Di Balik Cadar

Oleh: Nia Daniati Sastra. Saat itu mataku hanya tertuju pada satu arah saja. Padanya yang melintas di hada­panku dengan mata sipitnya meman­dang kearahku. Hanya itulah yang terlihat olehku.

“Selamat pagi Kang Mus­tafa,” sapanya sambil lewat bak wanita yang amat soleha.

“Pagi,”sapaku sambil tersenyum. Suara­nya membuat pagiku terasa lebih indah. “Loh??” Aku baru tersadar,” Siapa wanita bercadar itu? Bagaimana dia tahu namaku?” gumamku. Aku memang baru datang kedesa itu kerumah nenekku. Desa dibawah kaki gunung yang sangat tinggi yang memberikan panorama luarbiasa indah. “Ton, siapa wanita bercadar itu? dia tahu namaku loh,” langsung saja kutanya pada Toni sepupuku yang saat itu tengah duduk bersamaku.

“Dia Inur. Masa kamu tak ingat teman SMP mu dulu?”

“Inur? Oh… Inur setiasih, ya..ya..ya aku ingat. Pantaslah seperti pernah kulihat pan­dang­an matanya,” kataku sambil tersenyum.

“Wah 7 tahun tidak jumpa…dia makin cantik memakai cadar,” gumamku dalam hati. Aku hampir lupa jika masa SMP ku ku­ha­biskan di desa ini dan bermain bersa­manya.

“Apa dia masih suka tersenyum dan se­nyumannya apa masih seindah dulu gak ya?” gumamku lagi dalam hati. Rasa dag dig dug ku yang dulu seolah berlari tuk kembali setelah mengetahui itu dia.

 Tak ingin menyia-nyiakan waktu libur yang ada, aku langsung mende­katinya. Ku­sempatkan menyapanya selalu setiap mata kami berpapasan. Ternyata dia masih suka tersenyum. Meski tak dapat kulihat, tapi senyum di balik cadar itu pasti masih seindah dulu. Setelah beberapa hari, akhirnya kami dekat bahkan lebih dekat dari hubungan dulu. Aku sangat yakin dengan perasaan ini dan sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.

“Tidak, aku tidak bisa pulang secepat ini,” hatiku berbicara lagi kala waktu pulang te­ngah memanggilku untuk menghadap. Tanpa berfikir panjang, langsung saja kutunda kepulanganku kekota karena Inur takkan kulepas lagi.

“Inur mau ikut akang ke kota?” tanyaku dengan harapan besar.

“Tidak Kang. Inur di sini aja, Inur sudah betah disini. Lagian ada yang harus Inur kerjakan disini. Akang memangnya mau kembali?”Tanyanya kembali.

“Iya, tapi Kang Mustafa gak bisa ninggalin kamu. Gimana ya?” Akupun bingung. Tak mungkin aku memak­sanya untuk ikut. Malamnya ragaku tergeletak tapi jiwaku melayang layang tak karuan. Aku galau kalau kata orang gaul.

“Besok kamu jadi pulang kan?” Tanya Nenek tiba-tiba dari pintu kamarku.

“Bingung, Nek.”

“Bingung kenapa? Kok mau pulang saja pake bingung segala.” Nenek tertawa.

“Nenek tahu Inur kan? Nenek kenal dia kan? Mustafa suka sama dia Nek, makanya Mustafa bingung.”

“Apa?” Inur Setiasih maksudmu nak?” Tanya Nenek keheranan.

“Iya, kenapa Nek? Salah ya?” Mataku terbelalak dengan keheranan Nenek.

“Dia memang anak yang baik. Tapi dulu setelah lulus SMA dia menghi­lang selama kurang lebih tiga tahun. Tidak ada yang tahu kemana dia bahkan orangtuanya sendiri tidak tahu. Tiba-tiba baru-baru ini dia kembali dengan merubah semua penampilannya. Dia mengenakan cadar dan kerudung, sikapnya pun agak berbeda. Kampung ini terheran melihat dia kembali seperti itu. jadi kamu pikir-pikir dulu lah,” jelas Nenek sambil memandangiku.

Paginya aku kembali dilema antara perasaanku dan perkataan Nenek tadi malam. Kuputuskan untuk mena­nyakan dulu apa yang terjadi sebenarnya. Kuajak pujaan hatiku itu bertemu di sebuah tempat di kaki gu­nung yang amat indah peman­dangannya. Hiasan awan lembut dan tetesan embun pagi melukiskan perasaan kami saat itu.

“Kemana kamu menghilang selama tiga tahun Inur?” tanyaku saat kami sedang duduk. Kupandang wajahnya namun dia tidak meman­dangku.

“Apa Akang jadi pulang seka­rang?” tanyanya mencoba mengalih­kan arah pem­bicaraan. Aku tahu ada yang tidak beres disini.

“Inur, jawab Akang. Kamu menghilang kemana selama tiga tahun? Apa yang terjadi, kenapa kamu gak cerita pada akang?” akupun semakin penasaran.

“Untuk apa Inur cerita? Memang­nya penting buat Akang tentang masalalu Inur? Pergilah Akang, kita tidak akan cocok dan aku tidak bisa bilang ke Akang tentang hal itu.”

 Mendengarnya, perasaanku langsung terjatuh, tak pernah kulihat wajah lugunya emosi seperti itu. Aku langsung pergi dari hadapannya dengan perasaan kecewa dan mening­galkan desa itu dengan semua cerita yang ada didalamnya.

Kumulai lagi hidupku seperti awal saat dia telah kulupakan dulu. Alangkah kagetnya aku setelah beberapa bulan aku meninggal­kannya, aku malah melihatnya kem­bali di sebuah siaran berita TV. Dia terlibat jaringan teroris dan kini tengah dipenjarakan bersama komplotannya.

Hatiku menangis saat tahu di balik cadar itu ternyata bukan senyuman manis lagi melainkan zip yang ditemukan oleh petugas dipasang dili­dahnya untuk memata-matai seke­lilingnya. Kabarnya mereka akan me­nga­jak desa-desa kecil untuk bergabung dengan komplotannya menyerang pemerin­tah­an pusat.

“Kenapa, kenapa? Kenapa harus dia Tuhan?” gumamku menangis pilu.

Kuringankan langkah kakiku untuk membesuknya sambil melampiaskan sisa rindu yang masih tersimpan. Dia memelukku erat dan kubalas pelukannya. “Kenapa kamu lakukan ini Inur?” tanyaku memandanginya.

 “Inur tak tahu Akang? Otak Inur dipengaruhi sama mereka dan Inur tidak bisa menolak. Tapi hukuman ini memang pantas untuk seorang pembunuh seperti Inur. Inur sudah banyak membunuh orang. Anggaplah aku ini tidak pernah ada Akang,” katanya sambil menangis berlari kedalam sel.

Sedang airmataku tak berhenti menghu­jani pipiku. Di balik cadar gadis itu kini hanya ada bibir yang menangis dan penyesalan akan perbuatannya yang tak dapat dimaklumi lagi. Seumur hidup dipenjara adalah bagiannya. Aku Mustafa, akan tetap menjenguknya hingga saatnya tiba nanti di balik cadar itu senyum manis Inur kembali lagi. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi