Oleh: Firman Situmeang
Beberapa waktu terakhir Bangsa Indonesia dihebohkan dengan munculnya dua kasus kewarganegaraan ganda (dwikewarganegaraan). Kasus pertama datang dari Menteri ESDM, Arcandra Tahar. Beberapa waktu yang lalu Arcandra harus berlapang dada setelah diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden Jokowi setelah menjabat sebagai Menteri ESDM selama 20 hari. Hal ini terjadi karena Arcandra diketahui memiliki kewarganegaraan ganda yakni Indonesia dan Amerika Serikat. Kasus kedua datang dari Gloria Natapradja Hamel, anggota Paskibraka Nasional. Gloria harus rela posisinya dicopot pasca sebulan karena Gloria memiliki paspor Prancis. Meskipun pada akhirnya Gloria diberi izin untuk prosesi penurunan bendera pusaka di Istana Merdeka.
Terkait dengan kasus Arcandra, penulis melihat bahwa kecolongan pemerintah terkait kewarganegaraan Arcandra tidak lepas dari kesalahan pengawasan dan administrasi dari pemerintah. Harusnya sebelum Arcandra direkrut Mensesneg dan BIN mendeteksi kewarganegaraannya. Namun sayangnya hal tersebut diabaikan. Tak jauh berbeda dengan kasus Arcandra, kasus Gloria juga terjadi karena kelalaian pemerintah dalam proses administrasi tim Paskibraka. Harusnya sejak seleksi tingkat Kabupaten, status kewarganegaraan setiap calon Paskibraka sudah diperiksa.
Jika kita amati, bersamaan dengan kasus ini isu nasionalisme sempat menyeruak, apalagi terkait dengan kinerja Arcandra yang di klaim sebagai penghianat negara. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk membedah mengenai bagaimana keterkaitan antara status kewarganegaraan dan nasionalisme. Menurut hemat penulis kewarganegaraan dan nasionalisme memiliki wajah ganda. Di satu sisi kewarganegaraan dan nasionalisme memiliki hubungan yang berbanding lurus. Di sisi lain kewarganegaraan dan nasionalisme memiliki hubungan yang bertolak belakang.
Kewarganegaraan Berbanding Lurus Dengan Nasionalisme
Maksudnya seorang warga negara memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap tanah airnya. Soekarno pernah berkata“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. Pernyataan Soekarno ini merupakan sebuah pesan yang menuntut kita untuk mencintai tanah air Indonesia tanpa pamrih. Jika di era penjajahan kita punya tokoh nasionalis seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Jenderal Sudirman, maupun Ahmad Yani yang berjuang membela negara lewat medan peperangan. Maka di era modern (sekarang) kita punya tokoh nasionalis yang berjuang lewat prestasi yang dicapainya semisal Liliana Natsir, Hendra Setiawan, dan Chris John yang mempersembahkan seluruh karirnya untuk mengharumkan nama Indonesia di kancah Bulutangkis internasional atau B.J. Habibie yang rela meninggalkan karir cemerlangnya di Jerman demi memenuhi panggilan negara.Mereka berjuang mati-matian demi meraih prestasi tertinggi untuk Indonesia. Tentunya mereka hanyalah sebagian kecil dari tokoh nasionalis yang dimiliki oleh Indonesia di era modern ini.
Kewarganegaraan Bertolak Belakang dengan Nasionalisme
Status kewarganegaraan nyatanya tak selamanya berbanding lurus dengan jiwa nasionalisme seseorang. Ada dua konsep yang akan penulis bahas pada tulisan ini yakni WNI yang tidak cinta tanah air dan WNA yang cinta tanah air.
