Bersejarah. Kata tersebut dulunya menjadi umpatan biasa bagi kalangan generasi muda. Sebab, tidak ubahnya bangunan monumental, sebuah gedung museum memang seyogyanya penuh dengan cerita yang nilainya bahkan tidak bisa dihitung dengan mata uang apapun.
Cerita yang termuat di setiap masa, itulah yang diaplikasikan sebagai tujuan utama di Museum yang satu ini. Namun, kini, cerita itu dibuat menjadi menarik, karena sepanjang berjalan, kini, pengunjung tidak lagi merasa sia-sia atau mengerutkan dahi, namun kebalikannya, ada senyum merekah.
Kepuasan pengunjung semakin bertambah dengan perubahan besar-besaran di interior bangunan museum ini. Adanya tampilan (display) yang 'kekinian', tata letak yang atraktif, membuat pengunjung bahkan sering mengabadikannya dengan aksi ‘Selfi’. Nuansa moderen, lengkap dengan teknologi yang biasanya ada di jiwa para anak muda, ini yang menjadi daya tarik bangunan ini.
Konsep storytelling (penceritaan) dan mengedepankan kebutuhan kekinian. Ini yang mengantar eks Gedung Arca ini mendapatkan penghargaan sebagai Museum Terbaik Indonesia 2015 Kategori Museum Provinsi.
Kepada Analisa, Kepala Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Dra. Sri Hartini, M.Si, membeberkan kepuasannya atas hasil inovasi di gedung ini. Ddibangun tahun 1972, gedung mendapatkan perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan di bagian dalam bangunan, khususnya interior, ternyata memang meningkatkan kepopuleran tempat edukasi ini.
"Memang, perubahan terjadi (semakin populer). Apalagi, di tahun 2015, museum ini mendapatkan Penghargaan Kategori Museum Provinsi sebagai Museum Terbaik Indonesia, itu dari segi displaynya. Di dalam, displaynya sudah berubah semua," ucapnya.
Dijelaskannya, inovasi-inovasi yang berproses dari tahun 2008 hingga kini, tetap memiliki 'benang merah'. "Perubahan besar-besaran, dimulai tahun 2008, tapi pelan-pelan, berproses. Saat ini, museum ini sudah mempunyai storyline, mulai dari lantai I diawali periode masa prasejarah, Sumatera Utara kuno, masa Hindu Buddha, masa Islam, masa Kolonial, itu sebelah Barat. Itu semua namanya storyline, artinya bercerita," bebernya.
Di lantai 2, berikutnya terpajang karya benda-benda etnografi Sumut. "Mulai dari benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, seni-seni kriya dan karya. Juga, berhubungan dengan kehidupan, mata pencaharian, rumah, seni, tekstil, musik, keramik, itu semua hasil karya masyarakat," katanya.
Setelah dari sana, kemudian turun, maka terlihat area sejarah perjuangan. "Mulai dari mencapai, mempertahankan kemerdekaan, sampai kepada pahlawan-pahlawan nasional dan gubernur, itu ada di lantai itu," sebutnya
Semua perubahan ini, dibuat agar menarik banyak masyarakat untuk berkunjung. "Bagaimana cara menarik orang, salah satunya memperbaiki display. Orang tidak bosan, tidak terkesan kumuh, tidak terkesan kuno, karena itulah diperbaiki. Apalagi, sasaran kita adalah anak muda. Museum adalah lembaga pendidikan untuk edukasi. Penanaman nilai-nilai budaya untuk jati diri," tuturnya.
Namun, ada yang tetap tidak bisa diubah, yakni bentuk gedung secara umum. "Bentuk gedung memang dipertahankan, apalagi ornamen-ornamen di bagian atas yang menunjukkan (ornamen-ornamen) apa yang ada di Sumatera Utara. Itu 'kan' gabungan dari beberapa etnis di sini, Melayu, Karo, Simalungun, Toba, dan lain-lain. (gambaran etnis) itu, termasuk ada di lobi museum. Ada beberapa ornamen yang digabungkan menjadi satu dan itu semua ada menunjukkan Sumut. Itulah yang merupakan pelestarian," ungkapnya.
Kebutuhan zaman, juga menjadi salah satu ide perubahan ini. "Memasuki era teknologi digital, makanya, kita lengkapi dengan touch screen (layar sentuh). Ada sentuhan-sentuhan teknologi, sehingga anak-anak muda tidak bosan. Dengan display seperti itu, orang 'kan' Selfi-selfi, posting di media sosial, jadilah terkenal setelah melihat museum ini dengan (perasaan) senang," katanya.
Semua itu, tidak dilakukan asal-asalan, tapi tetap oleh ahli/profesional. Semuanya diatur oleh ahli khusus di bidangnya. Termasuk tentang tata letak, kemiringan, pencahayaan, warna dan informasi, semua berpengaruh.
Menurutnya, benda yang diletakkan begitu saja, akan beda, dengan yang benar-benar disusun. "Di museum, tidak boleh terlalu terang, karena mempengaruhi warna atau ketahanan benda. Makanya, digunakan desainer khusus sebab bukan semua bisa saya lakukan. Saya punya konsep, lalu, kalau mau bagus, pakai yang mendesain, yakni profesional desainer. Kalau bukan tenaga ahli, kita mau letak-letak saja? Tidak bisa. Ini adalah satu kerja yang profesional. Itupun kalau mau bagus," tegasnya.
Apakah perubahan museum ini dikatakan sukses, maka ini jawaban Sri. "Saya tidak bilang (sukses), tapi ada peningkatan. Peningkatan tidak hanya di jumlah berkunjung, tetapi juga kepuasan orang berkunjung. Itu dilihat dari barang barang yang didisplay itu informatif. Orang sudah melihat bagaimana perbedaan dulu dan sekarang, bahkan ‘kacamata’ anak anak muda juga bisa melihat (perubahan) itu," akunya.
Sukses, mungkin, jika melihat apa yang telah diraih museum ini. "Itu satu kesuksesan bahwa museum itu meraih penghargaan. Itu kebanggaan loh. Karena, penilaiannya itu skala nasional," ujarnya.
Kepopuleran gedung ini, lanjutnya, diharapkan akan bertambah layaknya ikon wisata terpenting. Orang luar berwisata dan merasa senang setelah melihat ini. "Seperti jalan-jalan, kan begitu. Saingan kita, sekarang adalah mal. Makanya, jangan lagi anak-anak hanya ke mal. Orang tua pun harus bisa mengarahkan anak-anak berkegiatan lebih berguna," tambahnya.