Pulau Asu, Nias Barat Sebening Kaca

Oleh: Anthony Limtan 

Boat Hasambuah yang membawa rombongan “Tour de Nias” dari dermaga Sirombu, Nias Barat - Pulau Asu merupakan pengalaman yang tak 

terlupakan. Setengah jam menembus ombak, akhirnya kami tiba 

di pulau terluar Indonesia yang luasnya sekitar 18 kilometer

persegi dan hanya dihuni 20 kepala keluarga.

Setelah menelusuri perjalanan panjang (1.475 kilometer) sejak 2 Juli hingga 10 Juli 2016, yang dimulai dari Medan-Berastagi-Tongging-Sidikalang-Singkil-Gunung Sitoli-Lahewa, Teluk Dalam, Nias Selatan (Pantai Sorake, Teluk Lagundri, Pantai Moale, Bawomataluo) dan yang terakhir bermuara di Pulau Asu (Nias Barat), tak terbantahkan lagi, rombongan kami berjumlah 20 orang mengacungkan jempol menyatakan kepuasannya. Nias memang oke!.

Lima hari 4 malam menjajal Pulau Nias, yakni Nias Utara, Nias Tengah, Nias Barat dan Nias Selatan, Kotamadya Gunung Sitoli, masing-masing dipimpin seorang bupati dan satu walikota, saya memastikan ini adalah episode perjalanan saya yang paling menggoda, paling menantang dan paling eksotis. Ck..ck..ck..!

**

Kami menyeberang dari dermaga Singkil dengan feri ASDP Teluk Singkil ke Gunung Sitoli Minggu (3/7) pukul 22.00. Sebelumnya saya tidak tahu ada feri yang mengangkut mobil dari Singkil-Gunung Sitoli. Philip Gan, Pengusaha Hotel Soliga Gunung Sitoli memberitahukan, rute tersebut hanya dilayani kapal ASDP seminggu dua kali, yakni Minggu dan Rabu. Dan, jarak tempuhnya melalui Singkil juga lebih pendek, yakni 6 jam. Berbeda dengan feri Sibolga-Gunung Sitoli, kalau cuaca bersahabat memakan waktu rata-rata 8 jam.

Biaya penyeberangan 1 unit mobil berikut 4 penumpang via KM Teluk Singkil dari Singkil - Gunung Sitoli Rp900 an ribu. Di dalam kabin, kalau kita ingin lebih nyaman, bisa menyewa kamar (bila masih tersedia) yang dihitung per ranjang (bad). Satu bad Rp125 ribu. Kamar-kamar yang biasanya ditempati ABK atau kapten kapal itu jumlah ranjang di kamar berbeda. Kalau satu kamar terdapat 4 bad, berarti rombongan kami harus merogoh kocek Rp500 ribu. Di dalamnya terdapat tv, full AC.

Sedang tiket penumpang lainnya kelas ekonomi dibandrol Rp55 ribu per orang menempati bangku di kabin non AC. Suasana ini terus terang jauh dari rasa nyaman.

Tiba di dermaga Gunung Sitoli pukul 06.00 pagi. Satu per satu mobil yang kami kendarai keluar dari perut kapal. Sinar matahari pagi itu menyorot begitu tajam dan hangat. Wartawan Analisa di Gunung Sitoli, Lase Toloziduhu yang turut memandu tour kami selama di Nias sudah menunggu siap menjemput di dermaga. 

Kami berjumlah 20 orang disambut dengan sapaan khas Nias Yaahowu.

Begitu mencecahkan kaki pagi itu di Gunung Sitoli, kami dibawa Lase sarapan pagi. Setelah berputar-putar di kota itu, ternyata pagi itu aktifitas kota yang digoyang gempa 2005 lalu masih sepi. Warung penjual sarapan banyak yang belum buka. Akhirnya kami sepakat sarapan di warung pemiliknya suku Minang yang menjajakan lontong, soto, nasi gurih. Kami begitu menikmati masakan tersebut. Maknyus bangat, kami memuji Lase yang begitu pintar mencarikan sarapan enak. Hehe.. 

Kemudian kami check in ke Hotel Soliga yang berada di Jalan Gunung Sitoli-Teluk Dalam Km 4.

Pantai Tureloto

Senin, 4 Juli 2016 pukul 11.00 kami memulai petualangan, yakni mengunjungi Pantai Tureloto di Desa Orotuho, Kecamatan Lahewa, Nias Utara. 

