Oleh: Suwito Reno.
Peranan guru terhadap masa depan anak sangatlah besar. Dalam keseharian, para murid berada dan dibimbing oleh guru. Bahkan sampai kemudian sang anak menginjakkan kaki menuju dewasa, peran guru tetap saja terasa bagi pertumbuhan anak. Selain itu, guru juga memberikan didikan ilmu kepada anak. Oleh sebab itulah maka guru sering pula disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal demikian dilakukan mengingat begitu besarnya peran guru bagi para generasi penerus bangsa. Di sinilah kita pentingnya menghargai jasa dan pengorbanan para guru. Guru seyogianya ditempatkan pada posisi yang terhormat.
Namun kenyataan belakangan menunjukkan lain. Keberadaan guru tidak lagi selamanya dipandang sebagai profesi yang terhormat. Bahkan belakangan, sejumlah kasus yang menimpa guru menunjukkan bahwa penghormatan kepada guru sudah semakin memudar. Bayangkan saja, seorang guru Sekolah Menengah Pertama Raden Rachmat, di Sidoarjo, Muhammad Samhudi, divonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dengan hukuman pidana kurungan penjara selama 3 bulan dan denda sebesar Rp 250 ribu dengan masa percobaan selama 6 bulan. Kasus ini bermula saat orang tua murid pada Februari 2016 melaporkan Muhammad Samhudi ke polisi setelah tidak terima anaknya dicubit. Samhudi mencubit muridnya karena sang murid tidak mengikuti salat.
Kemudian dalam kasus terbaru, terjadi tindakan pemukulan yang dilakukan orang tua siswa terhadap guru di SMK Negeri 2 Makassar, Sulawesi Selatan. Kejadian ini sungguh sangat memprihatinkan. Kasus ini makin menambah panjang daftar aksi kekerasan yang dilakukan orang tua siswa terhadap para guru di Tanah Air. Selain kasus kekerasan, banyak juga guru yang dilaporkan orang tua siswa ke pihak berwajib dan terjerat kasus hukum. Fenomena ini juga tentu sangat mengkhawatirkan dan menodai dunia pendidikan Indonesia. Semua pihak harus sepakat bahwa aksi kekerasan tak boleh terjadi lagi dalam dunia pendidikan di Tanah Air.
Aksi kekerasan, apa pun bentuknya, tak bisa dibenarkan. Apalagi, kekerasan itu dilakukan orang tua siswa terhadap guru dan terjadi di lingkungan sekolah. Karenanya, fenomena ini harus segera diakhiri. Boleh jadi, ini adalah tantangan yang harus dipecahkan oleh dunia pendidikan di Tanah Air. Harus ada solusi agar kekerasan tak terjadi lagi di dunia pendidikan. Jika kondisi yang terjadi saat ini terus berlangsung, para guru akan terus berada dalam bayang-bayang ketakutan saat mengajar para siswanya. Orang tua dan guru harus sama-sama memahami peran kedua belah pihak. Para orang tua menitipkan anak-anak mereka untuk dididik dan digembleng menjadi generasi penerus yang kompeten dan berkarakter. Maka, orang tua harus memberi kepercayaan dan memahami tugas seorang guru.
Mendidik para siswa tentu bukan persoalan mudah. Ada saatnya bagi guru untuk menerapkan sanksi kepada siswa yang melanggar aturan. Semua diberlakukan untuk mendidik para siswanya untuk disiplin. Dalam penerapan sanksi, para guru juga tak boleh melakukannya dengan kekerasan yang berlebihan. Harus disepakati antara orang tua siswa lewat komite sekolah dan guru, soal jenis sanksi yang boleh diterapkan. Komunikasi antara guru dan orang tua harus lebih ditingkatkan. Orang tua seharusnya tak langsung merespons aduan anaknya dengan emosi, apalagi sampai memukul dan mengadukan guru ke kepolisian. Kedua belah pihak bisa sama-sama membicarakan setiap masalah yang dialami. Dengan begitu, tak perlu lagi ada aksi kekerasan di dunia pendidikan.
Tawaran solusi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Muhadjir Effendy agar peran komite sekolah sebagai wadah orang tua dan sekolah kian diperkuat perlu dilakukan di setiap sekolah. Melalui wadah inilah, kata Mendikbud, orang tua siswa bisa membicarakan berbagai permasalahan, termasuk membangun lingkungan sehat di sekolah. Kita berharap sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh anak Indonesia. Kita berharap sekolah bisa terbebas dari praktik kekerasan. Apa pun bentuknya, kekerasan fisik tak boleh teradi di sekolah.
