Sejumlah Air Terjun di Tamiang Menghilang

Kualasimpang, (Analisa). Sejumlah air terjun di Aceh Ta­miang, mulai menghilang dan tidak mengalirkan air lagi dari pegunungan asalnya. Hal itu disebabkan sejumlah faktor, mulai dari alih fungsi lahan sampai perambahan dan pembabatan hutan secara ilegal.

Dewasa ini, air terjun yang berpo­tensi menghilang yang letaknya di luar kawasan hutan ialah air terjun Kam­pung Bandung, Kecamatan Ka­rang Baru.

Sementara, air terjun Tansar Beng­kelang dan Aras Sembilan, Ke­ca­matan Bandar Pusaka, sejak dua tahun ter­akhir dikabarkan raib tidak mengalir lagi. Bahkan, sumber airnya diprediksi tidak ada lagi akibat alih fungsi lahan.

Menurut sejumlah kalangan pemer­hati lingkungan di kabupaten ini, baru-baru ini, air terjun yang sudah total pu­nah yaitu air terjun Aras Sembilan, aki­bat alih fungsi kawasan hutan sebagai sumber air secara besar-besaran baik oleh perorangan maupun perusahaan. Sedangkan, air terjun Tansar Beng­kelang dan Kampung Bandung debit airnya kian menyusut.

Air terjun Kampung Bandung di per­­batasan antara Karang Baru dan Manyak Payed pernah menjadi prima­dona objek wisata pemandian pada 1990-an. Gaungnya pun terdengar hing­ga keluar daerah.

Setiap akhir pekan maupun hari-hari besar, kawasan air terjun Kampung Bandung selalu ramai dikunjungi, terutama kawula muda. Tapi kini nasibnya nyaris tak ter­dengar lagi oleh wisatawan lokal maupun luar daerah.

Kini sejumlah air terjun juga tidak lagi mengucurkan air yang deras, termasuk air terjun Kampung Bandung, karena tak dirawat dan terjadi peram­bahan hutan untuk alih fungsi lahan.

Menurut masyarakat sekitar, di Kampung Bandung ada tiga lokasi pe­mandian yang dikenal dengan “Terjun Tiga”, namun saat ini telah ditutup un­tuk umum. Pasalnya, sering terjadi kecelakaan karena pengunjung kurang hati-hati menjangkau terjun tersebut.

Alih Fungsi

Namun, ada juga versi manyebutkan telah terjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran di area wisata, sehingga membuat kan­dungan air di lereng perbukitan Kam­pung Bandung mengering, sehing­ga air terjun bertingkat tiga tersebut tak lagi diminati pengunjung. Kini, hanya satu lokasi pemandian yang dibuka untuk umum karena masih meman­curkan air dari atas meskipun debitnya terus menurun.

Menurut peta wilayah, lokasi air terjun ini berada di ujung Desa Payah Tampah, Kecamatan Karang Baru. Namun, untuk menjang­kau­nya, jalur yang biasa digunakan ialah dari Desa Paya Katenggar, Kecamatan Manyak Payed, sekitar 40 kilometer dari pusat Kabupaten Aceh Tamiang.

Bagi pemi­nat, tidak lagi harus melintasi jalanan berdebu dan berlu­bang sekitar 20 kilometer dari jalan nasio­nal, karena sudah diaspal mulus oleh pemda setempat.

Untuk mencapai lokasi, kendaraan yang ditumpangi harus diparkirkan sekitar 300 meter dari lokasi air terjun lalu menyusurinya dengan berjalan kaki.

“Pada masa konflik belasan tahun silam, sejumlah tempat wisata di Aceh tidak terkecuali air terjun Kampung Bandung menjadi mati suri. Orang-orang tidak lagi memikirkan tempat wisata, apalagi merawatnya. Karena untuk bertahan hidup saja masyarakat harus dihadapkan dengan keadaan dilematis pada masa itu,” tutur masya­rakat sekitar, Rolly (34).

