Penyakit Busuk pada Tanaman Bawang Merah

Oleh: DR.Ing. Andy Wahab Sitepu.

Penyakit busuk pada tanaman bawang merah, terutama sekali pada daun, umbi dan perakaran, bukanlah masalah baru lagi di dunia pertanian. Salah satu penyebabnya adalah serangan mikroba “pathogen” (jamur/bakteri) yang dapat menggagalkan panen, bahkan mematikan tanaman pada usia muda (mati gadis) dan usia menghasilkan (mati janda). Biasanya setelah terserang parah, barulah muncul gejalanya. Malah tana­man yang terlihat sehat pun bisa mati dalam waktu singkat, karena akarnya telah dirusaki mikroba tersebut. Selain itu konsumsi makanan yang terkonta­minasi mikotoxin (racun hasil pembu­sukan jamur merusak hati/lever).

Hingga kini hanya dilakukan pembas­mian mikroba dengan pestisida (fungi­sida/bakterisida) baik yang kimia sintetik mau­pun yang hayati (mikroba ”baik”). Kare­na dianggap cepat dan mudah, manusia lebih memilih kimiawi. Ternyata perlakuan kimiawi habiskan banyak uang dan cemar­kan lahan pertanian dengan zat-zat berba­haya serta tanaman pun turut mati. Umum­nya penanaman ulang pada tanah yang sama juga mengalami masalah yang sama.

Sadar dari kecewa manusia pun beralih ke sistem hayati. Dari sejumlah mikroba ”baik”, mikroba pengurai lah yang sering digunakan untuk mengatasi mikroba “pathogen”. Untuk melanjutkan hidup dan berkembangbiak mikroba meng­konsumsi bahan organik, padahal makanannya telah terkontaminasi residu dari berbagai bahan aktif pestisida dan bahkan mungkin telah berubah menjadi metabolit yang belum dikenal.

Tingkat bahaya metabolit bisa berku­rang dan bisa juga jauh lebih berbahaya daripada residunya. Dalam kondisi ter­kontaminasi tentu sebagian mikroba “baik” akan terbunuh. Se­bagian yang tidak terbu­nuh tentu terus meng­konsumsi bahan orga­nik tanah terkonta­minasi. Sementara seba­gian lagi mengkon­sumsi bagian tanaman (perakaran, umbi, batang & daun) yang bebas/minim kontami­nasi, sehingga tana­man menjadi rusak (penyakit busuk). Sete­lah beradaptasi hidup dalam lingku­ngan beresidu/berme­tabolit tentu mikroba tersebut akan resisten/kebal terhadap pesti­sida bersangkutan. Itulah salah satu sebab­nya pada lahan pertanian sistem hayati tidak dianjurkan pemakaian pesti­sida kimia sintetik.

Enzim tidak Membunuh Hama

Sebenarnya bukan mikroba “patho­gen" yang langsung merusak tanaman, melain­kan zat pembusuk (enzim pengu­rai) yang dihasilkannya. Baik yang “patho­gen” maupun yang “baik”, sama-sama meng­ha­sil­kan enzim pengurai. Jadi pembasmian mikroba “pathogen” dengan mikroba “baik” belum tentu tepat. Enzim bukan makhluk hidup, melainkan Bio-katalisator (zat kehidupan) yang dihasilkan makhluk hidup. Enzim tidak membunuh hama dan tidak terbunuh pestisida.

Masing-masing enzim memiliki hanya satu fungsi dan tidak bisa digantikan yang lain­nya, ibaratnya “Kunci-Gembok”. Prin­sip ker­ja­nya terletak pada “gugus aktif” en­zim­nya.  Dengan mem­blokir “gu­gus ak­tif” nya secara selektif, kerja enzim dapat diken­dali­kan. Se­hingga mi­kroba “patho­gen” ini tidak lagi mem­busukkan tana­man, me­lainkan akan beralih meng­konsumsi bahan organik lain­nya, misal­nya sisa-sisa ba­gian tanaman yang telah mati (yang tidak me­ngalami per­tumbu­han ataupun pergantian sel).

