Adakah yang Mau Seperti Ayub ?

Oleh: Jekson Pardomuan

Lalu bertanyalah TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." – Ayub 1 : 8

Membaca firman Tuhan di atas meng­ingatkan kita tentang penderitaan Ayub yang begitu luar biasa tetap bisa bertahan dan menyerahkan seluruh kehidupannya secara total kedalam tangan Tuhan. Adakah diantara kita yang mau seperti Ayub ? Jawaban atas per­tanyaan ini pasti langsung kita jawab dengan pasti, bahwa kita tidak akan kuat jika berada dalam posisi Ayub. Penderitaan dan kesusahan yang kita alami saat ini saja mungkin sudah membuat kita ‘menyerah’ dan angkat tangan meminta pertolongan kepada Tuhan.

Firman Tuhan diatas diulang kembali dalam Ayub  2 : 3 yang menuliskan “Firman TUHAN kepada Iblis: "Apakah engkau mem­perhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan."

Kisah Ayub yang begitu luar biasa adalah kisah legendaris dari seorang manusia yang bertahan menghadapi badai kehidupan yang dahsyat. Sumber pembelajaran yang sangat berharga tentang realita kehidupan yang komprehensif, karena bukan saja memun­culkan sudut pandang manusia tetapi juga perspektif surga yang ternyata tidak pernah kehilangan kontrol atas peristiwa-peristiwa dalam dunia ini.

Bagaimana dengan kita yang hari-hari belakangan ini banyak menghadapi berbagai macam pencobaan. Kita ingin mendapat jawaban atas masalah-masalah kita yang menumpuk. Kita bahkan bertanya-tanya apakah kita bisa benar-benar memahami mengapa hal-hal buruk menimpa orang-orang yang baik dan mengapa hal-hal yang baik justru dinikmati orang-orang yang jahat. Terkadang, kita protes di dalam hati dengan kenyataan yang ada dihadapan kita.

Jawaban atas pertanyaan kenapa disaat kita begitu dekat dengan Tuhan, cobaan-demi cobaan datang menerpa. Jawaban atas per­tanyaan ini kerap kali sulit dipahami, ter­sembunyi, dan di luar jangkauan pemi­kiran kita. Jika seorang teroris terbunuh oleh bom yang ia pasang sendiri, kita bisa memak­luminya. Kita juga maklum jika pengendara yang ceroboh mengalami kecelakaan yang serius. Kita pun maklum jika orang yang ber­main-main dengan api, terbakar. Kita bah­kan lebih maklum lagi jika seorang pero­kok berat menderita kanker paru-paru.

Namun bagaimana jika pria, wanita, dan anak-anak yang tak berdosa terbunuh oleh bom seorang teroris? Bagaimana dengan pe­ngemudi muda yang harus menderita ke­rusakan otak karena seorang pemabuk membelokkan mobilnya secara tiba-tiba? Bagaimana dengan orang yang rumahnya tiba-tiba terbakar bukan karena kesalahan yang dilakukannya? Dan bagaimana dengan anak usia dua tahun yang menderita leukemia?

Kita juga heran dengan perilaku orangtua yang membiarkan anak-anaknya berkeliaran di jalan raya untuk berjualan mencari nafkah untuk kebutuhan mereka. Padahal, mereka punya orangtua yang seharusnya memiliki tanggungjawab besar dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Ketika Ayub yang menderita, yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama menyadari bahwa ia tidak berhak menuntut jawaban dari Allah, ia berkata, "Itulah sebab­nya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui" (Ayub 42:3).

Penderitaan kita didalam kehidupan sehari-hari mungkin belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan Ayub. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa hari-hari belakangan ini sudah sangat jahat. Kita semua tahu bahwa kondisi bumi yang semakin menyedihkan menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang berlang­sung. 

Dengan kondisi seperti sekarang ini, tak ada lagi ditemukan orang-orang yang imannya seteguh Ayub. Karena, penderitaan yang kita alami dan kesukaran yang dira­sakan orang lain menunjukkan bahwa penderitaan tidak membeda-bedakan ras, sta­tus sosial, agama, atau bahkan moralitas. Penderitaan dapat terlihat kejam, ngawur, tanpa tujuan, aneh sekali, dan buas tak terken­dalikan. Hal-hal buruk menimpa orang-orang yang mencoba hidup baik, dan hal-hal baik dialami orang-orang yang menikmati kejahatannya.

Ada banyak orangtua yang tak bermoral dengan teganya memperkosa anak kan­dungnya sendiri, ada anak yang durhaka dengan berbagai modus membunuh ayah dan ibu kandungnya demi harta, ada banyak oknum-oknum yang memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang tidak dikehendaki oleh Tuhan, ada banyak perampok, pencuri, pembunuh dan kejahatan lainnya.

Kejahatan-kejahatan ini semua berlangsung di sekitar kita, di lingkungan tempat tinggal kita. Saat ini kita mengalami hal-hal yang sepertinya tidak adil. Iblis saat ini sedang membangun kerajaannya yang sangat besar. Orang-orang yang mudah terha­sut ia pakai untuk menjadi kaki tangannya. Cerita tentang Ayub yang begitu saleh mem­buat kita sadar, bahwa apa yang kita derita saat ini belum berarti apa-apa dibandingkan Ayub.

Kitab Ayub sebenarnya tidak berbicara mengenai penderitaan, melainkan tentang iman. Seandainya tidak ada pasal 1 dan pasal 2 maka kita akan terjebak dalam tema yang salah. Sebagai manusia kita akan berta­nya-tanya, mengapa Tuhan mengijinkan hal ini kepada Ayub. Bukankah dia orang saleh? Bukankah ia setia mengikut Tuhan? Mengapa Tuhan bersikap tidak adil dengan memperlakukan Ayub hingga sampai menderita seperti itu?

Kitab Ayub ini mengajar kita bahwa orang-orang yang benar-benar sepenuhnya berserah kepada Tuhan akan mendapat ja­waban dan jalan keluar dari perma­salahan­nya. Mungkin hari ini, sebagian diantara kita sedang mengalami kesusahan, pende­ritaan, sakit atau apa pun jenis penderita­annya, berserulah kepada Tuhan lewat DOA yang tulus. Minta kepada Tuhan apa yang seha­rusnya kita perbuat dan apa sesung­guhnya yang harus kita lakukan. Jika dengan iman kita melakukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya, maka apa yang kita ren­canakan akan Tuhan berkati. Amin.

()

Baca Juga

Rekomendasi