Oleh: Novita Mandasari Hutagaol, S.Pd, M.Hum.
Reshuffle kabinet yang dilakukan presiden Jokowi baru-baru ini memberikan warna baru. Salah satu menteri yang diganti adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan digantikan Muhadjir Effendi mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pergantian tersebut menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat, melihat kinerja Anies Baswedan yang dinilai cukup baik. Pertanyaan lain yang muncul dikalangan pendidik dan orang tua; akankah Kurikulum 2013 (K13) atau Kurikulum Nasional berubah lagi seiring dengan pergantian Mendikbud?
Pada masa kepemimpinannya, Anies Baswedan telah melakukan evaluasi terhadap Kurikulum 2013. Evaluasi dilakukan terhadap dua aspek yaitu desain dan dokumen K13. Implementasi K13 dilakukan secara bertahap dan sambil menunggu hasil evaluasi Kurikulum 2013 (kemendikbud.go.id). Sistem kurikulum masa Anies Baswedan disebut dengan kurikulum nasional..
Sejarah Kurikulum
Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantoro adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan menjadi fondasi terpenting dari pembangunan sebuah bangsa. Pendidikan tidak hanya berbicara lulus dan tidak lulus akan tetapi proses mentransfer ilmu, seni, teknologi, dan nilai-nilai, tradisi, dan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Indonesia di usia yang 71 tahun ini telah beberapa kali mengalami pergantian Menteri Pendidikan yang kemudian berdampak kepada perubahan Kurikulum.
Pergantian kurikulum idealnya berlangsung 10 tahun sekali dan rencana penyusunan kurikulum baru hendaknya dilakukan dalam lima tahun sebelum diterapkan. Setahun sebelum kurikulum diterapkan harus dilakukan uji coba terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar seluruh komponen pendidikan siap dalam melakukan proses belajar mengajar.
Sebelum kemerdekaan Indonesia 1945, masyarakat telah mengalami dua kali pergantian kurikulum. Pertama kurikulum Jaman Belanda (1917-1941) dan yang kedua Kurikulum Jaman Jepang (1942-1945). Kurikulum pada jaman Belanda bertujuan mencetak tenaga buruh (pendidikan pribumi) dan mencetak calon pegawai pemerintahan (pendidikan elit pribumi dan pendidikan eropa). Sedangkan pada jaman Jepang karakteristik kurikulum menekankan aspek praktek dan pengalaman sehingga mengurangi aspek akademis. Kurikulum jaman Jepang juga berorientasi pada pembentukan SDM untuk keperluan perang.
Setelah memperoleh kemerdekan, kurikulum di Indonesia diganti dengan kurikulum 1947. Sejak tahun 1947, Indonesia telah mengalami pergantian kurikulum sebanyak 10 kali. Kurikulum 1947 berganti menjadi kurikulum 1952, yang kemudian berganti menjadi kurikulum 1962/1964 dan berganti lagi menjadi kurikulum 1968.
Pada perkembangan selanjutnya kurikulum 1968 mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kemudian berganti lagi menjadi kurikulum 1994. Kurikulum 1994 juga mengalami pergantian menjadi kurikulum 2004 yang kemudian berganti menjadi kurikulum 2006 (KTSP) dan mengalami pergantian menjadi Kurikulum 13 (K13). Tahun 2014 K13 diganti menjadi Kurikulum Nasional.
Kurikulum 1947 pada masa itu hanya berlaku bagi jenjang SD dan SMP. Bahasa Indonesia dan daerah (Jawa, Sunda, dan Madura) digunakan sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Selain itu, pada kurikulum 1947 semangat nasionalisme sebagai Negara yang baru merdeka menjadi salah satu materi yang penting diajarkan guru. Kurikulum 1952 merupakan pengembangan dari kurikulum 1947.
Pada kurikulum 1962/1964 mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi yaitu moral, kecerdasan, emosional, keterampilan ,dan jasmaniah. Sehingga pada masa itu kegiatan pembelajaran lebih mengutamakan praktik dari pada teori. Kurikulum 1962/1964 hanya berlangsung 4 tahun, yang kemudian berganti menjadi kurikulum 1968 (pergantian yang sangat pendek terjadi karena faktor politis). Pada kurikulum 1968 mata pelajaran dikelompokkan menjadi: kelompok pembinaan, pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Selain itu pembelajaran lebih bersifat teoritis dan bertujuan mencetak SDM yang pancasilais.
Selanjutnya pada kurikulum 1975 mulai diperkenalkan istilah “satuan pelajaran” yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan, yang dirincikan menjadi petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar dan evaluasi. Kurikulum 1984 disebut juga sebagai kurikulum 1975 yang disempurnakan yang di dalamnya siswa diperkenalkan dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dengan menekankan aspek praktek dan keterampilan siswa. Pada kurikulum 1994 pembelajaran muatan lokal mulai diangkat, selain itu kejatuhan Soeharto (1998) menyebabkan dikeluarkan Suplemen Kurikulum 1999 dengan tujuan mengurangi beban pelajaran.
