Fitrah Orang Tua Mendidik Anak

Oleh: Nevatuhella. Orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya de­ngan cara yang benar. Bukan semata mengan­dal­kan cara men­di­dik orang tua dahulu yang mereka alami di masa mereka anak-anak. Sebabnya lingkungan dan cara pan­dang masyara­kat dalam berbagai segi k­ehidupan terus mengalami perubah­an. Baik dalam pandangan agama, lingku­ngan, dan sosial yang berubah, memberi dam­pak positif dan  negatif.

Pandangan yang berdampak positif, seperti kemajuan tek­nologi, mem­per­mudah orang  melakukan atau me­nger­ja­kan kebutuhan hidup dan tugas-tu­gas­nya. Misalnya saja menanak nasi. De­ngan tidak tersedianya lagi kayu bakar, ma­­syarakat dapat memasak dengan meng­­gunakan gas atau listrik. De­mikian ber­­tani. Petani dapat menggunakan me­sin bajak dan mesin pemanen. Begitu ju­ga nelayan. Melaut dengan bot ber­me­sin. Termasuk pula men­didik atau me­nga­jar anak-anak di ru­mah menjadi mu­dah. Karena ada hand­phone, menga­jari anak cara ber­ko­mu­nikasi. Ada in­ter­net, me­ngajari anak men­­­cari infor­ma­si. Orang tua tinggal mem­berikan tun­tunan bagai­mana dan apa tujuan dari berbagai kemudahan ter­sebut. Apa­lagi orang tua bisa men­je­laskan bagaimana, dan pe­ngor­banan apa yang telah diberikan para pe­­nemu alat-alat teknologi dan ko­mu­ni­kasi tersebut. Yang begini, bisa disebut se­bagai orang tua jempolan.

Dampak positif lain atas kemajuan tek­nologi dan informasi, melalui televisi anak-anak bisa melihat berbagai film ani­­masi. Anak-anak bisa mengenali he­wan dan tumbuhan. Laut dan gunung, serta bunga-bungaan. Dapat juga menge­nali negeri-negeri seberang yang jauh me­­lintasi laut dan benua. Kemajuan trans­­portasi mempermudah dan memu­rah­kan bepergiaan anak-anak untuk ber­darma-wisata mengenali daerah yang in­dah, yang berbeda dengan tempat ting­gal­nya. Orang tua bi­jak, selalu berusaha mam­bawa anak-anak untuk berdarma-wi­sata. Mengenali kehidupan yang sesungguhnya.

Nah, dampak positif kemajuan tekno­lo­gi dan informasi yang saya sebutkan di atas harus diserut (perhalus) lagi oleh orang tua. Misalnya seberapa lama anak di­izinkan menonton televisi. Mem­per­ke­nalkan realitas harus dilakukan. Rea­litas so­sial yang saat ini jungkir balik ter­jadi disekitar kita. Misal­nya adanya ke­lom­pok sempalan LGBT. Jangan sampai anak kita mengenali gajah atau kodok hanya di gambar atau animasi yang ada di televisi. Sungai, gunung dan hutan harus menjadi bagian alamiah anak.

Selanjutnya dampak negatif dari per­kembang teknologi ia­lah berku­rang­nya komunikasi antara orang tua dan anak. Se­mua sudah serba instan dan mapan. Kalau sebelumnya, anak ma­sih bisa me­rengek pada orang tua untuk satu ke­per­luan, sekarang tidak lagi. Semua sudah se­lalu tersedia. Emosi anak kurang ber­ke­mbang. Anak mengenali sekeli­ling­nya de­ngan mem­­buat penilaian sendiri. Bahkan menurut apa yang dilihat­nya dengan mata dan hati polosnya. 

Hal diatas semua menyangkut masa­lah fisik. Masalah yang tak kalah pen­tingnya adalah masalah jiwa. Per­kem­ba­ngan jiwa anak yang menjadi motor peng­gerak sikap atau karakter anak. Ba­gaimana memulai memperkenalkan ke­benaran dengan cara yang benar. Cara-cara yang manusiawi.

Ada beberapa hal saya kemukakah pada warakah ini me­nyangkut pembi­na­an jiwa dan karakter anak-anak, dalam rang­ka penguatan peran orang tua dalam men­didik anak-anaknya.

