Oleh: Hasan Sitorus
Setelah Presiden Joko Widodo berkunjung ke Jerman bulan April 2016 yang lalu, kemudian presiden memanggil Direktur Politeknik Kemaritiman Negeri (Polimarin) Semarang ke istana negara yang bertujuan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) kemaritiman, agar mampu bersaing dalam level nasional dan internasional (Kompas, 20/6/2016).
Pada kesempatan yang sama Menristek Dikti juga menyampaikan dukungannya pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang akan membuka fakultas perikanan dan kelautan atau program pendidikan vokasi maritim, dalam rangka memenuhi permintaan SDM kemaritiman yang meningkat setiap tahun untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia sesuai program nawacita presiden. Sampai saat ini baru 12 PTN di Indonesia yang membuka fakultas perikanan dan kelautan, 19 PTS, 15 sekolah kejuruan dan 5 balai pendidikan dan pelatihan perikanan dan kelautan.
Politeknik Kemaritiman Negeri Semarang adalah satu-satunya politeknik negeri di Indonesia yang melaksanakan pendidikan vokasi bidang maritim. Oleh sebab itu, sangat disayangkan bila selama ini perguruan tinggi negeri (PTN) tidak segera bergegas untuk mengembangkan politeknik maritim atau membuka fakultas perikanan dan ilmu kelautan walaupun di wilayah itu memiliki potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang besar. Mungkin hal ini disebabkan bahwa kebijakan pembangunan selama ini yang lebih berorientasi ke daratan (terestris) sehingga pembangunan sektor perikanan dan kelautan termasuk pembangunan SDM kemaritiman menjadi relatif tertinggal.
Kebutuhan SDM Kemaritiman
Berdasarkan estimasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) dibutuhkan rata-rata 200 ribu orang per tahun sarjana yang ahli dalam bidang perikanan dan kelautan guna eksplorasi dan pengolahan hasil laut Indonesia. Sedangkan kemampuan perguruan tinggi perikanan dan kelautan hanya menghasilkan sekitar 10 ribu sarjana setiap tahun. Dengan demikian terjadi ketimpangan yang besar antara kebutuhan SDM kemaritiman dengan kemampuan penyediaan tenaga terdidik secara nasional.
Kebutuhan SDM kemaritiman sesungguhnya memiliki cakupan yang cukup luas, yakni tenaga ahli pelayaran (transportasi laut), kepelabuhanan, perkapalan, permesinan, teknologi penangkapan ikan, teknologi budidaya laut dan teknologi pengolahan produk kelautan. Menurut Kementerian Perhubungan (2015), kebutuhan SDM pelayaran yang bisa dipenuhi Indonesia baru sekitar 1.500 orang per tahun, pada hal Indonesia kekurangan 18 ribu pelaut tingkat perwira dan 25 ribu orang tingkat ranting untuk industri transportasi laut untuk tahun 2016. Sekarang ini Indonesia memiliki 340 ribu orang pelaut, sebanyak 262 ribu orang bekerja di dalam negeri, dan 78 ribu orang bekerja di luar negeri. Tenaga pelaut yang bekerja di luar negeri sudah memiliki sertifikat keahlian yang diakui secara internasional baik tingkat ranting maupun tingkat perwira.
Dengan melihat angka kebutuhan SDM kemaritiman, maka dapat digambarkan bahwa lapangan kerja untuk tenaga terdidik di bidang perikanan dan kelautan masih terbuka lebar untuk tingkat nasional dan internasional. Kondisi ini berlawawan dengan tenaga terdidik dalam bidang lainnya, dimana terjadi peningkatan pengangguran tenaga sarjana sebesar 434.185 orang tahun 2013 menjadi 495.143 tahun 2014 (BPS, 2015).
Menurut prediksi dari Persatuan Insinyur Indonesia (2014), dalam kurun waktu 2016 - 2020, Indonesia masih kekurangan tenaga insinyur maritim atau teknik kelautan (maritime engineer) sebanyak 11.000 orang dalam rangka memenuhi kebutuhan implementasi program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Oleh sebab itu, bila tenaga terdidik bidang kelautan dan perikanan yang memiliki kompetensi di bidangnya tidak terpenuhi hingga tahun 2020, maka akan terjadi krisis SDM kemaritiman yang mengancam perwujudan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Peningkatan SDM Kemaritiman
Dalam upaya mengatasi kekurangan tenaga terdidik SDM kemaritiman, maka beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam skala nasional adalah : 1) Pembukaan Fakultas Perikanan dan Kelautan di Perguruan Tinggi Negeri di setiap propinsi yang memiliki potensi sumberdaya kelautan yang besar, 2) Pembukaan pendidikan vokasi maritim pada Politeknik Negeri, yang secara geografis dekat dengan sumberdaya laut, dan 3) Pengembangan Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan dan Kelautan atau Pusat Pelatihan Maritim (PPM).
