Oleh: Pramudito
Dalam hubungan dengan anomali cuaca ekstrim yang sering menyebabkan bencana alam, kita sering mengaitkannya dengan apa yang disebut “El Nino” dan “La Nina”. El Nino (baca: el ninyo), dikaitkan dengan cuaca panas dan kekeringan yang berkepanjangan, sedang La Nina (baca: la ninya) dikaitkan dengan curah hujan di atas normal.
Lebih detilnya lagi, El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa, di pantai barat Ekuador dan Peru, Amerika Selatan, khususnya di bagian tengah dan timur. Terminologi ilmiahnya adalah “Osilasi Selatan”. Sebutan lebih popular “El Nino” yang dalam bahasa Spanyol berarti “anak laki-laki”, dinamai demikian dengan mengacu pada “Sang Bayi Jesus” karena fenomena itu biasanya muncul saat menjelang natal.
Namun belakangan El Nino ditengarai semakin kerap muncul, yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat memengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun. Tahun 1982/1983 dan 1997/1998 ditandai dengan El Nino terhebat yang pernah terjadi dan melanda hampir seluruh bagian dunia. Pada tahun 1997 itulah untuk pertama kalinya Indonesia dilanda bencana kebakaran hutan yang parah dengan asap sampai merambah ke negara-negara tetangga.
Dampak El Nino di Indonesia dapat dijelaskan bahwa saat suhu permukaan laut di Pasifik Katulistiwa tengah dan timur menghangat, perairan sekitar Indonesia justru mengalami penurunan suhu, suatu fenomena yang menyimpang dari biasanya. Karena penurunan suhu ini, maka terjadi perubahan pada peredaran masa udara dan berdampak pada berkurangnya pembentukan awan hujan. Hal ini mengakibakan berkurangnya curah hujan sehingga menyebabkan kekeringan.
Serangan El Nino terakhir sudah dirasakan sejak sekitar Juli 2014 yang berlanjut terus sampai sepanjang tahun 2015, sehingga menyebabkan kekeringan parah dan kebakaran hutan yang membawa bencana asap, suatu pengulangan dari bencana tahun 1997.
Kebalikan dari fenomena El Nino adalah La Nina, yang arti harfiahnya adalah “anak perempuan”. Pada “La Nina” kondisi suhu laut yang menghangat kembali mendingin ke suhu semula dan cuaca kembali normal. Namun di Indonesia dampaknya berbeda. Karena perjalanan air laut panas saat El Nino yang bergerak ke barat dan sampai di perairan Indonesia, wilayah Indonesia berubah menjadi bertekanan rendah. Massa air banyak membawa uap air, sehingga terjadi hujan dengan curah di luar normal. Bencana La Nina di Indonesia terakhir terjadi tahun 1999 yang mengakibatkan banjir dan longsor.
Bencana Melanda Global
Mari kita lihat di lapangan yang lebih luas. Seperti kita lihat menjelang tutup tahun 2005 dan di awal 2016, berbagai bencana melanda sejumlah negara di berbagai belahan dunia yang berbeda-beda, namun terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Banjir besar melanda sejumlah negara di Amerika Selatan dan juga Inggris. Angin topan menerpa beberapa negara bagian selatan AS, sementara angin puting beliung dahsyat (tornado) meluluhlantakkan sebuah kota padat penduduk di Texas dan kota Dallas, juga di Texas mendapat terpaan hujan salju. Sementara di wilayah pantai timur AS, topan salju menerjang dengan garang yang menyebabkan sejumlah negara bagian di wilayah itu ditetapkan sebagai darurat bencana.
Akumulasi salju yang mencapai 71 cm, termasuk di kota New York dan Washington DC, tercatat sebagai yang terparah setelah badai serupa tahun 1922. Sebaliknya, negara bagian tetangga yakni New Jersey, topan “Sandy” kembali melanda dan menyebabkan banjir besar, suatu pengulangan tahun 2012 ketika “Sandy” juga menyambangi negara bagian ini.
Sebaliknya pula yang terjadi di Spanyol yaitu kebakaran lahan di wilayah pegunungan bagian utara dan tengah negeri itu. Sedangkan di Afghanistan gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter menggoncang kota Feyzabad. Sementara di belahan bumi selatan juga terjadi kebakaran yang menghanguskan 116 rumah di Melbourne, Australia. Di minggu terakhir Januari tahun ini, cuaca “super dingin” menyerbu Hongkong dan bagian selatan Tiongkok yang di wilayah tertentu mencapai minus 5 derajat celsius. Cuaca ekstrim tersebut banyak membuat derita warga setempat karena umumnya rumah dan gedung-gedung tidak dilengkapi dengan alat pemanas.