Pertama, orang tua sebaiknya menge­na­li watak dan karak­ternya sen­diri. Pe­ma­rah, ataukah seorang yang pe­nya­bar. Egois atau tak acuh. Watak dan ka­rakter orang tua harus ber­kem­bang sesuai dengan nilai-nilai yang diama­nat­kan agama, adat istiadat dan nilai-nilai lu­hur lainnya. Sesuai dengan per­kem­bangan ilmu kejiwaan beserta keleng­ka­pan­nya. Jangan main tendang dan tam­par, seperti ayah-ayah zaman lampau. Dan juga ibu jangan main maki dan cela. Jangan pernah me­mak­sakan kehendak kepada anak-anak. Termasuk mau jadi apa dia nantinya kalau sudah dewasa.

Kedua, orang tua dalam menjalankan fung­sinya sebagai nak­hoda sebuah ke­luarga, lewat rekayasa wataknya harus di­­­sesuaikan dengan watak anak-anak­nya. Jangan dipersama­kan selalu watak orang tua dengan watak anak, sekalipun ia lahir dari rahim kita. Setiap individu pas­ti berbeda. Hal ini harus menjadi pe­ga­ngan orang tua. Kita lihat kenya­taan, rupa anak kita hanya sebatas mirip de­ngan kita, belum tentu watak dan ka­rak­ter­nya.

Ketiga, tentang nilai-nilai kebenaran yang kita anut. Ter­ma­suk perilaku kita se­bagai orang tua. Ini yang membuat mun­culnya hambatan anak dalam per­kem­bangan watak dan karak­ternya. Apa yang dilihat di sinetron atau film-film, tidak sama dengan yang terjadi di rumah. Apa yang dikatakan guru di kelas, tidak sama dengan yang terjadi di rumah. Guru menga­takan, sikat gigi 3 kali se­hari, di rumah tidak di praktekkan. Guru agama mengatakan sholat wajib 5 kali sehari, nyatanya di rumah lebih sedikit, alias berkurang. Guru mengajari anak-anak suka berbagi, orang tua memesan pada anaknya “Jangan diberi pada orang lain, untuk kau saja itu tidak cukup.”

Menjadi Dewasa

Anak-anak akan menjadi orang de­wasa, kelak. Ketika dia dewasa segala per­buatannya akan dipertanggungjawab­kan. Maka sejak masa anak-anak, mereka harus dilatih dengan sikap bertanggung ja­wab. Kalau sebuah pensil hilang, orang tua harus minta pertanggungjawaban dari anak. Orang tua bo­leh memakai sistem 5W+1H juga untuk membuat keputusan atas masalah yang dibuat anak.  Walau tak seperti seorang jaksa yang meng­ha­kimi.

Orang tua harus selalu mempunyai ba­yangan, bahwa anak­nya akan menjadi de­wasa. Anaknya hanya akan berbahagia de­ngan cara hidup yang benar. Orang tua se­lalu melupakan hal ini. Mereka selalu ber­pandangan anaknya tetap seorang anak yang serba dilindungi. Terlebih lagi ada atok dan nenek, atau oppung yang sa­ngat memanjakan cucu. Ya, kalau atok­nya sebijaksana Aki-nya Aris dan Ara dalam film animasi Pada Zaman Dahulu. Kalau tidak, anak yang menjadi korban.

Begitu banyak yang harus dipelajari dan didiskusikan oleh orang tua dalam men­didik anak-anaknya. Cobalah luang­kan waktu lima belas menit untuk mem­baca buku yang berkenaan dengan pen­di­dikan anak-anak. Atau dapat pula, bila per­lu mengontak para pakar pendidikan anak.

Orang tua, marilah kembali ke fitrah. Mari kembali kepada naluri manusia sejati kita. Kiranya tak ada yang lebih penting bagi orang tua, selain mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Untuk itu, orang tua harus berani berkorban. Jangan se­baliknya begitu banyak yang terjadi, bah­wa anak-anaklah yang menjadi kor­ban. Lihat di sekitar kita, anak-anak yang men­jadi korban poligami, kemiskinan, ke­kerasan, narkoba, sampai sebagai kor­ban homoseksual dan lesbianisme yang me­runtuhkan harkat kita sebagai ma­nu­sia. ***

Penulis adalah esais, pemerhati sosial-politik

()

Baca Juga

Rekomendasi