Bahasa Daerah sebagai Jati Diri Bangsa

Oleh: Lasron P. Sinurat.

Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kaya dan beragam. Kebudayaan itu, tercermin dari berbagai kebiasaan yang ada pada jati diri bangsa Indonesia. Bahasa yang merupakan bagian dari kebudayaan menjadi sebuah keka­yaan tersendiri bagi bangsa ini. Ada ratusan bahasa daerah yang berkembang dan dapat kita temukan di Nusantara, semua bahasa itu diikat dalam satu prinsip bangsa, yakni Bhineka Tunggal Ika. Namun, seiring kema­juan zaman, bahasa daerah mengalami ke­mun­duran dan sebagian ada yang sudah punah.

Indonesia menjadi negara terbesar kedua pemilik bahasa daerah setelah Papua Nugini. Setiap daerah yang dihuni oleh masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke memiliki bahasa tersendiri. Bahasa daerah itu diadopsi dari hasil proses kebuda­yaan masing-masing masyarakat adat yang mendiami suatu wilayah di Nusantara. Oleh karenanya, masyarakat adat adalah aktor utama dalam menjaga dan melestarikan bahasa daerahnya, karena merekalah pemilik sah bahasa daerah itu. Tanpa kehadiran masyarakat adat, maka bahasa daerah tak akan per­nah ada di negeri ini.

Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidu­pan manusia di atas dunia ini, karena dengan bahasa orang bisa berinteraksi dengan sesamanya dan bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan bermasyarakat. Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa In­donesia (Hasan Alwi, 2002: 88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.

Menurut Ajip Rosidi, selaku Ketua Yaya­san Kebudayaan Rancage dalam Kong­res Bahasa Daerah Nusantara di Bandung mengemukakan bahwa, bahasa daerah atau bahasa ibu adalah warisan budaya yang sangat kaya. Bisa-bisa punah. UU tentang bahasa yang sekarang harus diubah, atau direvisi. Bahasa dianggap sebagai media komunikasi semata. Padahal, bahasa adalah ekspresi batin bangsa penggunaan­nya(Kompas 5/8/2016 ).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada akhir tahun 2014, telah memverifikasi sebanyak 617 bahasa daerah di Indonesia, dan sebanyak 178 bahasa daerah terancam punah. Dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara yang diadakan di Jawa Barat, Selasa (2/8), tercatat bahwa dari 706 bahasa daerah yang ada di Indonesia, 266 di antaranya berstatus lemah dan 75 sekarat. Guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Multamia Lauder mencatat, sebanyak 13 bahasa telah punah, yakni bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Loun, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Saponi, Serua, Ternateno, dan Te’um (Kompas 3/8/2016 ).

Penyebab

Kekayaan bahasa daerah yang ada di Nusantara ini, patut kita apresiasi selaku warga negara Indonesia yang memegang teguh kebhinekaan (keberagaman). Namun, sangat disayangkan ketika kekayaan itu, satu persatu harus punah akibat ulah manusia itu sendiri. Hilangnya bahasa daerah itu, menjadi sebuah kegagalan bagi negara untuk menjamin hak- hak masyarakat adat untuk mempertahankan kebudayaan.

Berbagai ancaman hadir ditengah-tengah masyarakat adat selaku pemilik bahasa daerah. Akibatnya, masyarakat adat tidak mampu untuk menjaga dan melestarikan bahasanya sendiri. Negara seakan memaksa, agar masyarakat adat mening­gal­kan bahasa­nya, dengan model pendidikan yang ada. Corak pendidikan yang ditemukan pada seko­lah formal kurang men­dukung kebuda­yaan yang berkembang di Indonesia, pendidikan hanya diorientasikan kearah pembangunan yang kurang berpihak kepada kebudayaan. Misalnya, guru sekolah lebih memilih me­nguji siswa dengan Bahasa Inggris, dari­pada Bahasa Daerah. Hal inilah yang mengaki­batkan bahasa daerah semakin dijauhi oleh para pemuda karena merasa tidak penting untuk digunakan dan dipelajari.