Sementara di Indonesia, musim kemarau panjang yang melanda pada 2015 masih berlanjut. Para petani waktu itu banyak yang belum dapat menanam padi sawah mereka karena belum cukup air untuk menggenangi atau menyirami bibit-bibit padi.
Berbagai bencana di atas yang seolah tidak memandang bulu, umumnya terjadi di luar kondisi cuaca yang normal. Di wilayah-wilayah yang terkena, menunjukkan bahwa anomali cuaca dunia yang melanda sejak pertengahan 2014 dan berlanjut sepanjang 2015 sampai memasuki 2016 belum berakhir. Di Indonesia, musim hujan yang normalnya dimulai Oktober-November, sampai menjelang akhir Januari pun belum terasa sebagaimana biasa, dalam arti curah hujan masih terlalu kecil. Padahal dalam keadaan normal, akhir Januari dan memasuki Februari-Maret curah hujan biasanya pada tingkat yang lumayan tinggi. Tidak mengherankan bila waktu itu beberapa daerah masih mengalami kekeringan dan kesulitan air.
Fenomena cuaca atau iklim dunia yang tidak normal itu adalah karena adanya perubahan pada indikator-indikator iklim seperti suhu permukaan laut, curah hujan dan tinggi muka laut. Perubahan tersebut banyak dituduhkan pada adanya pemanasan global yang sebagian disebabkan oleh ulah manusia. Pemanasan global itu ditandai dengan meningkatnya suhu bumi karena akumulasi radiasi dan sinar matahari yang terperangkap di atmosfir.
Pantulan radiasi dari permukaan bumi ke luar angkasa juga terhalang dan diserap gas-gas di atmosfir, suatu keadaan yang disebut “gas rumah kaca”. Menyadari hal itulah maka negara-negara di dunia bersepakat mencari jalan dan berupaya keras guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan menghambat laju pemanasan global.
Di Indonesia sendiri perubahan iklim dunia juga telah dirasakan. Seorang ahli cuaca dari IPB Bogor menyatakan bahwa dampaknya terlihat pada meningkatnya frekuensi dan kekuatan siklon tropis. Sebelumnya, topan ini tidak melanda Indonesia, namun karena tanaganya menguat, ekor badai dapat mencapai wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mencatat adanya kenaikan bencana hidrometeorologi di Indonesia dari tahun ketahun. Dalam hal ini, bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan angin puting beliung mendominasi 90 persen dari bencana yang terjadi di Indonesia.
Bencana-bencana alam dunia tersebut diatas tidak lepas dari fenomea El Nino dan La Nina sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini. Sudah tentu fenomena alam lainnya di luar kedua fenomena diatas juga ikut berperanan dan kiranya ahli-ahli cuaca dan lingkungan akan terus melakukan penyelidikan.
Hikmah
Seperti telah disinggung di atas, bahwa El Nino menyebarkan bencana kekeringan, sedang saudara perempuannya La Nina membawa banjir dan longsor. Namun keduanya sebetulnya tidak datang secara mendadak dan dapat dideteksi melalui pemantauan lembaga-lembaga meteorologi antara lain dari peralatan “buoy” yang dipasang di laut. Pertengahan 2014 misalnya, BMKG sudah mengingatkan dan mewaspadai akan datangnya El Nino.
Namun alam tetaplah alam yang tidak dapat dilawan oleh manusia dan minimal yang dapat dilakukan hanyalah meminimalkan dampak negatifnya.
Fenomena alam, baik yang positif mau pun negatif, baik karena ulah manusia mau pun diluar ulah manusia, sebagai manusia kita harus mengambil hikmah dari semuanya itu. Seperti El Nino dan La Nina yang sama-sama membawa dampak buruk, karena yang satu membawa kekeringan sedang yang lain membawa banjir, sebenarya harus kita ambil hikmahnya pula. Tuhan tidak pernah sia-sia dalam menetapkan atau menciptakan sesuatu apa pun.
Seperti fenomena yang tampak saling bertentangan antara El Nino dan La Nina, tapi keduanya saling menyeimbangi antara kekeringan dan kebasahan. Kita hanya mengharapkan agar keseimbangan itu terus akan terjadi dan membawa kemakmuran dan perdamaian bagi segenap mahluk hidup termasuk kita manusia.
(Penulis mantan diplomat dan pemerhati lingkungan hidup)