Pertama, WNI yang tidak cinta tanah air. Fenomena ini menjadi sebuah pemandangan yang tidak terlepas dari perjalanan bangsa Indonesia khususnya sejak era reformasi. Ya, sejak era reformasi jiwa nasionalisme sebagian masyarakat Indonesia mengalami degradasi yang cukup signifikan. Hal ini tidak terlepas dari pertukaran informasi dan budaya asing yang semakin intens terjadi. Beberapa contoh nyata yang bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah adanya masyarakat yang tergila-gila dengan produk asing misalnya dalam hal membeli buah banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih buah impor dibanding buah lokal padahal kualitas buah lokal jauh lebih baik. Selanjutnya berlibur ke negara asing. Fenomena ini juga tidak kalah memprihatinkan. Banyak WNI yang lebih memilih berlibur ke luar negeri semisal Singapura dibandingkan di dalam negeri yang memiliki potensi pariwisata yang melimpah dan mempesona. Bahkan ada masyarakat yang lebih mencintai bahasa dan budaya asing dibandingkan bahasa dan budayanya sendiri. Ironis.
Kedua, WNA yang cinta tanah air. Perasaan penulis campur aduk ketika mengetahui ada WNA yang mengabdikan dirinya demi bangsa Indonesia. Di satu sisi penulis senang karena Indonesia nyatanya dicintai oleh warga asing. Namun di sisi lain penulis sedih karena di saat yang bersamaan ada WNI yang malah tidak mencintai Indonesia sepenuh hati. Ya, dalam beberapa tahun terakhir memang bermunculan warga asing yang mencintai dan mengabdikan diri pada Indonesia.
Salah satu contohnya adalah Elizabeth Karen Sekar Arum asal Amerika Serikat yang menjadi Sinden di Jawa Timur. Elizabeth adalah WNA yang sangat mencintai Indonesia yang dibuktikan dengan kemampuannya dalam berbahasa Jawa dan memilih tinggal di Indonesia. Bahkan Elizabeth pernah berpesan “Tidak ada yang melarang suka musik rock atau dangdut. Tapi, jangan lupakan seni tradisional sendiri.”Contoh lainnya adalah Anette Horschmann asal Jerman yang mengabdikan dirinya sebagai aktivis lingkungan Danau Toba. Karena kecintaannya pada Danau Toba, dia tidak segan memunguti sampah demi menjaga kebersihan Danau Toba.
Hal inilah yang juga ditunjukkan oleh Gloria. Meskipun dia belum terdaftar sebagai WNI namun dia memiliki rasa cinta yang dalam pada tanah air. Inilah yang harus kita renungkan. Selama ini kita selalu menganggap bahwa setiap warga Indonesia mencintai tanah air sehingga hanya WNI-lah yang punya kesempatan untuk mengabdi bagi tanah air. Padahal faktanya hal ini tidak selamanya begitu. Mari kita ubah persepsi kita. WNA harusnya diberi kesempatan untuk membangun bangsa ini. Tentunya dengan syarat-syarat tertentu.
Hari Merdeka
Kemarin, 17 Agustus 2016, kita baru saja merayakan hari jadi Indonesia yang ke-71. Penulis berharap Hari Kemerdekaan yang kemarin kita rayakan bukan hanya seremonial belaka, tanpa makna. Namun kita jadikan momentum untuk lebih meningkatkan jiwa nasionalisme kita, lebih cinta tanah air. Mari kita bangga dengan apa yang dimiliki bangsa kita. Tidakkah kita malu dengan adanya warga asing yang dengan sepenuh hati mencintai dan mengabdikan dirinya untuk Indonesia. So, mari kita belajar mencintai Indonesia setulus hati.
Rasa cinta kita tidak harus dilakukan dengan hal-hal yang besar, namun bisa kita mulai dengan hal-hal yang kecil. Misalnya membuang sampah pada tempatnya, mematuhi rambu lalu lintas, mencintai produk dalam negeri, hingga melestarikan bahasa Indonesia dan daerah dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita buat seluruh dunia bangga dengan keberadaan Bangsa Indonesia sehingga semakin banyak lagi WNA yang mencintai bangsa kita
“Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.”***
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi USU dan Anggota Toba Writer Forum.