Oleh: Nela Resti Tamatalia.
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) sering ditemukan pada pria usia lanjut. Pembesaran kelenjar prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia, seperti halnya rambut yang memutih.
Oleh karena itulah, dengan meningkatnya usia harapan hidup, meningkat pula prevalensi BPH. Pada penelitian, BPH dapat dialami oleh sekitar 70% pada pria diatas usia 60 tahun dan angka ini meningkat hingga 90% pada pria berusia diatas 80 tahun.
Benign Prostatic Hyperplasia merupakan istilah histopatologis yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat, sehingga menyebabkan sumbatan pada leher kandung kemih dan uretra. Obstruksi ini lama kelamaan akan menimbulkan perubahan pada struktur kandung kemih maupun ginjal, sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Tetapi, pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan hormon testosterone. Di samping itu, terdapat pengaruh hormon lain dan faktor lingkungan, sehingga memicu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat.
Gejala klinis BPH, yaitu:
- Kembali berkemih dalam waktu kurang dari 2 jam (Frekuensi),
- Rasa berkemih yang mendesak (Urgensi),
- Sering terbangun pada malam hari untuk berkemih (Nokturia),
- Pancaran berkemih lemah dan sering terputus-putus,
- Merasa ada sisa dikandung kemih selelah berkemih,
- Mengedan untuk memulai berkemih.
Untuk menegakkan diagnosa dan pemberian terapi yang tepat, sebelumnya petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan awal, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh Spesialis Urologi. Berbagai pemeriksaan yang dilakukan adalah:
1. Anamnesa/wawancara, salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) yang telah distandarisasi oleh WHO. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
Kuesioner IPSS ini terdiri atas 7 pertanyaan dan masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dan keadaan pasien BPH dapat diklasifikasikan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu gejala dengan skor 0-7, gejala (skor 8-19) dan gejala berat (skor 20-35)
2. Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada BPH adalah colok dubur atau DRE (Digital Rectal Examination), merupakan pemeriksaan yang penting, di samping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Pada pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.
3. Pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan adanya leukosituria dan hematuria.
4. Pemeriksaan fungsi ginjal untuk menilai kemungkinan adanya penyulit BPH pada saluran kemih bagian atas.
5. Pemeriksaan (Prostate Specific Antigen (PSA) sebagai indikator untuk mendeteksi adanya keganasan pada kelenjar prostat
6. Catatan harian miksi (voiding diaries), sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik.
7. Uroflometri, merupakan pencatatan tentang pancaran urin selama proses miksi secara elektronik, pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif.
8. Pemeriksaan residual urin, merupakan pemeriksaan untuk melihat sisa urin yang tertinggal didalam kandung kemih setelah berkemih.
9. Pemeriksaan USG prostat, yang bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Pada BPH, terapi bertujuan untuk mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang dilakukan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan penyakitnya. Penatalaksanaan pada Benign Prostatic Hyperplasia adalah:
1. observasi, pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS di bawah 7. Pada watchful waiting ini pasien tidak mendapatkan terapi apapun, namun diberikan penjelasan tentang hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, seperti tidak mengkonsumsi kopi dan alkohol, mengurangi makanan pedas dan asin, tidak menahan kemih terlalu lama.
2. Medikamentosa, yang bertujuan untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. (3) Terapi intervensi (pembedahan dan invasive minimal).
(Penulis adalah mahasiswi FK UNPRI)