Oleh: Iranda Novandi
SEULANGA adalah nama bunga yang cukup terkenal di Aceh. Bungong (bunga) Seulanga sangat terkenal dengan keharumannya. Bukan saja di Aceh dan Nusantara (Indonesia), namun juga sampai ke luar negeri. Maka tak salah bila ada parfum terkenal dan eksklusif di Eropa bahannya dari bunga Seulanga.
Seulanga menjadi bunga khas dan ikon Aceh sejak zaman Kerajaan Aceh dahulu. Bahkan, konon Sultan Aceh menjadikan bunga ini sebagai kebanggaan dan dijadikan wewangian pada setiap acara kerajaan. Secara nasional Seulanga dikenal dengan nama bunga Kenanga.
Bila di kawasan pesisir Aceh bunga Seulanga begitu kesohor, di dataran tinggi Gayo bunga Renggali lah yang menjadi ikon dan kebanggaan masyarakat setempat. Renggali adalah bunga khas dan bisa jadi bunga endemik di Gayo. Sebab, sejauh ini belum ditemukan namanya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa latin. Bunga ini tumbuh subur di tanah Gayo.
Seorang tokoh masyarakat Gayo yang juga birokrat, Muhammad Syukri mengatakan, bunga Renggali berwarna pink dengan ukuran kecil, panjangnya hanya sekitar 5 cm dan garis tengah saat kembang sekitar 2 cm. Pohon yang menghasilkan bunga pink ini terlihat seperti pohon teh atau tumbuhan semak.
Terlepas dari itu, yang pasti Renggali seperti halnya Seulanga merupakan bunga yang tumbuh subur di dataran tinggi Gayo dan Aceh. Kedua-duanya menjadi ikon dan indentitas daerah masing-masing dan jadi kebanggaan tersendiri bagi Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.
Dalam cerita masa lalu, Seulanga dan Renggali adalah simbol kerajaan. Hingga saat ini, kerab juga dijadikan ungkapan untuk putra-putri Aceh yang sukses dan berhasil dalam berbagai hal. Seperti misalnya, ada atlet Aceh yang mampu menjuari Pekan Olahraga Nasional (PON), banyak orang mengungkapkan, “Semerbak Seulanga Harum”. Begitu juga, jika ada anak Gayo sukses menempuh jenjang pendidikan di luar negeri, banyak yang mengatakan, “Putra Renggali menembus dunia”.
Dalam kancah perpolitikan di Aceh belakangan ini, hubungan Seulanga dan Renggali dalam beberapa dekade, terlihat sangat sulit menyatu. Jarang ada putra-putri Renggali yang bisa berkiprah di posisi strategis di “Taman Seulanga” tingkat provinsi. Entah disengaja atau ada faktor lain, secara pasti sejauh ini tidak diketahui.
Bersemi Kembali
Tidak mengherankan bila dalam Pilkada 2017 mendatang, gubernur incumbent Zaini Abdullah menggandeng putra Renggali terbaik Ir Nasaruddin MM sebagai pasangan calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub) Aceh periode 2017-2022. Laksana Seulanga dan Renggali bersemi kembali.
Ini mengingatkan masa romantisme Kesultanan Aceh yang dibangun dan dibesarkan pada masa dahulu. Di mana, perpaduan Seulanga-Renggali menjadikan Aceh mencapai masa kejayaan dan keemasannya.
Seorang tokoh, sejarahwan dan budayawan Aceh, Yusra Habib Abdul Gani menggambarkan secara sosiologis, Renggali-Seulanga seumpama lirik lagu yang baru bisa dinikmati karena paduan dari beberapa jenis instrumen musik yang saling mendukung. Berbeda bunyi tapi konsep dan kuncinya sama.
Begitulah kehidupan politik dan sosial budaya antara komunitas Gayo dan Aceh Pesisir. Persis seperti diilustrasikan dalam lirik Didong (group Musara Bintang): “Renggali Megah Bireuen Takengon Bunge Seulanga” (Renggali Megah di Bireuen di Takengon Bunga Seulanga).
“Di sini terdapat indikasi tentang adanya korelasi ikatan sejarah dan sosial budaya yang menghubungkannya,” ujar Yusra, yang juga tokoh pergerakan masa konflik dulu dan menetap di Denmark.
Bila kita telusuri sejarah, dalam romantisme masa lalu banyak putra Renggali yang berjaya dan mampu berkiprah di Kesultanan Aceh dan membangun Aceh secara bersama-sama menjadi kerajaan besar. Sejarah ini tentunya tak bisa dipungkiri.
Dalam catatan sejarah juga menunjukkan Seulanga-Renggali bisa tumbuh dan bersemi bersama. Keduanya saling ketergantungan dalam wadah kebhinekaan, dalam satu nama Kesultanan Aceh Darussalam.
