Bahasa Palsu

Oleh: Fatmin Prihatin Malau

TRADISI bahasa eufemis­tik dan basa-basi mendapat tem­pat baik dalam kultur masyara­kat Indonesia. Kalau kita sedang makan, ada teman yang datang pasti diajak makan. Pada hal ma­kan nasi bungkus. Apakah mau makan sebungkus berdua? Bertamu di Tapanuli Tengah ke­ti­ka pamit pulang, tuan rumah menawarkan makan sebelum pu­lang. 

Fenomena ini bahasa basa-ba­si. Tidak sesungguhnya. Tra­di­si ini dianggap sebagai kekha­san budaya orang Indonesia. Bi­la tidak melakonkannya dinilai tak punya etika dan sopan san­tun.

Bahasa basa-basi menimbul­kan benih-benih kepalsuan. Se­cara perlahan melekat dalam tra­disi budaya Indonesia. Sulit berterus terang dalam berbaha­sa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti palsu tidak tulen, tidak sah, lancung, gadungan, curang, tidak jujur, sumbang. Kata palsu bukan asli Bahasa Indonesia. Asal katanya dari Bahasa Inggris (false), Belanda (valse), Perancis (fa­ux).

Kata palsu diduga dari Baha­sa Belanda (valse) sebab Indonesia jajahan Belanda. Palsu dalam Bahasa Belanda diindo­ne­siakan menjadi palsu. Pada­nannya lancung, tidak sah, ti­ruan, bohong, tidak berlaku.

Dari berbahasa yang tidak su­ka berterus terang, muncul be­nih-benih kepalsuan. Bahasa me­mengaruhi perilaku manusia akhirnya senang kepada yang pal­su. Masyarakat Indonesia ak­rab dengan yang namanya pal­su. Hal-hal yang palsu kini ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kecenderungan palsu sudah sistemik dan massif.

Berbagai kasus palsu mun­cul. Ada uang palsu, ijazah pal­su, pupuk palsu, KTP palsu, vaksin palsu dan lainnya. Dalam konteks tertentu sesuatu yang pal­su bisa ditolerir. Hal ini men­jadi alternatif bagi seseorang untuk mengekspresikan diri. Sesuatu yang palsu itu sangat membantu memenuhi tuntutan kehidupan sosialnya. Sebagian masyarakat harus mengguna­kan barang-barang palsu.

Mereka bangga mengguna­kan barang-barang palsu itu. Bang­ga dengan rambut palsu, gigi palsu, hidung palsu, kaki pal­su dan lainnya. Barang-barang palsu ini ada yang menjadi kebu­tuhan, ada yang menjadi presti­se. Menjadi kebutuhan seperti gigi palsu, kaki palsu. Menjadi prestise seperti hidung palsu, ram­but palsu. Akhirnya sulit mem­bedakan, mana asli, palsu dan semu.

Beda Sebutan, Tetap Palsu

Kata palsu warisan dari Ba­hasa Belanda dinilai masih ber­terus terang. Akhirnya muncul sebutan tidak memakai kata pal­su meskipun sebenarnya adalah palsu. Tulisan plagiat, tidak dika­takan tulisan palsu. Plagiat ar­tinya tulisan yang bukan karya dari nama penulis yang ada pada tulisan. Tulisan plagiat sama saja dengan tulisan palsu.

VCD/DVD bajakan, sama sa­ja VCD/DVD palsu. Beras plas­tik, sama saja beras palsu. Tu­ak, miras, minyak oplosan, sama saja tuak, miras, minyak palsu. Wartawan, aparat gadu­ng­an, sama saja wartawan palsu, aparat palsu.

Fenomena hal-hal yang pal­su sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sesuatu yang palsu begitu di­senangi, sehingga yang asli, ori­sinil menjadi langka dan mahal. Mengapa hal itu terjadi? Jawabnya sosial ekonomi ma­sya­rakat memengaruhinya. Ke­mampuan finansial sebahagian besar masyarakat membuat suka kepada yang palsu, terma­suk bahasa palsu.

Mengutip pendapat Baudril­lard, seorang sosiolog mengata­kan kepalsuan membangun “seolah-olah” dunia nyata. Ke­mudian dimanipulasi menjadi sebuah hiperealitas, mengatasi realitas nyata menjadi sebuah simulasi atas produksi artifisial. Lantas akhirnya menciptakan realitasnya sendiri. Dunia kepal­suan lalu mengental, mengham­piri sesuatu yang asli.