Dengan menyadari bahwa Indonesia memiliki potensi perikanan dan kelautan yang sangat besar, dan adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah sekarang untuk mengembalikan kejayaan maritim, seharusnya setiap PTN yang secara geografis berada di wilayah propinsi yang memiliki sumberdaya kelautan yang besar segera memberikan respon dan bergegas untuk pembukaan fakultas perikanan dan kelautan, untuk menghasilkan SDM yang handal di bidang kelautan dan perikanan. Peluang pembukaan fakultas tersebut sangat terbuka lebar bagi PTN dan didukung Kemenristekdikti dengan pendanaan dari APBN. Persiapan tenaga pendidik (dosen), sarana dan prasarana akademik dapat dilakukan secara bertahap selaras dengan aturan dari Kemenristekdikti. Berbeda dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), maka pembukaan fakultas itu dengan kebutuhan dana yang relatif besar, tentu tidak mudah dilakukan, belum lagi biaya operasional yang sangat dipengaruhi jumlah mahasiswa baru.
Namun perlu mendapat perhatian, bahwa menghasilkan sarjana perikanan dan kelautan dengan selembar ijazah tanpa ada kompetensinya adalah sia-sia, karena di jaman sekarang ini dengan persaingan lapangan kerja yang semakin ketat dan terbukanya penerimaan tenaga terdidik transnasional, maka PTN harus mampu menghasilkan sarjana kelautan dan perikanan yang benar-benar memiliki keahlian khusus sesuai kebutuhan industri perikanan dan industri maritim. Dengan perkataan lain, dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini sudah saatnya lulusan perguruan tinggi memiliki sertifikat keahlian khusus yang diakui secara nasional dan internasional.
Adanya kebijakan Kemenristekdikti untuk menerapkan kurikulum berbasis KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) di perguruan tinggi merupakan langkah awal yang tepat untuk menghasilkan sarjana yang memiliki kompetensi. Namun di sisi lain, bahwa tidak selarasnya materi kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar, juga menjadi penghambat bagi tenaga terdidik untuk memasuki dunia kerja. Oleh sebab itu, dalam menghasilkan SDM kemaritiman yang handal, maka sangat dibutuhkan kerjasama perguruan tinggi dengan industri perikanan dan industri maritim dalam rangka penyusunan kurikulum berbasis kompetensi mengacu KKNI.
Langkah berikutnya adalah membuka politeknik maritim negeri (Polimarin) atau membuka program studi maritim pada politeknik negeri yang sudah ada di PTN. Program pendidikan vokasi maritim yang diselenggarakan Polimarin (Diploma), diyakini akan menghasilkan SDM kemaritiman yang siap pakai, dengan cara bekerjasama dengan industri maritim, lembaga pelatihan dalam negeri dan luar negeri dan memiliki sertifikat yang diakui secara internasional. Penulis yakin hal ini dapat terwujud di waktu yang akan datang karena selaras dengan program dari Kementerian Koordinator Maritim.
Bagaimana dengan PTN di wilayah Sumatera Utara? Kita sangat mengharapkan agar Universitas Sumatera Utara (USU) dapat segera membuka fakultas perikanan dan kelautan, serta membuka pendidikan vokasi maritim di politeknik yang ada. Alasannya sangat rasional, wilayah propinsi Sumut memiliki sumberdaya perikanan dan kelautan pantai barat dan pantai timur yang sangat besar, dan dibutuhkan SDM perikanan dan kemaritiman untuk menggarapnya dalam upaya mewujudkan Sumut sebagai gerbang poros maritim wilayah barat Indonesia.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM kemaritiman adalah pengembangan Pusat Pelatihan Maritim (PPM) di berbagai wilayah tanah air. Sampai saat ini baru ada 5 Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan dan Kelautan. Oleh sebab itu pendirian atau pengembangan PPM menjadi salah satu solusi dalam upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM kemaritiman di masa mendatang dengan syarat PPM tersebut diharuskan mampu menghasilkan SDM yang memiliki sertifikat yang diakui secara nasional dan internasional yakni sertifikasi berbasis Standards of Training, Certification and Watchkeeping (STCW) dalam berbagai bidang keahlian.
Dengan adanya PPM ini diharapkan pelaut Indonesia yang belum memiliki sertifikat keahlian dapat memperolehnya, dan kita tidak ketergantungan dengan lembaga pelatihan profesional luar negeri untuk menghasilkan SDM kemaritiman yang kita butuhkan diwaktu yang akan datang. Semoga terwujud.***
* Penulis adalah Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan