Mengembalikan Kehormatan Guru

Oleh: Maruntung Sihombing. Kalau kehormatan, marwah dan dera­jat guru sudah diren­dahkan, dihina dan di­injak-injak serendah-rendahnya, maka tak usahlah kita meng­im­pikan pendidikan di negara ini bisa maju dan bangkit dari se­gala keter­pu­ru­kan­nya. Saya sebagai guru (pendidik), ju­jur saja geram melihat per­soalan yang ter­jadi baru-baru ini di­mana banyak guru di­bui, dihina dan di­per­malukan di depan pu­blik dengan ber­dalihkan "pe­langgaran HAM" dan pelaku tin­dak pidana baik oleh pe­serta didik mau­pun orang tua peserta didik. Bagi saya, terlepas dari segelintir (oknum) guru yang kadang juga mencide­rai marwah pen­didikan kita, harga diri dan mar­tabat (dignity) guru menjadi harga mati yang perlu dilindungi dan dijaga de­ngan baik dimanapun dia berada.

Guru juga tentu bukan dewa yang luput dari masalah, kelemahan dan dosa. Dia tetaplah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah, khilaf dan dosa. Saya bukan ber­maksud mau "membenarkan" ter­mi­no­logi bahwa guru juga manusia, tapi se­kali lagi, kalau "kemanusiaannya" sudah di­tindas dan dijolimi, maka sebagai guru, persoalan ini harus menjadi perhatian serius kita semua. Menyepelekan per­soa­lan ini, berarti membiarkan pendidikan kita hancur berantakan. Menganggap per­soalan ini sebagai hal kecil dan tak perlu di­seriusi, maka kedepan bisa dipastikan tidak akan ada orang yang bercita-cita dan menggeluti dunia keguruan apalagi terjun menjadi guru. Bisa kita bayangkan betapa ngerinya bukan?

Pastinya, bagi kami guru, harga diri ada­lah barang mewah yang siapapun tidak boleh mengambilnya apalagi me­reng­gut­nya. Presiden atau menteri se­ka­li­pun. Lagian, sebagai manusia, bu­kan­kah harga diri dan martabat menjadi se­suatu yang perlu "disakralkan" dan dijaga "kesucian­nya"? Bahkan, terkadang gara-gara masalah harga diri, seringkali per­tikaian terjadi. Di keluarga saya misalnya, men­jaga harga diri dan martabat ke­luarga menjadi hal mutlak yang selalu diajarkan dan dina­sihatkan oleh orang tua saya. Termasuk menjaga dan men­junjung harga diri dan martabat orang lain gimanapun kondisi dan situasinya.

Jangan Mendikte Guru

Tidak bisa disangkal, penghormatan guru dari generasi ke generasi sudah mulai te­gerus oleh zaman yang sudah semakin maju dan modern ini. Dulu waktu saya du­duk di bangku Sekolah Dasar (SD) tahun dua ribuan misalnya, ketemu bahkan me­lihat guru saja sudah takut. Takut dalam artian segan dan hormat karena meng­ang­gap mereka adalah jalan dan tangga me­nuju masa depan yang lebih baik. Bahkan (al­marhum) bapak saya pernah cerita, dia pernah sembunyi di jalan karena berpa­pa­san dengan gurunya. Saking takutnya, ka­tanya, dia ambil jalan pintas agar tidak baku ketemu dengan gurunya. Tambahnya lagi, katanya, pernah dia dipukul gurunya ka­rena tidak mengerjakan PR (pekerjaan ru­mah) dan mengadu ke kakek saya. Lucu­nya, kakek saya bukan malah menga­du­kan sang guru ke polisi atau mendatangi ru­mah si guru dan mencaci makinya, yang ada malah bapak saya yang tambah dije­wer.