Mekanisme pemblo­kiran berlang­sung, cukup melalui persinggungan selektif antara “gugus aktif” enzim-inhibitor (dihasilkan mikroba “baik”) dengan “gugus aktif” serang­kaian enzim-enzim pengurai milik mikroba “patho­gen”. Namun sayang sekali enzim-enzim ini sangat peka terhadap reaksi oksidasi. Agar tidak teroksidasi oleh oksigen udara dan untuk mencegah terjadi­nya saling memblokir, enzim-enzim hasil ekstraksi tersebut dapat dikombinasikan dengan enzim-enzim yang mampu menu­runkan kadar oksigen, seperti enzim yang mampu mengadsorpsi nitrogen, karbon­dioksida maupun uap air. Kombinasi ketiga enzim ini digunakan selain untuk pemben­tukan “pseudo-urea” dalam tum­buhan seba­gai sumber unsur hara C (karbon), H (hidro­gen),  dan N (nitrogen), juga dapat me­ngatasi virus (yang butuh oksigen) melalui penuru­nan kandungan O (oksi­gen) dalam tumbuhan.

Enzim-enzim tersebut di atas telah di­rangkaikan lengkap sebagai multi­en­zim­ hasil penerapan nanoteknologi dan disajikan dalam bentuk pupuk cair Fitofit. Makanya tanaman yang telah rusak akibat serangan jamur dapat diperbaiki, seperti pertumbuhan dan pergantian sel-sel dapat berlangsung terus setelah appli­kasi Fitofit tanpa dicampur fungisida dan pupuk.

Tanaman dengan jumlah akar rusak telah melebihi akar sehat akan sulit dipulihkan kembali, namun yang berakar masih sehat lebih banyak daripada yang berakar rusaknya dengan mudah dapat dipulihkan Fitofit. Tahap pemulihan tanaman setelah aplikasi Fitofit dapat diamati seperti dari pengeringan, penutu­pan luka busukan dan pertumbuhan akar baru pada sekeliling pangkal batang bawah. Setelah perakaran baru tumbuh kokoh pada bekas busukan, tanaman mampu berpro­duksi kembali bahkan mampu melebihi tanaman yang tidak terserang jamur/bakteri. Jadi pembasmian jamur/bakteri tanpa menangani zat pem­busuknya dan memper­baiki kerusakan pada tanaman yang terserang, tanaman tidak dapat melanjutkan kehidupan normal.

Pemberian pupuk dan pestisida baik kimiawi ataupun hayati dianjurkan setelah tanaman mulai pulih. Mulainya pemulihan dipilih sebagai acuan, karena perakaran baru mulai terbentuk. Ini berarti, tanaman mulai sanggup mengkonsumsi unsur hara yang terkandung dalam tanah, untuk bertumbuh menggantikan jaringan tana­man yang telah dirusaki oleh zat pembusuk tadi. Karena tidak terbunuh pestisida dan dapat menyerap nitrogen, karbondioxid dan uap air, Fitofit sering dicampurkan dengan pupuk ataupun pestisida, agar penyerapan pupuk ataupun pestisida lebih optimal.

Pupuk yang diberikan harus berdasar­kan perkembangan tanaman. Biasanya applikasi Fitofit segera menimbulkan bunga yang ber­jumlah melebihi tanaman normal. Artinya, ta­nah masih mengandung banyak unsur Phosphor (P) yang tidak ter­serap tanaman, akibat keru­sakan pera­karan sebelumnya. Selain membantu tumbuhan menyerap karbondioksida dan uap air dari udara untuk kebutuhan proses foto­sintesanya, Fitofit juga sangat membantu tumbuhan menyerap sinar Ultra-Violet. ***

Penulis adalah pakar Enzim di bidang Teknologi Katalisator (Nanoteknologi & Reaktor Proses Kimia, Universitas Erlangen Nuernberg, Bayer Jerman.

()

Baca Juga

Rekomendasi