Oleh: Andryan, SH., MH.
“Perbedaan antara seorang politisi dan negarawan adalah politisi hanya memikirkan tentang pemilihan umum, sementara negarawan memikirkan generasi akan datang” (James Freeman Clarke: 1810-1888)
Persoalan negara adalah persoalan politik. Apa yang menjadi urusan negara, maka politik memiliki peran strategis dalam mewujudkan urusan negara tersebut. Dengan demikian, antara negara dan politik, menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terlepaskan diantara keduanya. Banyak yang memandang, bahwa politik diperankan oleh seorang yang disebut dengan politisi, sementara itu dalam lingkup negara, pemimpinnya harus mempunyai status sebagai negarawan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita memiliki banyak sosok politisi, tetapi sebaliknya sangat minim sosok negarawan. Politisi dapat dikatakan sebagai orang yang menduduki suatu jabatan publik dan lembaga-lembaga negara. Dalam menduduki jabatan publik, politisi tidak selalu dikaitkan dengan partai politik, karena tanpa adanya status sebagai keanggotaan partai politik, seseorang politisi dapat saja menduduki jabatan publik dan lembaga-lembaga negara. Dapat diartikan secara lebih sempit, bahwa politisi dalam menduduki jabatan publik tersebut, melalui sebuah mekanisme pemilihan, baik pemilihan umum (secara langsung) maupun pemilihan secara tidak langsung.
Apabila kita dapat melihat jabatan yang diemban oleh seorang politisi, tetapi tidak demikian dengan jabatan untuk negarawan. Negarawan, secara arti luas tidak harus menduduki sebuah jabatan, tetapi diluar jabatan seseorang dapat disebut sebagai negarawan apabila dapat mengabdi atau membuat perubahan besar bagi bangsa dan negara. Di Indonesia, jabatan strategis yang memiliki kriteria sebagai negarawan adalah Presiden dan Wakil Presiden serta Hakim Konstitusi. Meskipun demikian, secara eksplisit dalam Undang-Undang, hanya Hakim Konstitusi yang secara tegas dinyatakan harus memiliki kriteria sebagai negarawan untuk dapat menduduki sebagai pengawal konstitusi tersebut.
Seorang negarawan adalah seorang politisi tetapi seorang politisi bukan negarawan. Negarawan menggunakan politik (bukan partai politik) untuk kepentingan bangsa dan negara sedangkan politisi menggunakan politik (partai politik) untuk kepentingan menang dan kalah. Menurut M.Solly Lubis, negarawan merupakan figur-figur yang punya visi kenegarawan dengan futuristic view yang mampu memperhitungkan kepentingan bangsa dan negara untuk kurun waktu yang panjang, jauh ke depan, tidak sekedar untuk jangka pendek secara pragmatis.
Negarawan sejatinya mempunyai visi strategis yang cenderung melihat jauh ke depan bagi kepentingan bangsa dan negaranya, bahkan tanpa pamrih untuk merebut keuntungan pribadinya sesaat. Analisisnya lebih mendasar (grounded), tidak sekedar pragmatis apalagi memanfaatkan peluang untuk kepentingan politik diri sendiri atau kelompoknya, sebagaimana figur politisi pada umumnya. Sementara itu, seorang politisi belum tentu mampu mencapai level negarawan, tetapi negarawan pasti memiliki kapasitas sebagai politisi, bahkan memiliki nilai tambah, lebih dari sekedar politisi. (M.Solly Lubis: 1996)
Meskipun presiden dan wakil presiden dapat dikatakan sebagai sosok negarawan, tetapi tidak berlaku secara absolut. Sosok negarawan dapat dilihat dengan berbagai perilaku, baik saat menjabat maupun tidak menjabat sebagai presiden dan wakil presiden. Menarik untuk kembali melihat fakta dalam perjalanan bangsa ini dengan sosok-sosok pemimpinnya. Masih segar dalam ingatan kita, dimana antara presiden kelima Megawati Soekarnoputri dan presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat tidak akur dan beberapa kali mempertontonkan layaknya seorang politisi kelas teri.
Dalam rentan waktu jabatan presiden SBY, mantan presiden Megawati tidak henti-hentinya membuat berbagai kritikan tajam terhadap pemerintahan SBY. Bahkan, diberbagai kesempatan pada agenda kenegaraan, presiden SBY beberapa kali mengundang Megawati, tetapi undangan tak pernah bersambut. Setelah pemerintahan SBY berakhir dan berganti pada pemerintahan Jokowi dibawah panji-panji PDI Perjuangan, mantan presiden SBY juga terlihat melontarkan beberapa kritikan terhadap pemerintahan Jokowi. Bak gayung bersambut, publik dibuat kaget ketika tiba-tiba presiden Jokowi meninjau bangunan gedung Hambalang, yang mempunyai rekam jejak dalam kasus korupsi mantan Ketum Demokrat.
Melihat sikap presiden Jokowi yang menunjukkan borok dalam pemerintahan sebelumnya, maka mantan presiden SBY juga memposting foto yang menunjukkan beberapa proyek pekerjaan tidak beres dalam pemerintahan Jokowi. Di sela-sela kesempatan juga, presiden SBY meminta kepada presiden Jokowi agar tidak menghapus program-program yang telah dibangun pada pemerintahan SBY. Ketidakharmonisan antara Megawati dengan SBY, seakan berlanjut dengan sikap saling sindir antara SBY dengan Jokowi.
Perilaku yang diperlihatkan, baik Megawati, SBY maupun Jokowi, seakan tidak menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan. Perilaku seorang negarawan, semestinya dapat memberikan peran dan sumbangsih konkrit kepada bangsa dan negara meskipun tidak menjabat sebagai presiden. Begitu pula ketika menjabat presiden, maka perilaku yang menunjukkan sebagai sosok negarawan adalah dengan membuat berbagai program-program strategis bagi pembangunan bangsa dan negara, bukan justru sebaliknya membuka borok-borok pemerintahan sebelumnya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang Teolog Amerika Serikat, James Freeman Clarke, bahwa perbedaan antara seorang politisi dan negarawan adalah politisi hanya memikirkan tentang pemilihan umum, sementara negarawan memikirkan generasi akan datang. Apabila seorang pemimpin dapat disebut sebagai negarawan, maka sudah semestinya pemimpin-pemimpin tersebut melepaskan bendera-bendera politiknya, karena tidak lagi untuk kepentingan pribadi dan golongannya, melainkan untuk kepentingan orang banyak. Pemimpin sebagai negarawan harus benar-benar terlepas dari konflik kepentingan dan fokus dalam membangun generasi akan datang dalam wujud bangsa dan negara. ***
Penulis adalah Staf Pengajar FH.UMSU.