Takengon, (Analisa). Warga Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara sangat mengharapkan jalur jalan bekas Kertas Kraf Aceh (KKA) seluruhnya dilapisi aspal. Arus transportasi dan aktivitas masyarakat yang meghubungkan keempat wilayah itu saat ini dinilai cukup ramai dan padat.
Menurut Kadis Bina Marga Aceh, Ir Anwar Ishak saat kunjungan pimpinan DPRA di lokasi proyek, jalan Simpang KKA-batas Bener Meriah yang panjangnya sekitar 55 kilomter (Km) sekarang sudah tembus. Dari batas Aceh Utara ke Bener Meriah sekitar 45 km, jalannya juga sudah tembus sehingga total panjang jalan Simpang KKA-Bener Meriah sekitar 100 km.
Menurut Anwar, tujuan pengaspalan jalan Simpang KKA-Bener Meriah untuk mengefektifkan lintas itu sebagai jalur transportasi yang efisien dan ekonomis bagi petani sayur dan kopi di Bener Meriah dan Aceh Tengah untuk memasarkan hasil perkebunannya ke Medan atau Malaysia melalui Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara.
Setelah seluruhnya diaspal, petani yang ingin memasarkan hasil produksinya tak lagi harus menggunakan jalur Bieruen-Takengon tapi sudah bisa menggunakan jalur tersebut, sehingga jarak tempuhnya lebih pendek.Kalau selama ini melalui jalan Bireuen-Takengon butuh waktu tiga jam, tapi melalui jalan Simpang KKA-Bener Meriah, waktunya hanya dua jam, ungkapnya.
Pantauan Analisa, Minggu (10/7) masih ada sekitar 10 km lagi ruas jalan yang belum diaspal dan masih berbatu. Padahal hampir di sepanjang kiri kanan jalan sudah banyak terlihat kegiatan warga baik yang membuka kebun maupun rumah untuk berdagang.
Warga Kampung Buntul Kemumu, Kecamatan Permata, Aman Ujang (35) menyebutkan, kendala yang dihadapi warga saat hendak berpergian melalui jalur KKA adalah masih belum adanya rambu-rambu yang memadai.
Selain itu, sebagian jalan masih berbatu sehingga berdebu dan berbahaya bagi pengendara. Hampir setiap minggu ada saja informasi kendaraan yang tergelincir masuk parit atau terbalik.
Ramai dan Padat
Dikatakannya, saat liburan seperti lebaran ini arus transportasi di jalur jalan KKA ramai dan padat, walau pengguna jalan sebagian harus pasrah “makan” debu. Tidak hanya kendaraan roda dua dan roda empat yang melintas tapi juga roda enam seperti truk yang ditumpangi warga. Pedagang juga sering mengangkut hasil kebunnya melalui jalur KKA ini, di perbatasan mereka diminta retribusi.
Perbedaan suasana alam yang panas saat memasuki daerah pesisir dan berubah dingin saat masuk daerah pegunungan juga menjadi magnit tersendiri bagi warga yang belum pernah melewati jalur ini, ujar Aman Ujang.
Rusli (40) warga Lhokseumawe menyebutkan, sejak dibukanya jalur KKA, ia sering melintas menggunakan kendaraan pribadi ke Takengon mengunjungi sanak famili dan berdagang kain. Sebaiknya, ujar Rusli, pada malam hari urungkan niat untuk melewati jalur jalan KKA karena masih banyak tikungan berbahaya tanpa marka jalan, selain itu berkabut dan belum ada penerangan jalan apalagi saat musim hujan sangat berbahaya.
Ia berharap agar pemerintah mempercepat pengaspalan jalan jalur KKA agar mudah dilalui warga. Di samping itu perekonomian masyarakat di kabupaten/kota terdekat kini kian berkembang. Kualitas jalan hendaknya juga diperhatikan agar tidak cepat rusak dan bertahan lama. (jd)