Adapun faktor lain penyebab kepunahan bahasa daerah adalah hilangnya wilayah adat milik masyarakat adat sebagai tempat lahirnya bahasa daerah. Analoginya seperti ini, jika sekelompok masyarakat adat yang tinggal di wilayah adat X dengan menggunakan bahasa X, berpindah ke wilayah adat Y dengan bahasa Y, maka bahasa yang digunakan oleh masyarakat adat X adalah bahasa Y, sedangkan bahasa X akan ditinggalkan, hingga akhirnya punah. Keberadaan wilayah adat, akan sangat mempengaruhi keselamatan bahasa daerah.

Dampak lain yang mempengaruhi punah­nya bahasa daerah itu sendiri adalah masuk­nya budaya asing (westernisasi) dan arus deras globalisasi yang semakin nyata. Sehing­ga memaksa seluruh masyarakat untuk tun­duk pada segala yang berbau penemuan baru, dan melupakan bahasa yang telah digunakan sejak dulu. Globalisasi dijunjung tinggi dan disembah, sehingga bahasa daerah dianggap tidak terlalu penting dalam mendorong kemajuan pembangunan negeri ini.

Regulasi atau Peraturan perUndang-Unda­ngan tidak ada yang secara tegas untuk melin­dungi bahasa daerah. Adapun Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Ben­dera, Baha­sa, dan Lambang Negara serta Lagu Ke­bang­saan, belum mengatur secara tegas perlin­du­ngan bahasa daerah. Peme­rintah kurang mem­perhatikan bahasa daerah sebagai jati diri bangsa, sekaligus warisan leluhur.

Kesadaran Komunal

Menyelamatkan bahasa daerah sebagai jati diri bangsa adalah tugas bagi semua ma­syarakat Indonesia. Semua elemen, baik pemerintah dan masyarakat adat, harus bersatu padu agar bahasa daerah yang meru­pakan hasil karya cipta leluhur kita, tetap eksis dalam nuansa kebudayaan Indonesia. Seperti kata seorang sastrawan kita, Pra­moedya Ananta Toer, “Tanpa mem­pelajari bahasa sendiri pun, orang takkan mengenal bangsanya sendiri.”

Kesadaran untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari perlu untuk ditingkatkan, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Keluarga sebagai ruang lingkup yang terkecil dalam menggunakan bahasa daerah sangat berpengaruh untuk memberi­kan rasa percaya diri bagi anak muda untuk tidak malu dengan bahasa daerah. Sedangkan sekolah sebagai tempat mengenyam pendidi­kan, harus berani menghidupkan kembali mata pelajaran khusus untuk mempelajari bahasa daerah. Memberikan motivasi kepada para anak didik agar tetap melestarikan dan menjaga bahasa daerah.

Paradigma yang kerap menyatakan ma­syarakat adat selaku pengguna bahasa daerah sebagai “masyarakat terbelakang” harus sege­ra diubah. Pernyataan seperti ini, kerap kita dengar dalam komunikasi sehari-hari dite­ngah masyarakat. Pola pikir yang memar­jinal­kan ini, sungguh membunuh kebudayaan kita sebagai suatu bangsa. Jika kita masih tetap terkungkung dalam pemikiran seperti ini, maka penerus bangsa ini akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang yang memiliki kebudayaan. Ke­sadar­an akan arti pentingnya bahasa daerah itu, harus ditanam­kan dalam diri setiap orang.

Rasa cinta tanah air Indonesia dapat kita wujudkan dengan menyadari akan genting­nya bahasa daerah sebagai jati diri bangsa ini. Jika kita memang benar mencintai bangsa ini, kita harus mencintai bahasa daerah kita sendiri. Tanpa bahasa daerah itu, kita akan kehilangan jati diri bangsa ini. Semoga***

Penulis adalah Anggota KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial).

()

Baca Juga

Rekomendasi