Permendikbud 18/2016 Harus Dijalankan dengan Maksimal

Perpeloncoan Dapat Timbulkan Rasa Dendam

Medan, (Analisa). Perpeloncoan atau yang saat ini disebut Masa Orientasi Siswa (MOS) yang diiringi tindakan bullying dapat menimbulkan rasa den­dam dari generasi ke generasi. Se­bab, ajang MOS tersebut menjadi bentuk balas dendam dari senior yang sebelumnya juga sudah me­nga­lami penyiksaan dalam MOS se­belumnya.

Demikian disampaikan Psikolog Irna Minauli kepada Analisa, Jumat (22/7). Ia mengatakan, MOS se­be­narnya memiliki hal yang positif se­­perti memperkenalkan siswa de­ngan lingkungan sekolah, fasilitas se­kolah, para guru dan senior me­reka. Jika dilakukan dengan baik, maka dapat mengembangkan iklim sekolah yang positif. Hanya sa­yangnya, dalam pelaksanaannya, MOS ini sering berubah menjadi ben­tuk bullying yang ditujukan un­tuk mendapatkan penghormatan dari siswa baru.

"Alhasil ajang ini menjadi mo­men balas dendam dari senior yang sebelumnya mengalami bul­lying dari senior terdahulu. Akhir­nya, kekerasan menjadi sesuatu yang diwariskan dari generasi ke ge­nerasi. Apalagi perpeloncoan yang ada saat ini sering berbentuk pe­­lecehan terhadap harga diri sis­wa. Mereka mendapatkan julu­kan-julukan yang tidak me­nye­nang­kan, yang merupakan bentuk bullying verbal yang menjatuhkan har­ga diri siswa baru tersebut," ujar­nya.

Efek psikologis yang ditimbu­lkan dari bullying, imbuhnya, sering ber­aki­bat pada penurunan keper­ca­yaan diri dan ketidaknyamanan sis­wa menghadapi sekolahnya. Ke­cemasan terhadap sekolah ini dapat mem­buat siswa kemudian me­ngem­bangkan aversive con­di­tio­ning, dimana siswa menganggap se­kolah merupakan tempat yang tidak menyenangkan. Pada akhir­nya, siswa dapat menolak pergi ke se­kolah.

"Pada kasus yang ekstrim seperti di Amerika misalnya, para remaja yang menjadi korban bullying se­ringkali tampil sebagai pemban­tai ba­gi para siswa lainnya, bahkan siswa yang tidak bersalah. Hal ini disebabkan adanya perasaan bahwa siswa lain yang menyaksikan ke­ke­rasan tersebut dianggap berpe­ran dalam penderitaan yang dialami si korban. Terlebih, kondisi fisik dan psikologis remaja saat ini cen­de­rung lebih rapuh, membuat ba­nyak remaja yang tidak siap meng­hadapi tekanan yang diterimanya dari pihak sekolah maupun senior­nya. Itu sebabnya banyak yang ke­mu­dian menjadi pingsan atau ter­te­kan dengan tugas yang di­be­ri­kan," katanya.

Ia menuturkan, dari tindakan bullying itu dapat menimbulkan trau­matis pada si korban yang me­ngalaminya. Namun, tergantung pada karakter kepribadian dari re­maja itu sendiri. Mereka yang me­miliki kepribadian yang rapuh cen­derung akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Sementara, me­reka yang memiliki kepribadian yang agresif akan melampiaskan balas dendamnya ketika mereka memiliki kesempatan.

"Segala tindakan yang kita la­kukan sebenarnya harus dipikir­kan terlebih dahulu, bagaimana dam­­pak yang ditimbulkan ke de­pan­nya. Oleh karena itu, saya setuju se­kali dengan Permendikbud no­mor 18 tahun 2016 yang telah di­tetapkan. Aturan tersebut dapat men­cegah terjadinya bullying yang bia­sa menyertai MOS. Saya berha­rap semoga peraturan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan tidak ada lagi tindakan-tindakan perpe­lon­­coan (bullying) di dunia pendidi­kan Indonesia karena ber­dampak pada psikologis seseorang," ucap­nya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Sumatera Utara Muliadin Harahap. Ia setuju dengan adanya Permen­dik­bud nomor 18 tahun 2016 karena me­nurutnya, selama ini MOS di In­donesia mengarah kepada praktik per­peloncoan dan itu sangat tidak men­didik.

"Dengan digerakkannya kegia­tan Pengenalan Lingkungan Seko­lah (PLS) di saat MOS, diharapkan pada hari pertama sekolah dapat lebih bermanfaat bagi perkem­ba­ngan peserta didik. Mengingat da­lam PLS, bukan senior yang men­jadi pelak­sananya melainkan guru. Jika masih ada senior yang keta­huan melakukan bullying kepada ju­niornya, saya rasa harus ditindak tegas oleh pihak sekolah," ungkap­nya.

Ia menambahkan, peran orang­tua, pemerintah, pihak sekolah (guru) dan para pemuka agama me­miliki andil dalam hal ini. Mereka harus berperan aktif dalam pen­di­dikan anak-anak muda seba­gai ge­nerasi penerus bangsa. Jika semua pi­hak bersinergi, tentu Permen­dikbud tersebut dapat berjalan dengan baik.

"Permendikbud nomor 18 tahun 2016 itu harus dijalankan dengan mak­simal. Perlu kerjasama dan si­nergitas semua pihak. Dengan be­gitu, dunia pendidikan di Indo­ne­sia bisa menjadi lebih baik, maju dan berkembang," tutupnya. (tiwi)

()

Baca Juga

Rekomendasi