Menurut akademisi sekaligus praktisi arsitektur, Sri Shindi Indira, ST,M.Sc, konsep analogi, sepertinya digunakan sebagai acuan desain bangunan DPRD Tk I Sumut. Bangunan tersebut memuat pesan kontekstual. "Tidak semua bentuk bisa diterjemahkan dalam wujud fisik. Artinya, tidak semua harus bentuk atap bangunan tradisional, harus berwujud segitiga (seperti Rumah Tradisional Batak). Tidak semua secara harafiah harus seperti itu," ungkapnya.
Diungkapkannya, bagi arsitek, merancang sebuah desain tidak dilakukan tiba-tiba. "Desain itu tidak datang tiba-tiba. Saat arsitek mendesain, pertama, harus dilihat kita berada di mana, iklimnya bagaimana, fungsi bangunannya nanti apa, belum lagi ada budget concern. Itu yang membuat sebuah karya arsitektur dapat dihasilkan. Artinya, banyak dasar yang harus jadi acuan (bagi arsitek)," ungkapnya.
Konsep analogi juga bisa jadi salah satu dasar yang digunakan arsitek. "Seperti halnya Gedung DPRD Tk I Sumut. Di gedung itu, ada ornamen yang tertuang dari filosofis budaya. Di sana, ‘kan ada second skin (layer kedua). Layer kedua itu, mungkin dia mengambil ada ornamen budaya tertentu namun diterjemahkan dalam bentuk bahkan material baru," sebut Dekan Fakultas Teknik UNPAB Medan ini.
Berdasarkan pengamatannya, konsep ini diterjemahkan berbeda dibandingkan analogi umum sebuah bangunan. Namun, tetap mengedepankan masa kini (kekinian). "Gedung DPRD itu, mungkin seperti ini analoginya. Medan ini kan multikultur, berbagai macam suku, agama dan etnis. Mungkin, si arsitek merasa, kalau hanya dominan menunjukkan ornamen 1 suku tertentu, akan menjadi konflik atau ke seberang pihak," ujarnya.
Konsep analogi lain, juga ada di beberapa bangunan, seperti Gedung DPR RI Senayan atau Museum Tsunami Aceh. "Arsitektur itu kan ekspresif tapi tetap berdasar dan ilmiah. Museum Tsunami Aceh itu berdasar pada bangunan analogi. Kalau dilihat dari atas, seperti gelombang. Tsunami itu kan berbentuk gelombang. Jadi, Museum Tsunami itu diambil dari analogi gelombang air. Dari atas, terlihat seperti gelombang air," sebutnya.
Bangunan Museum Tsunami Aceh pun sekilas terlihat penuh lekukan dan minim sudut. Untuk fungsi tertentu, tanpa sudut itu, berarti dia memberikan kesan lembut, halus dan tidak keras. "Karena sudut itu kan terkesan runcing, tajam, dan keras. Sementara bentuk-bentuk lengkung itu kan terkesan lembut, halus, ramah. Jadi bentuk-bentuk itu juga punya arti," ungkapnya.
Gedung DPR RI Senayan, juga berkonsep analogi. "Langgamnya, analogi. Dari bentuk asli, dianalogikan ke dalam bentuk massa bangunan. Analoginya, misalnya dari gelombang. Atau, analogi bangunan perpustakaan yakni berbentuk buku dianalogikan ke fisik bangunan. Jadi, (bangunan) tersebut dimisalkan perpusatakan yang fisiknya seperti buku saat dibuka," katanya.
Analogi Gedung DPR berikutnya, juga bisa dilihat dari filosofis anak tangganya. "Anak tangga yang tinggi, di gedung DPR Senayan itu mengarah langsung ke gedung wakil rakyat, itu kan artinya "Welcome". Aspirasi rakyat langsung sampai. Bentuknya juga seperti analogi buku. Artinya, yang mendekati fungsi wakil rakyat," jelasnya.
Namun, pemahaman seperti itu, terkadang sulit diterjemahkan kepada masyarakat awam. "Kita tidak harus selalu menyalahkan arsitek, begitu dirancang si arsitek bagus, ternyata setelah dibangun berbeda. Si klien sudah ok, tapi karena sesuatu dan lain hal, akhirnya hasilnya tidak maksimal, malah si arsitek yang disalahkan. Arsitek tidak mungkin membuat jelek," ungkap volunteer Badan Warisan Sumatera (BWS) ini.
Melihat Gedung DPRD Tk I Sumut baru ini, dia memastikan bentuk tersebut memiliki berbagai makna . "Pertama, kebutuhan akan ruang yang kurang, mau tidak mau ke atas, vertikal. Alasan kedua, adanya pemahaman akan analogi, analogi etnis dan analogi identitas. Analogi ini, tidak harus melulu diterjemahkan dalam bentuk fisik yang sama. Ketiga, Medan itu 'kan bukan Batak saja atau Melayu saja. Makanya mungkin arsiteknya ambil jalan tengah. Bisa jadi, saat dijelaskan secara arsitektural sewaktu presentasi, baru ketahuan alasannya. Kalau orang awam, mungkin tidak akan gampang memahami, 'oh ternyata begitu"," paparnya.
Satu lagi yang dipertimbangkan, katanya, adalah kemauan atau taste/selera yang punya 'uang'. "Bangunan DPRD itu, pasti mahal. Kalau dari beton baja itu kan pasti mahal. Tapi bangunan ini long lasting (bertahan lama)," ungkapnya.
Arsitektur, dikenal sebagai suatu tradisi yang berkembang. Dari waktu kewaktu, wajah arsitektur selalu mengalami perubahan. Seperti halnya Arsitektur Renaisans yang berkembang di abad 15-17 Masehi atau arsitektur moderen di abad 18 Masehi yang lahir dari adanya perubahan dalam teknologi, budaya dan sosial. "Arsitektur itu sama seperti seni. Makanya 'gak gampang jadi arsitek. Desain itu harus bisa membaca masalah, bisa membaca lingkungan, bisa membaca selera dan banyak lagi. Makanya arsitek itu harus dibayar mahal sama seperti seni. Arsitek, tidak hanya 'ya sudah gambar-gambar saja', bukan begitu. Itulah dasar membuat kita harus banyak pertimbangan saat membuat desain," jelasnya.