Oleh: Riduan Situmorang.
Paus Fransiskus pernah menasihati agar para orang tua menyelamatkan jiwa anak-anaknya. Paus mengatakan bahwa terlalu dekat pada komputer akan membuat kita menjadi budak komputer (teknologi). Paus bukan antiteknologi. Dia punya twitter dengan berjuta pengikut. Tak lama ini, dia juga membuka akun instagram yang disambut meriah oleh para pengagumnya. Tak berselang lama, Bapa Suci juga berjumpa dengan para bintang Youtuber di Vatikan selama lima puluh menit. Ini sudah cukup bukti bahwa Paus bukan antiteknologi.
Tetapi, kata Paus, ketika dibutuhkan jauh dari komunal dan kehidupan keluarga, kehidupan sosial, olahraga, dan kita tetap melekat pada komputer, ini adalah penyakit psikologis. Penyakit psikologis karena kita tertanggalkan dari dunia nyata kita. Padahal, kita hidup di dunia nyata. Dan, tanpa dunia nyata, kita ini hanya khayalan, fiktif, semu, dan tak berarti apa-apa. Kebermaknaan adalah kenyataan, bukan ketiadaan, begitulah filsuf menyimpulkan.
Masalahnya, belakangan ini, kita menjadi makhluk yang tak menyukai kenyataan. Apakah karena kenyataan terlalu pahit untuk dialami? Dan, kalau terlalu pahit, apakah kita harus pergi mengunjungi dunia fiktif sehingga kita mendadak alergi pada proses kekeluargaan yang mengandalkan pertemuan, perjumpaan, dan sentuhan? Ternyata, inilah yang pernah digelisahkan oleh Albert Einstein, yaitu karena teknologi, akan lahir kelak generasi-generasi idiot.
Peran Manusia Tergantikan
Generasi yang tak menghinggapi dirinya. Generasi yang mencari di luar dirinya, tetapi mengabaikan apa yang ada di dalam tubuhnya. Generasi yang tak pernah puas. Generasi yang menganggap syukur adalah kubur. Ya, inilah zaman di mana dunia sudah semakin menemui titik paradoks terbaiknya. Kita ingin semakin cepat, tetapi seringkali merasa itu terlalu cepat. Kita ingin banyak bersosialisasi, tetapi malah mengisolasi diri.
Kita sudah tak lagi ingin bertemu dengan sesama manusia. Sebab, peran manusia sudah digantikan oleh mesin dan jaringan. Bunyi-bunyian diwakilkan simbol. Percakapan menjadi berbayar. Tidak ada lagi ketulusan, kelekatan, dan kesungguhan. Kita menjadi robotik, mekanis, dan kaku. Fisik menjadi metafisik, raga menjadi semu, konkret menjadi abstrak. Maka lihatlah, dalam wajahnya paling sederhana, manakala memesan tiket pesawat, membayar iuran listrik, pajak, dan sebagainya, kita hampir tak mau lagi berurusan dengan manusia.
Itu artinya kita sudah muak bertemu dengan manusia, kecuali itu menguntungkan. Harga sebuah hubungan sudah melulu dilihat dari seberapa untung. Dalam artiannya, kau kusapa, kau kutemani, kau kuakrabi adalah semata untuk memuaskan syahwat untung. Manusia lain bukan lagi menjadi tempat untuk berempati, tetapi menjadi komoditas. Empati sudah digantikan papan-papan bunga. Persisnya, manusia lain menjadi mesin pemuas syahwat. Inilah homo homini lupus era modern. Mereka saling memanfaatkan. Jika tidak, mereka akan saling terkam.
Bahkan lebih sadis, manusia ke depan akan mendadak alergi pada manusia. Gejalanya sudah mulai terlihat, entahlah kita sadar. Betapa tidak, baru-baru ini saja, misalnya, sedang dipromosikan robot-wanita yang bisa diajak bercinta. Percaya tak percaya, ini ancaman serius bagi manusia (wanita). Sebab, ini mengandung pengertian bahwa lelaki kelak tak lagi membutuhkan wanita. Tak perlu lagi pacaran. Tak perlu lagi menikah. Tak perlu lagi komunikasi, apalagi sosialisasi.