Pantai ini berjarak 80 kilometer dari pusat Kota Gunung Sitoli atau memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan dengan medan yang berbukit dan badan jalan mulus.

Pantai Tureloto adalah pantai yang tenang tanpa ombak. Di tepi pantai terdapat gugusan karang karang berukuran besar dan kecil menyembul di permukaan laut, layaknya seperti kura-kura. Airnya yang biru dan jernih membuat ikan-ikan di karang pun bisa kita lihat langsung.

Menurut warga setempat, karang karang tersebut menyembul pasca gempa Nias 2005. Air laut surut beberapa ratus meter sehingga sebelumnya karang berada di dasar laut menjadi tampak seperti menyembul ke permukaan.

Pantai ini memiliki kadar garam yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan kita mengapung jika dalam keadaan tubuh tenang. Pengalaman ini akan membuat Anda seolah berada di Laut Mati Yordania.

Selain berenang atau snorkeling, pengunjung bisa menikmati keindahan pantai dengan menggunakan perahu nelayan untuk mengitari hamparan gugusan batuan karang. 

Beberapa fasilitas di Pantai Tureloto terkesan dikelola seadanya oleh warga setempat. Warung penjaja makanan dan minuman tersedia, namun tampak sederhana dan kurang tertata. Sampah-sampah makanan dibiarkan berserak. Di sini juga disediakan penyewaan kamar mandi seusai berendam di laut. Air sumur yang kita gunakan untuk mandi cukup jernih.

Terlepas fasilitas yang masih perlu dibenahi, terus terang pantai ini memang indah dan layak dikunjungi.

**

Nias memiliki wisata budaya, seperti atraksi lompat batu di Desa Bawotataluo sudah menjadi semacam trade mark Pulau Nias. Namun lebih dari itu, keelokan pulau di ujung Barat Sumatera ini mempunyai pantai yang landai, berpasir halus. Sepanjang jalan dari Gunung Sitoli - Teluk Dalam yang ditempuh dalam kisaran 2 jam, kita akan menyaksikan lambaian nyiur yang begitu eksotis. Sekitar 15 menit sebelum tiba di ibukota Kabupaten Nias Selatan, deburan ombak menggemuruh di pantai yang dapat kami lihat dari di sisi kiri kendaraan. 

Di simpang lima pusat kota Teluk Dalam, pemandu kami Henry Jogo Bonito sudah menunggu dan siap membawa kami pelesir.

Pantai Sorake

Meski ombak besar namun tidak menyurutkan nelayan mencari ikan. Sepanjang tepi pantai tampak ibu-ibu menjajakan ikan-ikan segar yang baru saja dijaring suami mereka. Berbagai jenis ikan segar yang dijajakan di atas meja. Ada juga ikan yang diikat dalam satu renteng kurang lebih 3-4 kilogram yang terdiri dari ikan merah, kerapu, jenahar yang dihargai sekitar Rp50 ribu. Begitulah suasana sore itu di tepi Pantai Sorake.

Pantai Sorake sebelum terjadi gempa 2005 lalu, pantai ini masih tertata dengan baik. Namun pasca bencana alam itu, air laut surut sampai seratusan meter membuat keindahan pantai tergerus. 

“Sudah lama tidak ada kejuaraan surfing bertaraf internasional di sini. Pantainya yang landai berpasir halus kini rusak ulah penambang pasir,” ujar pemandu kami Henry Jogo Bonito yang menyesalkan kekurang-sadaran warga setempat untuk membangun potensi daerahnya melalui wisata.

Pasca gempa Nias 2005 lalu, seperti pengakuan Pak Barriga pemilik cottage Barriga Surf Camp tempat kami menginap di Pantai Sorake, turis yang datang semakin sedikit. Akibatnya, pengusaha penginapan di pantai itu beralih profesi menjadi penambang pasir, nelayan atau bertani. Sorake Beach, satu satunya hotel berkelas internasional milik seorang pengusaha properti di Medan pasca gempa kondisinya makin tak terurus dan akhirnya tutup. Hanya sedikit yang eksis menjual jasa penginapan di pantai ini, termasuk Pak Barriga, Mark Flint warga Australia yang pernah juara surfing bertaraf internasional awal tahun akhir tahun 90-an.

Begitupun, Barriga menyatakan keoptimisannya bahwa pariwisata di Nias belum kiamat. Nias akan bangkit kembali. Semuanya terpulang kepada pemerintah dan kesadaran masyarakat dalam melayani tamunya.

Pantai Moale

Pantai Sorake dan Teluk Lagundri, Pantai Moale masih menjadi destinasi andalan Pemkab Nias Selatan. Ketika kami mengunjungi Pantai Moale, yang jaraknya sekitar 70 kilometer dari Teluk Dalam atau dapat ditempuh sekitar 45 menit, sayang sekali pantai yang begitu indah berpasir landai tidak tertata dengan baik. Bahkan warga setempat terkesan abai pada potensi wisata yang saya nilai melebihi pantai Kuta - Bali.

Ketika iring-irangan mobil akan menuju lokasi ini, harus merayap di antara jalan yang sempit dan bersemak-semak. 

Dua jam rombongan kami berfoto ria di pantai ini sembari menikmati ganasnya ombak yang terus bergemuruh. Saat-saat yang paling ditunggu di pantai ini adalah mengabadikan suasana ketika matahari sore mulai tenggelam di peraduannya. Saya merekomendasikan pantai ini sangat cocok untuk foto pra wedding. Senja di Moale, memang oke bangat hmmm..., fantasis, eksotis. Indah sekali.

Bawomataluo

Hari kelima Tour de Nias kami mengunjungi desa cagar budaya Bawomataluo yang terkenal dengan tradisi atraksi lompat batu. 

Bawomataluo adalah salah satu desa di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Desa ini terdiri 9 dusun berada pada ketinggian 324 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya menuju desa ini kita harus menaiki 89 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat. Posisinya desa yang dalam bahasa Nias berarti Bukit Matahari terletak di perbukitan membuat desa ini berhawa sejuk.

Ketika menjejakkan kaki di desa ini, kita bagai dirunut kembali ke masa silam, pada zaman megalitikum. Uniknya, seluruh permukaan daerah Desa Bawomataluo tersusun dengan bebatuan, tidak seperti daerah lainnya permukaannya tanah. Konon desa ini sudah ada sejak zaman batu besar. Bukti konkrit adalah sebuah bangunan kuno berupa rumah adat raja Nias yang sekarang tempat tinggal dari keturunan ke-4 dari raja Nias.

Rumah adat yang berusia ratusan tahun itu tampak gagah, dibangun dengan balok-balok kayu raksasa tanpa menggunakan paku. Di sinilah keturunan raja bertempat tinggal. Sedangkan rumah warga lainnya yang jumlahnya seribuan berdampingan dengan rumah ketua adat tapi ukurannya lebih kecil.

Di desa adat ini kami disuguhkan atraksi lompat batu yang dilakukan 3 pemuda. Dengan pakaian adat berupa baju rompi dan topi satu per satu permuda itu berhasil melewati bongkahan batu yang terletak di depan rumah adat. Selain kami para pengunjung lainnya pun memberikan aplus dengan tepuk tangan.

Kami membayar Rp600 ribu pada tiga pemuda itu sebagai jasa empat kali lompatan. Seiring dengan itu tampak sejumlah pemuda menjajakan souvenir bagi para pengunjung, seperti patung kayu, tombak, belati, gelang, baju kaos khas Bawomataluo.

Sayang sekali di desa adat ini, warga menjual jasa wisatanya terkesan seadanya. Campur tangan pemerintah dinilai minim sekali, sehingga semua berproses secara alami. Misalnya, masih banyak ditemukan warga menjemur pakaian di depan rumahnya. Pemandangan ini kurang elok dilihat. Demikian juga kabel listrik yang bergelantungan dan jauh dari kesan rapi. Kiranya hal ini bisa menjadi perhatian warga dan pemerintah setempat.

Dalam perjalanan kembali Hotel Soliga Gunung Sitoli malam itu, papanya sahabat saya, Pak Herman (Jonson) mengundang kami makan durian Nias yang terkenal lezatnya. Saat itu musimnya sudah hambir habis. Namun 50 buah durian yang disajikan untuk kami benar-benar melengkapi kuliner petualangan kami. Ck..ck.ck!

Pulau Asu

Puncak petualangan (7/7), kami mengunjungi Pulau Asu yang selama ini tamu tidak akan gampang mendapatkan kamar kalau tidak membookingnya beberapa bulan sebelumnya. Di resort ini sebelumnya hanya ada dua pengelola home stay atau cottage, yakni dikelola oleh Steve warga Australia dengan laber “Puri Asu.”Sedangkan yang dikelola warga lokal dengan nama “Mama Selvi Cottage. 

Kedua penginapan di pulau ini sudah tertutup untuk kami karena sudah full sejak 3 bulan yang lalu di booking warga Medan. Namun ternyata masih ada satu warga lokal lainnya membuka home stay lagi yang bernama “Ama Nosep”. Atas rekomendasi Bupati, kami pun akhirnya di home stay Ama Nosep.

Mau tahu berapa biaya 1 malam nginap di Home Stay Puri Asu?

Karena pasarnya adalah para bule, tarif nginap 1 malam termasuk biaya akomodasi, kapal pergi-pulang, kamar dan makan Rp1 juta per orang per malam.

Sepasang suami istri warga Brazil Amor dan Amaranta juga membuka jasa penginapan di pulau itu dan menyewakan papan surfing. Tarif per paket di sini lebih mencekik leher lagi Rp1,2 juta per malam. Ya..., mahal, tapi mereka lebih fokuskan pangsa pasarnya untuk turis asing.

Sedangkan home stay yang dikelola warga lokal lebih murah. Biaya sewa kamar sekitar Rp400 an. Biaya makan dihitung per porsi sekitar Rp50 ribuan. Sedangkan akses menuju Pulau Asu dari dermaga Sirombu memakan waktu sekitar 1 jam dengan kapal kayu. Bila dengan speed boat bisa lebih cepat dengan memuat 5-6 orang. Harga sekali jalan di kisaran Rp1 jutaan. Bila datang dengan rombongan bisa menggunakan kapal kayu yang memuat sekitar 30 orang. Pulau pergi tarif kapal Rp1,8 juta.

Rombongan kami sangat menyukai suasana di pulau yang dihutani pohon kelapa. Pulu ini mampu memberikan semua yang Anda inginkan. Situasi yang tenang, nyaman serta keramahan warga setempat membuat Anda betah tinggal berlama-lama.

Di pulau ini Anda dapat melakukan aktifitas mulai berjemur di pantai (jangan lupa pakai sun block kalau tidak ingin terjadi perubahan warna kulit), berenang, tracking keliling pulau yang layak dilalui sekitar 2,5 km, menyelam, snorkeling, memancing dan surfing.

Sebening Kaca

Begitu kapal merapat di dermaga, beberapa rekan langsung menceburkan diri ke pantai. Berenang, menyelam, snorkeling. Air laut sangat jernih, sebening kaca. Tampak ikan hias menari nari di dalam. Burhan Wijaya rekan kami memuji kejernihan airnya.

“Seumur-umur baru kali ini melihat air laut sebening kaca,” ucapnya.

Bagi yang hobi memancing,hmmm ini kesempatan emas untuk merasakan tarikan ikan-ikan di Pulau Asu. Anda bisa menyewa perahu nelayan Rp400 ribu per hari. Siapkan joran dan mata kail-mu dengan umpan udang atau daging tongkol, And akan merasakan sensasi menarik mata pancing.

Keesok harinya, pukul 13.30 boat yang membawa kami sudah beranjak meninggalkan Pulau Asu. Nakhoda kapal cepat kami Diki Marunduri, mengatakan jangan kesorean keluar dari sana, karena biasanya ombak akan lebih tinggi.

Boat dengan mesin 2x250 tenaga kuda pun melesat meninggalkan pulau impian itu. Lamat-lamat nyiur yang melambai di sepanjang pulau pun hilang dari pandangan kami. ***

Tips ke Pulau Asu

* Kendaraan yang direkomendasiken menuju dermaga Pulau Asu berpostur tinggi dan supir yang mahir. Kondisi medan yang ekstrem, terjal dan jalan sangat rusak.

* Bawalah sun blok untuk mencegah sengatan sinar matahari selama bermain di pantai.

* Sediakan senter, karena di Pulau Asu tidak tersedia listrik PLN. Penerang genset hanya hidup sampai pukul 04.00. Beberapa kawasan yang kita lalui kalau malam gelap.

* Bagi yang hobi mancing, bawalah joran dengan umpan udang atau daging ikan tongkol. (ton)

()

Baca Juga

Rekomendasi