah itu yang kita mau? Padahal baik­nya, kita bisa menghemat atau melakukan sesuatu yang positif itu, tanpa terlebih da­hulu harus terbebani unsur keterpaksaan.

Namun apalah mau dika­ta, kesepelean itu telah mem­bawa kita pada kondisi yang sekarang ini, hukuman. Se­lain dihukum oleh lingkung­an itu sendiri lewat berbagai bencananya, kita juga kerap dihukum dengan kebijakan-kebijakan yang membebani diri kita. Pun demikian, ma­sih belum terlambat bagi kita untuk memperbaikinya. Ma­ka, kegemaran kita dalam menyepelekan setiap tindak­an yang bisa berdampak bu­ruk bagi hajat hidup orang banyak haruslah segera di­hen­tikan. Terlebih sikap se­macam ini harus dipadamkan dalam diri kita agar peranan buruknya tidak semakin meluas dan bertambah parah.

Jika dengan keadaan ini ter­nyata juga tidak lantas membuat kita merasa terbe­bani dan lalu berubah, berarti kita sedang menanti hukum­an yang lebih berat itu da­tang. Apabila kita terus-te­rusan kena hukuman karena sebuah kebiasaan dan kesa­lahan yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa kita ti­dak lebih baik dari keledai. Sebab keledai pun tidak akan terjatuh di pada lubang yang sama.

(Penulis adalah mahasis­wa UIN Sumatera Utara)

()

Baca Juga

Rekomendasi