Urusan keluarga jangankan urusan komunikasi, diskusi pun sudah tidak lagi. Urusan keluarga sudah melulu urusan reproduksi dan administrasi. Tetapi, yang ini pun akan segera tergantikan karena manusia sudah mulai memburu bagaimana berproduksi dengan robot, tanpa sentuhan antara pria dan wanita. Wafatlah teori yang digagas filsuf Emmanuel Levinas (1906-1995). Jika Levinas mengatakan bahwa wajah adalah syarat utama perjumpaan, kini hal itu tak berlaku lagi. Semakin ke sini, manusia semakin egois, semakin sinis, semakin ironis.
Manusia sudah merasa time is loose. Manusia hanya sekali hidup. Ini kemudian dikaburkan bahwa karena hanya sekali, jangan menghabiskan waktumu dengan orang lain. habiskanlah waktumu untuk dirimu sendiri. Time is money. Waktu adalah uang. Uangmu dan bukan uang orang lain. Uang itu untuk hidupmu, bukan untuk orang lain. Inilah sebabnya mengapa manusia menjadi sangat materialis. Semua dijangkarkan pada uang. Waktu tanpa menghasilkan uang adalah kesia-siaan. Begitu kurang lebih.
Maka, karena waktu, manusia bisa saling hantam. On time menjadi kewajiban dan melanggarnya adalah dosa dan kerugian besar. Sebab, manusia fokus pada money, bukan pada time. Karena money, yang diperhitungkan tentu hanya sisi bisnis, bukan lagi pada apakah karena time itu kita bisa mempunyai waktu untuk menikmati kehidupan atau tidak. Lagipula, time adalah sesuatu yang abstrak. Wujud konkretnya adalah money. Manusia kontemporer sudah malas berimajinasi dan berpikir. Tugas berimajinasi dan berpikir diserahkan pada teknologi.
Luwes, bukan Mekanis
Pun, time hanyalah siklus dan rute. Ada pun tujuannya adalah money. Itulah penjelasan paling masuk akal menarasikan manusia kontemporer saat ini. Bagi manusia seperti ini, meninggal tentu hanya siklus yang tak perlu ditangisi. Meninggal sudah ibarat puncak perhitungan waktu secara kuantitatif. Meninggal bukan lagi bahasa kehilangan, melainkan bahasa di mana saingan untuk memungut money berkurang. Alih-alih kesedihan, meninggal menjadi bahasa kebahagiaan dan syukuran. Bahagia dan bersyukur karena saingan sudah berkurang.
Ya, manusia sudah kehilangan irama dan ritmenya. Kita seumpama puisi tanpa judul, seumpama waktu tak berkejadian, seumpama tubuh tak berjiwa. Tak ada lagi rasa, tak ada toleransi, tak ada maaf, tak ada lagi orang lain, bahkan tak ada lagi Tuhan. Yang ada, ya, hanya aku. Sekali lagi, hanya aku! Pemikiran “hanya aku” inilah yang berbahaya. Inilah mengapa Paus Fransiskus sampai menyerukan agar kita menyelamatkan jiwa anak-anak. Anak-anak adalah masa depan peradaban. Jika anak-anak melulu mengasyiki dunia maya dan teknologi, niscaya peradaban kita akan pudar.
Poin saya menuliskan ini bukan untuk menyarankan agar kita antiteknologi. Kita hanya tak mau kalau teknologi malah mengepung kemanusiaan kita. Tugas manusialah untuk berpikir, berkeluarga, bersentuhan, berjiwa, bukan tugas teknologi. Teknologi hanya alat, hanya senjata, hanya pelengkap. Teknologi bukan segalanya. Sudah ada prediksi bahwa ke depan, karena teknologi, otak manusia akan menciut dan mengecil lantaran jarang digunakan. Bukankah kalau itu sampai terjadi, maka nyatalah bahwa manusia akan punah? Dan, celakanya, manusia justru punah karena teknologi bikinannya sendiri?
Maka itu, sedari dini, mari selamatkan jiwa dan peradaban kita. Manusia bukan semata bongkahan tubuh yang di dalamnya ada organ otak, hati, jantung, dan lain-lain. Organ itu bukan pajangan. Organ itu berdenyut, hidup, dan menghidupi. Organ itu anugerah yang biadablah kita kalau itu sampai tak digunakan. Maksud saya, mari relakan lagi hati untuk peduli, otak untuk berpikir dan berimajinasi, tangan untuk berbagi, kaki untuk menjenguk, mata untuk memperhatikan, dan sebagainya. Manusia harus luwes, bukan mekanis!***
Penulis adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten Medan serta Pegiat Sastra dan Budaya di PLOt (Pusat Latihan Opera Batak) Medan.