Prof Ali Hasjimi dalam bukunya “Meurah Johan, Sultan Aceh Pertama” terbitan Bulan Bintang tahun 1976, menuliskan, Meurah Johan Syah Al-Khahar (anak Raja Linge) diangkat menjadi Sultan Aceh Darussalam pada Jumat 1 Ramadan Tahun 601-631 H (1205-1234 M) dengan gelar Sultan Alaidin Johan Syah. Dalam Kerajaan Aceh Darussalam, yang akan menjadi rajanya ialah kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, perdamaian, keikhlasan serta cinta kasih dan siapa pun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini.
Dasar Penyatuan
Meurah Johan Syah sebagai panglima perang yang menaklukkan Johor dan Meurah Johan Syah lah sebenarnya peletak dasar penyatuan seluruh Aceh sebagaimana wujud sekarang. Ali Mugyat Syah –Sultan Aceh pertama– yang berkuasa tahun 1500-an dalam keadaan terima jadi.
Meurah Johan dapat kita sebut sebagai perintis pertama hubungan Renggali dan Seulanga. Meurah Johan juga sangat kesohor akan kualitas kepemimpinannya, hingga terus terwarisi sampai Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan atau keemasan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Datu Beru
Dari sederetan nama lain yang menjadi putra-putri Renggali yang sukses, ungkap Yusra Habib, di antaranya Datu Beru, satu-satunya wanita yang duduk dalam Parlemen Aceh di masa pemerintahan Ali Mughayat Syah. Sebagai seorang filosuf, ahli hukum dan politisi kondang, ia berani berhujjah dengan Qadhi Malikul Adil dalam kasus pembunuhan Bener Meriah (anak kandung Meurah Johan) oleh Reje Linge ke-12.
Tengku Tapa adalah Renggali yang harum di Aceh Timur saat peperangan melawan penjajahan Belanda. Karena keberaniannya, Komando Pusat Militer Belanda mempropagandakan Tengku Tapa enam kali mati.
Malik Ahmad, anak kandung Meurah Sinubung (cucu Munyang Mersa) diangkat menjadi Raja Jeumpa menggantikan mertuanya, karena berhasil menghentikan perseteruan antara Kerajaan Jeumpa dan Samalanga. Meurah Silu, adik kandung Malik Ahmad, dilantik menjadi Raja Pas pertama, karena kualitas ketokohannya yang berhasil menghentikan perang antara Lhak Sukon dan Geudang.
Kata Meurah dalam bahasa Gayo, berarti Malik dalam bahasa Arab. Kata Silu dalam bahasa Gayo, bermakna saleh dalam bahasa Arab. Itu sebabnya, Renggali dari dataran tinggi Gayo ini kemudian populer dengan panggilan Sultan Malikussaleh.
Selain itu, Meurah Pupuk, yang mengembangkan agama Islam ke Lamno Daya; Meurah Bacang, yang mengembangkan agama Islam ke Tanah Batak, Meurah Putih da Meurah Item (Hitam), yang mengembangkan agama Islam ke daerah Beracan Meureudu, Meurah Jernang, yang mengembangkan agama Islam ke Kalalawa Meulabah, Meurah Silu (bukan Meurah Silu yang kemudian menjadi Raja Pas), yang mengembangkan agama Islam Gunung Sinubung, Blangkejeren.
Sederetan nama tersebut, adalah juga Renggali-Renggali yang megah dalam sejarah pengembangan Islam di Aceh. Sampai sekarang keturunan mereka masih memakai gelar Meurah, yang berasal dari keturunan Munyang Mersa, nenek moyang orang Gayo.
Melihat kejayaan Aceh tempoe doeloe itulah, terbersit harapan, perpaduan Seulanga-Renggali yang kini kembali bersemi, bisa membawa perubahan Aceh yang lebih baik lagi di masa akan datang.
Abu Doto, sapaan akrab Zaini Abdullah-adalah sosok penting dalam pergerakan GAM masa lalu dari sejak awal-awal masa berdirinya. Kiprahnya ingin melanjutkan pembangunan Aceh tentu kiranya membutuhkan seorang birokrat senior dan mumpuni, agar arah pembangunan bisa lebih baik.
Sosok birokrat senior itu, satu di antaranya dari sekian banyak yang ada di Aceh, adalah Nasaruddin – Bupati Aceh Tengah saat ini. Bekal pengalaman yang bergerak dari dasar, mulai dari penyuluh pertanian, kepala dinas pertanian, Sekdakab Aceh Tengah, Pj Bupati dan Bupati Aceh Tengah dua periode, kiranya sangat kuat menjadi modal untuk berkiprah di level provinsi.