Pada Kurikulum 2004 yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yaitu setiap mata pelajaran dikembangkan berdasarkan kompetensi yang ingin dicapai, selain itu mengangkat pendidikan berbasis keunggulan lokal. Kurikulum 2004 sempat diujicobakan dan diimplementasikan oleh beberapa sekolah akan tetapi kemudian dihentikan dan diganti dengan Kurikulum 2006. Kurikulum 2004 dirasakan sulit diterapkan oleh guru.
Kurikulum 2006 atau disebut juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menekankan pada aspek pengembangan di sekolah yang sebenarnya mirip dengan KBK (format RPP, silabus sama dengan KBK). Guru diberikan kebebasan untuk kreatif mengembangkan instruksi pembelajaran sehingga diharapkan siswa mampu bersaing secara global. Kurikulum KTSP menuntut profesionalisme guru sehingga guru diharuskan lulusan S1 dan banyak guru yang mengambil pendidikan S2.
Kurikulum 2006 kemudian diganti lagi menjadi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap dan perilaku. Tidak adanya ujicoba terhadap Kurikulum 2013 mengakibatkan banyak sekolah tidak siap menerapkan Kurikulum 2013.
Pergantian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2014 merubah sistem kurikulum. Nama Kurikulum 2013 (K13) secara resmi diubah menjadi Kurikulum Nasional. Informasi perubahan ini tertuang dalam buku Kilas Setahun Kinerja Kemendikbud (November 2014 - November 2015). Kementerian yang dipimpin Anies Baswedan kala itu juga sudah menetapkan skenario penerapan Kurikulum Nasional secara utuh (JPNN.com).
Kurikulum Nasional bukanlah nama baru dari Kurikulum 2013 akan tetapi bermakna kurikulum tersebut berlaku secara nasional. Anies Baswedan menuturkan implementasi Kurikulum 2013 akan tetap dilanjutkan sesuai dengan hasil evaluasi yang telah dirampungkan Kemendikbud, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pergantian kurikulum adalah hal yang memang harus dilakukan agar proses pendidikan semakin lebih baik. Akan tetapi pergantian kurikulum hendaknya dilakukan dengan persiapan baik dengan mengkaji seluruh aspek pendidikan. Jangan sampai stereotipe masyarakat “ganti menteri, ganti kurikulum” menjadi budaya yang di halal kan di Negara ini.
Harapan
Kita sedang menantikan kurikulum apa (lagi) yang akan digunakan di era Mendikbud Muhadjir Effendi. Menjadi catatan, belum terjawab masalah kurikulum setelah pergantian menteri, masyarakat sudah sempat dibuat resah dengan gagasan Full Day School atau sekolah sehari penuh. Sebagaimana kita lihat di media massa, masyarakat begitu masif menyampaikan protes sekaligus penolakan atas gagasan Mendikbud tersebut.
Di kota-kota besar mungkin saja gagasan FDS baik dilaksanakan melihat aktivitas orang tua yang bekerja seharian penuh, sehingga orang tua tidak perlu menitipkan anak kepada pembantu atau ke tempat penitipan anak, karena anak berada di sekolah seharian penuh. Akan tetapi gagasan FDS tersebut dirasakan sulit dilakukan di sekolah-sekolah yang berada di desa yang orang tua tidak bekerja penuh waktu karena akan mengurangi waktu anak bersama orang tua. Selain itu bagi sekolah-sekolah yang fasilitas dan tenaga pendidik masih kurang FDS akan sulit dilakukan.
Hanya sebagai perbandingan, di Finlandia anak belajar 45 menit, kemudian diberikan waktu istirahat 15 menit. Anak-anak diyakini memiliki kemampuan terbaik untuk menyerap ilmu baru ketika mereka memiliki kesempatan mengistirahatkan otak untuk fokus pada hal yang baru sehinga anak lebih produktif di jam-jam belajar karena mengerti bahwa mereka akan mendapat waktu bermain (hipwee.com).
Sekolah seyogiyanya menjadi aktivitas menyenangkan bagi anak, tempat mereka bisa bertemu dengan teman dan menemukan hal baru. Oleh sebab itu perlu menciptakan proses pendidikan formal yang bisa membuat siswa merasa “rindu” setiap hari ke sekolah. Tugas besar yang harus diselesaikan Mendikbud menciptakan kurikulum dan proses pendidikan yang membawa generasi bangsa menjadi lebih baik dan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menarik apa yang dikatakan Edgar Dalle, bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang. Semoga pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik.***
*Penulis adalah Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Riau Kepulauan, Batam.