Dunia nyata menjauh karena dikonstruksi secara mahal, lang­ka dan hanya kalangan tertentu miliki dan menikmati. Keaslian kemudian berubah sebagai pata­fisika (pataphysics) sebuah ke­kuatan citra dalam membentuk dan mendefinisikan realitas.

Pendapat Baudrillard ini ba­nyak dilakoni para pemimpin dan politisi di negeri ini. Baud­drillard mengatakan, “Keaslian kemudian berubah sebagai pa­tafisika (pataphysics) sebuah ke­kuatan citra dalam membentuk dan mendefinisikan realitas.”

Banyak para pemimpin dan politisi di negeri ini melakukan pencitraan diri. Perilaku dan ba­hasa yang diucapkan umumnya palsu. Bahasa palsu dari para pemimpin dan politisi telah ter­bukti. Apa yang diucapkan keti­ka kampanye berbeda ketika sudah menjadi pemimpin.

Lagi bahasa palsu muncul. Pemimpin dan politisi itu dikata­kan tidak menepati janji. Pada hal tidak menepati janji sama de­ngan bahasa palsu. Lewis A. Coser, seorang psikolog menga­ta­kan kepalsuan diimprovisasi dalam dunia politik.

Lewis A. Coser menyebut se­bagai endowed (membantu dengan pemberian). Sewaktu memilih wakil rakyat atau pe­mim­pin, semestinya menghasil­kan aktor konkrit, aktor dengan otentisitas teruji. Dalam perja­lanan waktu, aktor itu berubah menjadi tidak konkrit, palsu.

Para pemimpin dan politisi itu cukup lihai berbahasa palsu se­olah-olah asli. Bila calon pemilih (rakyat) mengetahui calon pe­mimpin itu bahasanya palsu pasti tidak dipilih. Sebutan tidak menepati janji karena bahasa palsu yang diucapkan calon pe­mimpin itu seperti asli.

Menganalisis sebutan Lewis A. Coser sebagai endowed (mem­bantu dengan pemberi­an). Faktanya endowed didukung kemampuan bermanipulasi, ma­ka jadilah “seolah-olah” ca­lon pemimpin yang andal. Peri­laku dan bahasa ketika belum ter­pilih adalah palsu tetapi “seolah-olah” asli.

Bahasa memengaruhi keji­wa­an manusia maka pemimpin atau penguasa berbahasa palsu berpotensi membuat kebijakan palsu. Perilaku membuat kebi­jakan palsu menjadikan pemim­pin palsu. Indikator pemimpin palsu sering melakukan penci­traan agar terlihat asli. Hasil ker­ja pemimpin palsu selalu bahasa dan tindakannya palsu, tidak buk­ti.

Bahasa palsu menjadi kulmi­nasi berbagai sendi kehidupan ma­nusia. Mendarah daging se­bab diucapkan dengan lidah, di­dengar oleh telinga dan diikuti oleh perilaku. Dengan demikian menjadi seorang aktor dengan kemampuan acting sesuai de­ngan skenario. Bahasa palsu sa­ma dengan sandiwara yang dipe­rankan para aktor.

Bahasa palsu awalnya dari ba­hasa basa-basi, kepura-pura­an. Kemudian mentradisi men­ja­di bahasa eufemistik. Akhirnya penilaian baik dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia dan dianggap kekhasan budaya so­pan santun.

Mentradisi menjadi bahasa eufemistik merupakan kepalsu­an sebagai rangkaian skemata diinternalisasikan untuk merasa­kan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial.

Pierre F. Bourdieu, seorang psi­kolog mengatakan, manusia berinteraksi membentuk inter­nalisasi struktur dunia sosial. Ke­mudian digerakkan melalui tin­dakan-tindakan dalam dunia sosial itu sendiri.

Dari analisis bahasa palsu ini memiliki dampak global dalam kehidupan masyarakat. Berba­gai segmen kehidupan dimasu­kinya dan mampu mengubah so­sial ekonomi masyarakat. Kehi­dupan masyarakat berbangsa dan bernegara ditentukan oleh ba­hasa maka benarlah bahasa menunjukkan bangsa. Bila ber­ba­hasa palsu maka bangsa itu cen­derung mengarah kepada ke­palsuan.

Bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yakni Bahasa In­donesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka para pemuda-pemudi di negeri ini telah ber­sumpah. Kami Bangsa Indonesia, berbahasa satu, Bahasa Indonesia. Kini Indonesia telah 71 tahun merdeka, hapuskan ba­hasa palsu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mer­deka!

Penulis:  Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan dan mantan Sekretaris Majelis Kebudayaan PW. Muhammadiyah Sumatera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi