Ketupat Mamak dan Perempuan Bernama Siti

Oleh: Novita Sari Purba.

Seharusnya, sejak dulu aku menyadari bahwa kehidupan ini tidak terlalu menakutkan untuk dihadapi sekalipun harus sendirian.

** 

Sudah lama aku tak menikmati ketupat buatan emak. Dulu, semasa berusia remaja, tiap Lebaran tiba, mamak selalu membuatkan ketupat sebagai makanan khas keluargaku sebagaimana juga keluarga lain di kampung ini. Satu hari sebelum lebaran, semua warga berbondong-bondong ke rumah Bu Siar. Di sanalah tempat berkumpulnya ibu-ibu untuk membuat keranjang ketupat sembari menciptakan topik pembicaraan yang hangat tentang Lebaran hingga di sela habisnya topik baru akan muncullah gosip dan kemudian bertebaran yang diracik kreatif oleh para perempuan itu. Bisa dimaklumi, satu hari penuh teras rumah ibu paruh baya itu dijejali manusia. Apalagi yang mereka bicarakan seusai tentang indahnya lebaran selain mencipta gosip?

Aku tidak heran lagi jika Siti selalu menjadi bahan perbincangan. Siti memang gadis desa tercantik di kampungku. Dari namanya saja sudah cantik. Siti Badriah Ningrum. Hingga wajahnya yang selalu dipuja-puja oleh hampir semua lelaki di kampungku kecuali Narto yang notabenenya telah ditolak oleh siti berkali-kali. Oleh Alih penolakan itu, mulut Narko dengan lantang selalu berkata Siti itu tak ada cantik-cantiknya.

“Di mataku Siti itu tak ada cantik-cantiknya,” ujar Narko saat berkum­pul dengan pemuda desa lainnya. Penyangkalan itu sudah terlalu sering diucapkan oleh si malang, Narko.

“Tapi dia sangat manis,” celetuk Robi.

“Tak ada manis-manisnya,” Narko bersikeras.

Aku mengangguk pelan. Ya, siti itu memang sama sekali tidak manis dan tak cantik pula, ujarku menelan ludah yang mengering. Pembicaraan ini tidak asing lagi bagiku. Setiap hari aku disuguhi bahan cerita tentang Siti. Aku selalu mendengar bagaimana kagumnya pemuda kampungku dengan perempuan bernama Siti.

“Les... Leles... Bikin kopi dulu, Les,” ujar seorang di antara mereka. Aku sedikit terkejut. Kok dia tahu nama aku, ujarku dalam hati. Aku sedikit tersipu.

“Iya, Bang,” ucapku sedikit bersemangat.

“Les... Leles... bikin kopi lagi,” Narko memanggilku. Sambil mencomot gorengan yang ada di piring, dia memintaku untuk membuat kopi tanpa sekalipun melihat ke arahku.

Sejujurnya, aku sudah lama menyukai Narko. Tak ada yang tahu tentang ini. Karena itu pula aku selalu senang ketika Narko mengatakan Siti itu tidak cantik dan sama sekali tak manis. Namun, saat Narko menga­takan itu, saat itu pula aku mendapati kata-kata penyangkalan dan kebohongan dari diri Narko. Dia mengatakan itu bukan karena Siti tidak cantik. Perkara Narko ditolak Siti berkali-kali itu sudah menjadi rahasia umum dan bahkan menjadi berita utama kaum ibu di beberapa momen membuat keranjang ketupat jelang lebaran.

Itu sudah lama. Mungkin hampir lima tahun yang lalu. Limat tahun dari ketika aku memilih untuk pergi dari kampung. Tidak ingin menjadi gadis pembuat kopi di kedai kampung yang sama sekali tidak pernah menjadi bahan pembicaraan. Yang ada aku hanya selalu menyaksikan mereka yang selalu tak bosan memper­bincangkan Siti, Si Perempuan Beruntung, itu. Sebenarnya aku tak apa, tetapi ketika Narko ikut nimbrung di dalamnya, hatiku sangat sakit. Ini alasan kesekian aku pergi dari kampung, alasan yang lebih pelik lagi, lebih dari sekadar sakit hati.

**

Aku merindukan ketupat buatan mamak. Ketupat kue khas keluargaku yang selalu menyenangkan untuk disantap bersama. Saat itu, masih ada bapak dan adikku, Mukhlis juga belum merantau ke Jakarta.

Tiap lebaran tiba, aku selalu merin­dukan itu meski setelah lima tahun di sini aku juga enggan menginginkan kepulangan. Ayah tidak ada lagi. Mukhlis juga tidak pulang tahun ini, dan aku tidak ingin pulang jika rumah sesepi itu.

“Kak Les, ada seseorag yang nungguin di teras,”

“Siapa?” ucapku tak penasaran.

“Ngak tahu. Katanya dia ingin jumpa sama Kakak,”

Itu pasti Fauzan. Semalam aku meminta dengan tegas dan sedikit marah agar dia tak menggangguku sepanjang Lebaran. Aku beralasan untuk tidak bertemu siapa-siapa. Selalu begitu, aku memang tak ingin diganggu di momen itu.

“Suruh dia pulang saja. Bilang aku tidak sedang di rumah,” ucapku ringan.

Sarah berlalu. Namun, beberapa menit kemudian datang lagi.

“Bilang sama dia agar dia berhenti menjadi laki-laki yang berisik,” ucapku sedikit garang.

Sarah terperanjat.

“Iya, Kak.”

Aku tersenyum kecut. Tiga tahun kebersamaanku dengan Fauzan, aku tak pernah tahu apakah aku benar-benar mencintainya. Bahkan banyak waktu yang memberiku jawaban bahwa aku tak mencintai lelaki itu.

“Aku membenci semua laki-laki, Rah. Karena pada akhirnya mereka akan pergi. Sama seperti Bapak dan Mukhlis.” ucapku meski aku tahu Sarah tidak sedang bertanya.

Di situasi ini aku tak inginkan Sarah memberi kata-kata apa pun. Dan Sarah seperti memahaminya. Sarah terdiam namun mengangguk pelan.

**

Pagi yang dingin ketika aku terbangun mendapati HP-ku bergetar.

“Kamu tak mencintaiku? Aku juga tak ingin berlama-lama bersama seorang wanita yang menganggapku hanya pengganggu. Kita putus saja.” Fauzan.

Aku menelan ludah. Air mata merebak. Bagaimanapun, Fauzan sudah menjadi orang istimewa di hidupku. Aku tak mengenal siapa pun seperti mengenal siapa Fauzan. Aku tak mengingat siapa pun seperti nama lelaki itu yang sudah sangat lekat di hatiku. Sayangnya, siapa pun Fauzan dan kuanggap seberapa istimewa dia di hidupku, aku tak pernah menginginkan dia lebih dari sekadar sosok istimewa. Dan, beberapa minggu terakhir aku menyadari, aku telah terlalu bodoh membuang-buang waktu dengan seseorang yang tidak pernah ingin kumiliki seutuhnya dan aku sudah terlalu bodoh membuang waktu berharga seseorang hanya untuk mengharapkanku.

Yah, aku memang tak mencintaimu, ucapku kelu.

**

Sarah meninggalkan pesan. Hari ini dia akan mudik dan meninggalkan bingkisan kecil di meja kerjaku.

“Aku berharap, Kakak berbahagia pada momen Lebaran tahun ini,” tulisnya dalam sebuah kertas. Aku mengangguk kecil meski tahu tak ada yang menyakitkan dari anggukanku.

Aku tentu saja akan berbahagia. Aku memasukkan bingkisan itu ke dalam tas dan berencana membukanya di tengah perjalanan nanti.

Ini semua tidak terlalu buruk untuk dinikmati. Aku tersenyum, menyak­sikan koper yang tergeletak di sudut ruangan.

Aku akan pulang. Tak harus takut akan rasa sepi dan duka mendapati bapak tak ada lagi di momen Lebaran serupa tahun lalu. Tak harus terlalu khawatir mendapati Mukhlis yang juga tak ada di rumah tahun ini. Aku akan pulang dan berlalu dari kepengecutanku akan rasa takut tersakiti.

Seharusnya, sejak dulu aku menyadari bahwa kehidupan ini tidak terlalu menakutkan untuk dihadapi sekalipun harus sendirian. Aku juga harus pulang karena aku merindukan ketupat buatan mamak. Dan aku rindu sebagai gadis penyaji kopi di kedai kampung. Meski sekali ini aku tak berharap akan dianggap lagi, aku ingin pulang untuk menyaksikan segalanya.

Air mataku menetes. Dalam genggaman tanganku, samar-samar aku melihat Si Gadis Beruntung, Siti, yang tengah berpose berdampingan dengan Narko yang akan melangsung­kan pernikahan beberapa hari lagi.***

Soekamto, 2016

()

Baca Juga

Rekomendasi