Oleh: Dr Elisabeth Nurhaini Butarbutar, SH MHumi.
Sepertinya prinsip hukum fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan) yang seharusnya dijunjung tinggi dalam suatu negara hukum, sudah tidak dianggap sebagai asas dalam proses penegakan hukum oleh para penegak hukum lagi di Indonesia. Padahal secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Ini membuktikan kemerosotan budaya hukum masih tetap melekat meskipun reformasi hukum sudah dikumandangkan beberapa tahun yang lalu.
Transaksional Pragmatis
Terungkapnya beberapa kasus keterlibatan aparat hukum dalam tindakan suap menyuap dalam kaitan dengan perkara yang ditanganinya memang sangat menyentakkan masyarakat ketika tayangan media elektronik yang meliput langsung operasi tangkap tangan yang digelar oleh Komisi Pembrantasan Korupsi terhadap dua pengacara artis Saipul Jamil, yang melakukan suap kepada Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkaitan dengan vonis tiga tahun kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur.
Setelah sebelumnya beberapa kasus yang sama Edy Nasution Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberitakan ditangkap di area parkir salah satu hotel di Kawasan Kramat Raya Jakarta Pusat sesaat setelah menerima Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno pihak swasta yang menjadi perantara kasus suap gugatan perdata salah satu jaringan konglomerasi yang bersengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Uang itu merupakan pemberian tahap kedua dari total komitmen suap Rp. 500 juta.
Pengembangan penyidikan yang terus dilakukan oleh Penyidik KPK dengan menggeledah ruang kerja dan rumah Nurhadi Sekretaris Mahkamah Agung dan menemukan uang dolar Amerika Serikat yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah terkait kasus dugaan suap yang tengah disidik KPK.
Pemberitaan itu menunjukkan suatu hal yang sangat nyata, betapa transaksional pragmatis dalam keseharian aktivitas para penegak hukum terkait kasus yang ditanganinya sudah jauh dari idealisme penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, sehingga masyarakat kembali mempertanyakan keseriusan dan kemampuan penegak hukum untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Sebagai negara hukum, kita tidak boleh terjebak dalam nuansa seperti itu, yang akibatnya timbul apatisme dari masyarakat untuk menyelesaikan sendiri masalah hukum yang dihadapinya dengan melakukan main hakim sendiri (eigenrichting) sehingga penyelesaian masalah seperti itu bukan menciptakan ketertiban dalam masyarakat justru kekacauan yang terjadi.
Budaya Hukum
Friedmann dalam bukunya (1982) pernah mengatakan bahwa unsur budaya hukum dari penegak hukum sangat mempengaruhi bekerjanya sebuah sistem hukum. Dengan melihat kegiatan transaksional pragmatis para aparat penegak hukum, masyarakat tentu merasa pesimis untuk mendapatkan proses penegakan hukum dan keadilan yang sesungguhnya.
Ditambah lagi dengan isu mafia peradilan dan makelar kasus di tubuh para penegak hukum tersebut membuat masyarakat semakin meragukan keseriusan aparat penegak hukum yang diberikan kuasa oleh undang-undang dalam rangka penegakan hukum. Padahal pengadilan merupakan ujung tombak untuk memperoleh keadilan bagi orang yang mencari keadilan (justiciabelen) sebagaimana juga pernah dikemukan oleh Aristoteles “jika ingin suatu keadilan yang hidup, maka pergilah kepada hakim.”
Kenyataan menunjukkan bahwa keterpurukan proses penegakan hukum selama ini lebih disebabkan karena budaya hukum dari sosok-sosok yang disebut sebagai the dirty broom masih menduduki jabatan di berbagai institusi hukum. Selama mentalitas dan sikap para pejabat penegak hukum tidak diperbaiki dengan sungguh-sungguh maka proses penegakan hukum tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan.
Realitas penegakan hukum menampakkan wajahnya yang berbeda ketika berhadapan dengan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, hukum sangat bringas dan ganas. Di sisi lain, ketika berhadapan dengan pemilik dana dan kekuasaan, hukum menjadi sangat kompromistis.
Masih segar dalam ingatan masyarakat ketika Nenek Minah beberapa tahun yang lalu divonis hukuman penjara percobaan satu bulan lima belas hari karena mencuri tiga biji kakao di area perkebunan PT Rumpun Sari Antan IV. Tanpa didampingi oleh penasehat hukum dengan mimik yang lugu dan tanpa rekayasa, Nenek Minah mengucap bahwa ia mengambil tiga biji kakao untuk ditanam kembali. Hukuman yang terlalu mahal yang harus diusung oleh Nenek Minah, karena bila diuangkan harga tiga biji kakao yang dicuri hanya sekitar Rp. 2000,-.
Bercermin kepada kasus Nenek Minah dan pemberitaan kasus suap menyuap yang terjadi dalam proses penegakan hukum menggambarkan betapa budaya hukum para penegak hukum dapat dipermainkan untuk memperoleh putusan yang diinginkan.
Memiliki Integritas
Setidaknya, proses penegakan hukum, melekat legal justice (pencapaian keadilan melalui pemenuhan prosedur) dan social justice (pencapaian keadilan dengan memperhatikan fakta). Untuk memilih antara nilai keadilan dari legal justice dan social justice, dituntut suatu kearifan dari penegak hukum untuk selalu mengedepankan salah satu, karena kenyataannya keduanya sulit berjalan secara bersama-sama.
Untuk Nenek Minah seharusnya hukum lebih bersifat kompromistis dan berlaku lembut dengan perikeadilan menyambut, karena kabarnya juga si nenek sudah meminta maaf. Penegak hukum seharusnya tidak gelap mata dengan dalih menjunjung prosedural demi kepastian hukum lex dura sed tamen sripta (hukum itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). Akibatnya, hukum menjadi monster yang sangat menakutkan bagi Nenek Minah.
Sebaliknya, bagi perampok uang negara miliaran rupiah, selayaknya hukum tidak boleh bersifat kompromistis tetapi bersifat garang dan sikap siap mengangkat pedang terhunus guna menghukum siapa saja yang terbukti bersalah telah merampok uang negara karena menyangkut perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat banyak. Namun yang terjadi hukum seakan tidak berdaya bahkan cenderung menjadi prajurit pelindung bagi para koruptor.
Memiliki integritas dan kepribadian yang benar-benar sudah teruji baik intelektualitasnya di bidang hukum dan moralitasnya yang berpegang teguh kepada prinsip keadilan dan kebenaran, menjadi budaya hukum yang ideal dalam proses penegakan hukum saat ini.
Budaya hukum yang berorientasi legal justice dan social justice dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dalam implementasi prinsip fiat justitia et pereat mundus dalam Negara Hukum Republik Indonesia.****
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unika St Thomas Medan.