Medan, (Analisa). Perpeloncoan atau yang saat ini disebut Masa Orientasi Siswa (MOS) yang diiringi tindakan bullying dapat menimbulkan rasa dendam dari generasi ke generasi. Sebab, ajang MOS tersebut menjadi bentuk balas dendam dari senior yang sebelumnya juga sudah mengalami penyiksaan dalam MOS sebelumnya.
Demikian disampaikan Psikolog Irna Minauli kepada Analisa, Jumat (22/7). Ia mengatakan, MOS sebenarnya memiliki hal yang positif seperti memperkenalkan siswa dengan lingkungan sekolah, fasilitas sekolah, para guru dan senior mereka. Jika dilakukan dengan baik, maka dapat mengembangkan iklim sekolah yang positif. Hanya sayangnya, dalam pelaksanaannya, MOS ini sering berubah menjadi bentuk bullying yang ditujukan untuk mendapatkan penghormatan dari siswa baru.
"Alhasil ajang ini menjadi momen balas dendam dari senior yang sebelumnya mengalami bullying dari senior terdahulu. Akhirnya, kekerasan menjadi sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi perpeloncoan yang ada saat ini sering berbentuk pelecehan terhadap harga diri siswa. Mereka mendapatkan julukan-julukan yang tidak menyenangkan, yang merupakan bentuk bullying verbal yang menjatuhkan harga diri siswa baru tersebut," ujarnya.
Efek psikologis yang ditimbulkan dari bullying, imbuhnya, sering berakibat pada penurunan kepercayaan diri dan ketidaknyamanan siswa menghadapi sekolahnya. Kecemasan terhadap sekolah ini dapat membuat siswa kemudian mengembangkan aversive conditioning, dimana siswa menganggap sekolah merupakan tempat yang tidak menyenangkan. Pada akhirnya, siswa dapat menolak pergi ke sekolah.
"Pada kasus yang ekstrim seperti di Amerika misalnya, para remaja yang menjadi korban bullying seringkali tampil sebagai pembantai bagi para siswa lainnya, bahkan siswa yang tidak bersalah. Hal ini disebabkan adanya perasaan bahwa siswa lain yang menyaksikan kekerasan tersebut dianggap berperan dalam penderitaan yang dialami si korban. Terlebih, kondisi fisik dan psikologis remaja saat ini cenderung lebih rapuh, membuat banyak remaja yang tidak siap menghadapi tekanan yang diterimanya dari pihak sekolah maupun seniornya. Itu sebabnya banyak yang kemudian menjadi pingsan atau tertekan dengan tugas yang diberikan," katanya.
Ia menuturkan, dari tindakan bullying itu dapat menimbulkan traumatis pada si korban yang mengalaminya. Namun, tergantung pada karakter kepribadian dari remaja itu sendiri. Mereka yang memiliki kepribadian yang rapuh cenderung akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Sementara, mereka yang memiliki kepribadian yang agresif akan melampiaskan balas dendamnya ketika mereka memiliki kesempatan.
"Segala tindakan yang kita lakukan sebenarnya harus dipikirkan terlebih dahulu, bagaimana dampak yang ditimbulkan ke depannya. Oleh karena itu, saya setuju sekali dengan Permendikbud nomor 18 tahun 2016 yang telah ditetapkan. Aturan tersebut dapat mencegah terjadinya bullying yang biasa menyertai MOS. Saya berharap semoga peraturan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan tidak ada lagi tindakan-tindakan perpeloncoan (bullying) di dunia pendidikan Indonesia karena berdampak pada psikologis seseorang," ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Sumatera Utara Muliadin Harahap. Ia setuju dengan adanya Permendikbud nomor 18 tahun 2016 karena menurutnya, selama ini MOS di Indonesia mengarah kepada praktik perpeloncoan dan itu sangat tidak mendidik.
"Dengan digerakkannya kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) di saat MOS, diharapkan pada hari pertama sekolah dapat lebih bermanfaat bagi perkembangan peserta didik. Mengingat dalam PLS, bukan senior yang menjadi pelaksananya melainkan guru. Jika masih ada senior yang ketahuan melakukan bullying kepada juniornya, saya rasa harus ditindak tegas oleh pihak sekolah," ungkapnya.
Ia menambahkan, peran orangtua, pemerintah, pihak sekolah (guru) dan para pemuka agama memiliki andil dalam hal ini. Mereka harus berperan aktif dalam pendidikan anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Jika semua pihak bersinergi, tentu Permendikbud tersebut dapat berjalan dengan baik.
"Permendikbud nomor 18 tahun 2016 itu harus dijalankan dengan maksimal. Perlu kerjasama dan sinergitas semua pihak. Dengan begitu, dunia pendidikan di Indonesia bisa menjadi lebih baik, maju dan berkembang," tutupnya. (tiwi)