Menurtnya, para pecinta lingkungan yang merupakan penduduk sekitar terpaksa meninggalkan kampung halaman demi bertahan hidup. Pasca konflik, sebagian warga Kampung Ban­dung pulang untuk berbenah. Ma­yo­ritas warga yang kembali adalah yang masih memiliki lahan perkebun­an. Tapi tidak sedikit yang menjual lahannya kepada orang lain dan hijrah mencari lokasi baru yang aman.

“Sekarang ini paling hanya pengun­jung lokal yang jumlahnya bisa dihi­tung dengan jari,” ujarnya.

Berpotensi kritis

Sementara, air terjun dalam kawasan hutan seperti air terjun Bukit Tinggi Sangka Pane, Bahturung Alur Bampo, Bandar Pusaka; air terjun Seribu di Kam­pung Rongoh, air terjun Pintu Ku­wari, perbatasan Tamiang Hulu dan Teng­gulun; kondisinya sudah menyusut karena perambahan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Tegakan hutan nyaris beralih fungsi menjadi hamparan kebun sawit yang dikelola perusahaan maupun non perusahaan. Ditambah lagi, pemba­lakan liar dan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung masih berlang­sung hingga saat ini.

“Air terjun Bahturung Alur Bampo dan Sangka Pane adalah dua lokasi air terjun terbesar di Aceh Tamiang, tapi berpotensi kritis sangat tinggi,” tandas aktivis lingkungan Aceh Tamiang, Sayed Zainal, kepada Analisa di Kualasimpang, baru-baru ini.

Kendati banyak potensi air terjun yang bisa dikembangkan untuk objek wisata lokal di Aceh Tamiang, tapi sejauh ini tidak ada satupun air terjun yang dikelola oleh pemkab setempat. Malahan, potensi air terjun terbesar di Aceh Tamiang tidak masuk dalam potensi sumber daya air dalam Qanun Aceh Tamiang No 14/2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten (RTRWK) Aceh Tamiang.

Di sisi lain, sambung Sayed Zainal yang juga Direktur Eksekutif LSM LembAHtari ini, rencana pemba­ngun­an pabrik semen di Desa Kaloy, Ta­miang Hulu, jelas akan mengganggu kawasan tangkapan air. Pasalnya, ka­wasan lokasi industri semen merupa­kan sub daerah aliran sungai (DAS) ter­besar di Aceh Tamiang yang hilirnya merupakan Sungai Kaloy.

Air yang mengalir dari sejumlah anak sungai masuk ke dalam karst dan sungai bawah tanah serta alur-alur yang dibentuk oleh alam selama ratusan tahun silam. “Hulunya sumber air itu berasal dari Gunung Topi berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues,” kata­nya.

Menurutnya, bahan baku semen yang akan dieksplorasi dan dieks­ploitasi merupakan wilayah yang dica­dangkan untuk sumber air. Sehingga, jika pabrik semen berdiri, potensi sumber daya air khususnya wilayah hulu akan kritis, apalagi saat musim kemarau.

“Itu karena industri semen akan mengupas (menebang hutan) bukit kuarsa dan cadangan kuarsa. Selain itu lempengan dolomit, lempung, dan gamping juga akan hilang. Mirisnya, sejauh ini belum ada rencana detail tata ruang berkaitan kawasan strategis,” urainya.

“LembAHtari juga menyesalkan, sampai hari ini Pemkab Aceh Tamiang belum memiliki qanun kawasan strate­gis. Sebenarnya hal tersebut adalah amanat Qanun No 14/2013 tentang RTRWK Aceh Tamiang,” tambahnya sem­bari mengimbau Pemkab Aceh Ta­miang menghentikan rencana pemb­an­gun­an pabrik karena pemberian izin ling­k­ungan yang diperlukan masih mem­butuhkan pengkajian ulang seba­gai syarat mendapatkan izin izin yang lain. (dhs)

()

Baca Juga

Rekomendasi