Tapi saat ini yang terjadi malah guru se­ring­kali dianggap dan diterjemahkan se­ba­gai "pembantu" dan "pelanggar HAM" yang seenaknya bisa diperlakukan de­ngan sem­barangan, baik oleh peserta di­dik, orang tua peserta didik dan pe­me­rin­tah. Guru seolah-olah jadi gampang di­dikte, di­batasi dan dike­rangkeng kegu­ru­an­nya. Se­kali lagi, tulisan ini tidak ber­maksud untuk membenarkan guru, tapi bi­sakah kita tidak mendikte guru agar bisa bekerja, mengajar, dan mendidik dengan baik? Kendatipun ada beberapa guru yang melakukan kesala­han terhadap siswanya, semisal mencubit dan memarahi siswa dengan taraf kewaja­ran- walaupun sebe­tul­nya itu tidak dibe­nar­kan, tapi saya ya­kin dan percaya itu di­lakukan semata-mata untuk kebaikan ber­sama. Saya juga ber­ke­yakinan tidak satu­pun guru yang mau anak didiknya hancur dan bodoh. Semua guru menginginkan agar anak didiknya bisa menjadi anak yang pintar, cerdas dan ber­karakter.

Masalahnya, apakah hanya dengan alasan yang demikian guru pantas dija­di­kan sebagai pelaku kriminal dan pe­lang­garan HAM yang lantas diadukan ke ke­po­lisian? Kalaupun misalnya ada undang-un­dang yang mengatur dan membatasi demikian, tapi bijaknya menurut saya, pertama perlu ditempuh dan dilakukan dengan cara-cara kekeluargaan. Guru , ke­pala seko­lah dan orang tua siswa ter­lebih dahulu berembuk dan mencari jalan keluar yang terbaik. Kedua, semua pihak perlu menelusuri proses terjadinya kejadian mulai dari awal hingga terjadinya keja­dian. Cari akar masalahnya. Supaya ma­sa­lah menjadi terang benderang. Ke­tiga, orang tua siswa harus mengetahui bah­wa pendidikan acapkali tidak akan terjadi kalau semua persoalan ditimpakan kepada guru. Orang tua yang sesungguh­nya lebih ba­­nyak berperan. Dan yang pa­ling penting tidak menunjukkan "aro­gansi" yang ber­lebihan hingga sampai-sam­pai membui si guru dan memenjarakan­nya karena masa­lah-masalah sepele yang se­jatinya bisa di­selesaikan secara keke­luargaan.

Keempat, sekolah harus menjalin komunikasi yang intens antara orang tua siswa dan sekolah. Perlu diadakan perte­mu­an rutin antara kedua belah pihak. Ke­lima, tentu guru juga bukan dewa yang selalu benar, baik dan tahu dalam segala hal. Untuk itu, guru juga harus berbenah dan intropeksi diri dan mau belajar dalam meningkatkan kapasitas dan kom­peten­si­nya sebagai guru yang profesional yang pa­tut ditiru, diguguh dan diteladani.

Guru Terpanggil atau Guru "Di­pang­gil"?

Dan terakhir, ini paling penting, apakah men­jadi guru sebuah panggilan atau ka­rena "dipanggil" saja. Saya sangat tertohok dengan status Dedy Gunawan Hutajulu, beberapa waktu lalu. Dalam status yang di tulisnya di dalam sebuah jejaring media sosialnya (facebook), dia membagikan sebuah pengalamannya yang sangat unik juga "menamparku" secara tidak lang­sung. Saya pun yakin, guru yang memba­ca­nya pasti merasakan hal yang sama de­nganku. Sedikit saya akan kutip isi pe­ngalaman­nya. Katanya, ketika dia pergi me­ngikuti se­buah liputan di sebuah tem­pat, tepatnya se­buah sekolah bonafit di se­buah daerah, tiba-tiba salah seorang dari rombongan me­­reka, Ahmad Rizali, Staf Khusus Ke­mendikbud RI melempar tanya kepada anak-anak yang ada di sekolah itu, "Sia­pa dari kalian yang mau jadi dokter? "Siap, saya, saya, saya, Pak," jawab bebe­rapa anak sembari mengacungkan tangan.

Ketika ditanya siapa jadi insinyur, lagi-lagi dijawab dengan, "saya, saya, saya," se­jum­lah anak berlomba acungkan tangan. Dan ketika kembali ditanya, "Siapa yang mau jadi guru?". Semua anak bungkam. Tak ada satu pun yang mau bicara. Tak ada reak­si antusias. Rizali merasa apakah per­ta­nya­annya yang salah atau memang anak-anak itu yang tak selera dengan profesi guru, lalu ia mengulang perta­nyaan­nya. Te­tapi jawa­ban­nya tetap sama : diam. Wajah anak-anak itu tenang sekali. Tak ada satu pun yang ter­tarik dengan pertanyaan te­rakhir itu. Rizali akhirnya mencoba men­jelaskan bahwa semua pendiri bangsa ini ada­lah guru. Ia menyebut beberapa nama se­perti Soekarno, Ki Hajar Dewan­tara dan lain-lain, yang jadi orang hebat di re­publik ini, mereka adalah guru. Rizali akhir­nya mundur. Ia balik kanan dengan sebuah perasaan janggal.

Sebagai guru, tentu saya sangat mema­ha­­mi bagaimana perasaan Pak Rizali ke­tika mendapati respon dingin dari anak-anak tentang keinginan mereka yang "ti­dak ada" un­tuk terjun menjadi seorang guru. Hal yang sama juga sering kualami ketika su­dah berada di ruang kelas. Ketika menanyai sis­wa tentang apa cita-cita mereka ketika sudah besar nanti, hampir sebagian besar mereka memilih menjadi dokter, tentara/polisi, bidan, pilot, presi­den, bupati, dan lain ragam profesi "elit" lain­nya. Hanya satu dua saja yang memilih menjadi guru. Nampaknya profesi guru tidak pernah menjadi profesi incaran masa kini. Terma­suk untuk anak-anak yang kelak menjadi ge­nerasi penerus di bangsa ini. Menjadi guru sering diper­sepsikan sebagai peker­ja­an "kacangan", sampingan, alih-alih su­paya dapat pekerjaan terpaksa terjun men­jadi guru. Ironis sekali bukan?

Berkaca pada situasi diatas, sejurus pertanyaan kemudian lahir. Pertanyaan pertama, apa sebenarnya sebab sehingga orang (anak-anak) tidak lagi mau mene­kuni profesi mulia itu saat ini? Kedua, lang­kah apa yang mesti ditempuh agar orang-orang di Indonesia "berduyun-duyun" dan akhir­nya mau meminati profesi guru se­bagai pro­fesi idaman dan profesi yang pa­ling di­bang­ga-banggakan? Ketiga, ba­gai­mana menempa guru supaya terus menerus mau berkiprah dalam dunia keguruan? Ar­tinya mau berta­han pada profesi guru se­panjang hayat mesti diperhadapkan pada masa-masa sukar dan sulit. Tidak mudah "me­loncat" ke profesi yang "lahannya be­cek". Mengingat saat ini menjadi guru se­ring diterjemahkan sebagai pekerjaan sam­pingan dan pekerjaan "kedua" buat se­ba­gian orang yang sudah terjun sebagai guru ditambah lagi kesejah­te­raan guru yang masih morat-marit.

Untuk itu, agar orang-orang, termasuk anak muda mau menekuni profesi sebagai guru, pemerintah terlebih dahulu mesti mensejahterakan gurunya, tidak melaku­kan intervensi bahkan intimidasi, termasuk mempermudah segala urusan yang dilaku­kan oleh guru. Sebagaimana harapan Anies Bas­wedan, guru juga harus dikhususkan, dispesialkan, dida­hulukan, serta dihormati dimanapun dia berada. Kemudian, secara perlahan kalau itu sudah terlaksana, maka paradigma orang terhadap guru selama ini akan luntur seiring berjalannya waktu. Orang-orang malah akan "berduyun-duyun" untuk terjun menjadi guru.

Yang terakhir adalah bagaimana men­ja­di­kan guru benar-benar memiliki karir pan­jang menjadi seorang guru. Sebagai­mana yang saya utarakan diatas, dewasa ini banyak guru yang menjadi "peloncat profesi" lantaran passionnya menjadi guru tidak pernah dinikmatinya. Keterpang­gi­lan­nya menjadi guru sebenarnya tidak ada. Maka sangat disarankan, ketika kuliah mestilah memilih jurusan sesuai minat, kemampuan dan cita-cita. Tidak terjebak dalam "euforia minat" masyarakat pada umumnya. Atau bahkan mengikuti kehen­dak pribadi orang tua. Semoga! ***

* Penulis adalah seorang pendidik dan tinggal di Papua

()

Baca Juga

Rekomendasi