Kita berharap para orang tua untuk sejenak merenung dan mengevaluasi terhadap tindakan yang telah dilakukannya terhadap guru yang mendidik anaknya. Kekerasan memang dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan, tetapi kita harus melihatnya secara proporsional. Orang tua seharusnya menyadari bahwa tidak ada guru yang ingin menyakiti murid-muridnya. Sebagai wakil orang tua di sekolah, para guru sangat mencintai anak-anak didiknya. Ketika guru menghukum muridnya yang melanggar tata tertib sekolah, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk mendidik dan memberikan pelajaran agar murid yang tidak mengulangi perbuatannya. Para orang tua tentu juga punya pengalaman dimarahi oleh guru saat bersekolah dulu.
Memang, zaman dulu sosok guru begitu sangat dihormati dan disegani. Zaman sekarang, wibawa guru jauh menurun. Kadang ada siswa tidak segan-segan mengolok-olok gurunya sendiri karena tidak suka terhadap guru atau pelajaran yang diberikan guru tersebut. Zaman dahulu, kalau murid berpapasan dengan guru, sang murid membungkuk, mencium tangan, serta tidak mau menatap wajahnya karena segan. Tapi, zaman sekarang banyak murid yang bersikap tidak sopan kepada guru. Kalau bertemu di jalan seperti yang tidak kenal saja. Ketika murid diingatkan oleh guru, bukannya menuruti nasihat guru, tetapi banyak yang melawan. Para orang tua perlu merenung sejenak, apa sebenarnya yang didapatkan oleh orang tua dengan menyeret guru ke meja hijau gara-gara mencubit anaknya.
Marilah kita selesaikan setiap permasalahan dengan kepala dingin. Kedepankan musyawarah dan kekeluargaan dalam mencari solusi. Daripada saling melaporkan ke aparat kepolisian, lebih baik sama-sama melakukan introspeksi diri, sejauh mana guru dan orang tua berbagi peran dalam mendidik anak. Mari saling melengkapi, bukan saling mengandalkan. Mari saling memperbaiki bukan saling menyalahkan. Mudah-mudahan, kasus yang menimpa guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Makassar, yang dipukul oleh Adnan Achmad dan anaknya menjadi yang terakhir. Jangan ada lagi ada kasus-kasus guru yang dikriminalisasi gara-gara memberikan hukuman kepada muridnya. Karena hal ini menjadi preseden buruk terhadap dunia pendidikan kita.
Guru silakan lakukan tugasnya secara profesional dengan mengacu kepada empat kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Sementara peran orang tua pun sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak harus semakin diperkuat. Mari berdamai dan berjabat tangan, bersinergi mendidik generasi penerus bangsa untuk melahirkan manusia yang cerdas dan berbudi pekerti luhur.
Selain itu, pendidikan, sekolah, juga guru, tak boleh lagi memandang pikiran peserta didik sebagai bejana yang siap diisi, tetapi api yang harus dinyalakan. Paradigma pendidikan yang menjadikan peserta didik sebagai bejana yang siap diisi hanya menghasilkan interaksi satu arah dari guru ke murid. Guru akan menjejalkan dan memaksakan ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik melalui pengajaran yang indoktrinatif, pekerjaan rumah berlebihan, disiplin berlebihan, bahkan kekerasan berlebihan. Pemaksaan oleh guru pada titik tertentu akan menghasilkan perlawanan berupa pembangkangan, kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik dari peserta didik.
Kita berharap agar semua pihak dapat mengambil hikmah dari sejumlah kasus yang menimpa guru di Tanah Air. Guru selayaknya mendapat tempat terhormat karena jasanya sangat besar bagi masa depan anak. Sebaliknya, guru juga diharapkan dapat bertindak lebih bijak dan arif dalam mendidik anak. Jangan ada lagi bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siapapun dalam dunia pendidikan, baik oleh guru, orangtua dan juga anak didik. Dengan demikian, maka proses pendidikan yang dijalankan di tanah air dapat membawa perubahan positif bagi masa depan bangsa.***
* Penulis adalah pengamat sosial, politik dan kemasyarakatan.