Pdt Dr Darwin Lumbantobing:

HKBP Mandiri Tentukan Identitas Kepribadian

P. Siantar, (Analisa). Ketua Rapat Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (KRP HKBP), Pdt Dr Darwin Lumbantobing mengatakan, HKBP telah mandiri menentukan identitas kepriba­diannya. HKBP mandiri sebagai gereja, baik dalam arti “tubuh Kristus”– sebagai perse­kutuan orang-orang kudus, maupun sebagai gereja dalam arti institusional atau kelem­bagaan.

Hal tersebut dikemukakan Darwin Lum­bantobing me­ngomentari 76 tahun keman­dirian HKBP (10 Juli 1940-10 Juli 2016). Dikatakan, dalam arti usia personal, keman­dirian di­pahami sebagai masa akil-balik. Dari masa kanak-kanak ke masa tingkat dewasa. Dalam arti, tanggung-jawab, kemandirian adalah ke­matangan berpikir dan bertindak. Tanpa harus diasuh, tanpa harus diarahkan dan tanpa harus dibimbing.

Artinya, seseorang yang sudah dewasa dapat dan mampu berbuat dari dirinya sendiri. Dapat, mampu dan bertanggung-jawab atas semua tugas dan pelayanan yang diembankan kepa­danya. Ia melakukan suatu pekerjaan atas ini­siatif sendiri, di­dorong oleh kemauan dan mo­tivasi dari diri sendiri dan ber­hasil dengan benar. Kekristenan seperti inilah yang diharapkan.

Dalam bahasa rasul Paulus, dikatakan: “kekristenan makanan keras, bukan kekris­tenan susu” (1 Kor 3:2; Ibr 5:13-14). Kristen “susu” adalah Kristen kanak-kanak. Kristen “makanan keras” ada­­lah Kristen yang dapat memilih, menolak dan menentukan pilihan­nya sesuai dengan imannya kepada Kristus”.

Dalam arti institusional, seperti gereja HKBP, kata Darwin Lumbantobing, keman­dirian – zelfstanding, manjujung bari­ngin­­na, ber­arti dapat dan mampu mengatur diri sen­diri, dapat dan mampu menjalankan tugas dan tanggung-jawab yang diembankan kepada­nya sebagai gereja, dan secara mandiri.

Berperang

Disebutkannya, menjelang perang dunia kedua (1940), ketika Indonesia berada dalam jajahan kolonial Belanda, negara-negara sekutu (Amerika, Inggris, dan Belanda) berperang melawan Jerman. Hegemoni Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler disadari sangat berbahaya. Jerman kalah dalam perang itu. Akhirnya Jerman takluk kepada kekuasaan negara sekutu.

Ekses kekalahan Jerman berdampak kepada HKBP. Pada waktu itu, pemimpin struktural dan pelayan misionar di HKBP dominan berada di tangan para misionar Jerman yang diutus RMG – Reinischen-missions Gesselschaft. Akibatnya, para misionar Jerman dibuang dan dipenjarakan. Ada yang dikirim ke di Negara-negara Asia yang berada di bawah kekuasaan sekutu, seperti India, Tiongkok dan lain-lain. Tapi ada juga di­pen­jarakan di dalam negeri, seperti di “tangsi militer” Tarutung.

Pada waktu peristiwa itu, yang memimpin HKBP adalah Dr Ernst Verwiebe (Ephorus 1936-1940), seorang berkebangsaan Jer­man. Lalu ia ditangkap dan dipenjarangkan di “tangsi militer” Tarutung. Sekali pun ada per­timbangan karena Dr Verwiebe adalah Epho­rus HKBP, namun semua misionar Jerman, termasuk Ephorus Dr Verwiebe dibuang ke luar negeri atau ditahan di “tangsi militer” Tarutung tidak dan dapat lagi melaksanakan tugas pelayanannya. Kepemimpinan HKBP dan pelayanan di semua jajaran (pelayanan ibadah dan organisasi) HKBP, benar-benar kolaps, vakum, dan tidak berjalan.

Untuk mengatasi keadaan itu, jabatan pelaksana tugas sementara keephorusan diserahkan kepada Ds de Kleine, satu-satunya misionar barat, tetapi warga negara Belanda. Dalam kondisi seperti itu, ada upaya nyata-nyata yang menginginkan agar Ds de Kleine dikukuh­kan saja sebagai ephorus definitif secara lang­sung dan melalui Sinode Godang, menggantikan Dr Verwiebe yang berhalangan tetap.

Gagasan itu mendapat dukungan dari penguasa kolonial Balanda, pada waktu itu. Akan tetapi, para pendeta Batak, pen­deta pribumi yang dikenal sebagai pendeta kelas dua pada waktu itu, menolak dengan tegas. Momen itu justru dianggap sebagai saat­nya HKBP mandiri. Atas dukungan dan semangat kemandirian HKBP dari kalangan jemaat, yang dipelopori para pendeta Batak tersebut, diadakanlah Sinode Godang Istimewa HKBP. Sinode pada 10-11 Juli 1940 di Seminari Sipoholon, Tarutung, dengan acara tunggal: pemilihan Ephorus HKBP.

Ada tiga calon Ephorus pada waktu itu, yaitu Ds de Kleine, Pdt Kasianus Sirait, dan Pdt Justin Sihombing. Pemenangnya adalah Pdt Kasianus Sirait. Akan tetapi istilah jabatan Ephorus dilarang dipakai karena berbau Jerman, lalu diganti dengan sebutan berbahasa Belanda, yaitu Voorzitter. Wewe­nang, posisi. dan fungsinya sama dengan jabatan Ephorus. Inilah pertama sekali HKBP dipimpin oleh pendeta pribumi, yakni pendeta Batak. Peristiwa itu ditetapkan HKBP sebagai hari jadi ke­man­dirian HKBP – HKBP Manjujung Baringginna. (rel/rama)

()

Baca Juga

Rekomendasi