Oleh: Muhammad Husein Heikal
Puisi terbentuk dari bahasa. Tanpa adanya bahasa, tidak akan terbentuk puisi. Bagi penyair, ada semacam istilah kewenangan istimewa dalam memperlakukan bahasa. Istilah ini dikenal sebagai licentia poetica.
Terangnya, licentia poetica ialah kekhususan bagi seorang sastrawan/penyair untuk menyimpang dari kenyataan kebahasaan. Dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Shaw, 1972:291).
Pada sisi lain (Sudjiman, 1993:18) menyatakan, licentia poetica kurang tepat jika diterjemahkan sebagai kebebasan. Mungkin lebih tepat “kewenangan”. Kebebasan memiliki konotasi semau-maunya, sedangkan kewenangan bermakna ada keabsahan. Menurut saya istilah yang lebih tepat ialah keleluasaan.
Mendasari dua pendapat di atas, istilah licentia poetica menyiratkan adanya semacam dispensasi bagi penyair. Untuk tidak mematuhi tata/norma kebahasaan. Dispensasi yang diberikan pada penyair ini agar penyampaian gagasannya. Dapat (dalam usaha) menghasilkan efek yang diinginkan dalam puisi yang diproduksi.
Begitupun, keleluasaan (versi saya) dari aturan bahasa konvensional, tidak dapat dijadikan tonggak. Apakah puisi tersebut berhasil “mengungkap apa yang tidak terungkap.” Penyair William Wodrsworth pernah mengatakan puisi sebagai: the best words in the best order (kata-kata terindah dalam bentuk terindah). Tidak harus begitu sebenarnya.
Indah dalam pandangan Wordsworth terlalu terpokok pada segi struktural atau tipografi puisi. Padahal, puisi haruslah memiliki pesan dan “efek samping” bagi pembacanya.
Intinya puisi itu haruslah bermakna, tidak boleh hampa. Tentunya untuk menimbulkan dampak ini harus diolah dalam kata-kata indah sedemikian rupa oleh penyair. Puisi itu layaknya permainan kata-kata, yang menjadi medium antara penyair (penulis) dengan pembacanya.
Bahasa bagi penyair sama halnya dengan cat bagi bagi pelukis atau tanah liat bagi pematung. Sedemikian rupa, bahasa tersebut diolah penyair untuk menciptakan susunan yang estetik dan bermakna. Kepiawaian penyair mengolah bahasa bergantung kepada daya kreativitas imajinasinya.
Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2003) dijelaskan, pemahaman bahasa dalam konteks media puisi. Bahasa tidak sama dengan pemahaman terhadap bahasa yang hidup dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa sastra tentu berbeda dengan bahasa pidato, bahasa buku teks atau karya ilmiah.
Bahasa dalam puisi sering “menyimpang” dari kaidah atau ketetapan tata bahasa yang normal. Istilah “penyimpangan” ini dalam ilmu kesastraan di sebut Deviasi Bahasa. Penyimpangan ini diperbolehkan demi tercapainya visi puisi yang diciptakan penyair.
Beberapa pemisalan dalam hal pemanfaatan deviasi bahasa yaitu pada struktur kalimat dalam larik 1) Menepis sedih dia dalam kalut. Menepis mendahului subjek dengan maksud untuk mengedepankan predikatnya. 2) Biarkan bumi semakin bergesa. Semestinya kata bergesa yang semestinya bertulis tergesa-gesa. 3) Seribu api. Tata urut frasa ini nampaknya ingin menjelaskan, panasnya api itu beribu-ribu kali panasnya dari panas biasa. 4) Di sayup-sayup embun. Preposisi di seharusnya bergabung dengan nomina atau yang menyatakan tempat. Tapi di disini disandingkan dengan adjektiva, sayup-sayup. 5) Seperti hujan yang jatuh remis. Terjadi penyingkatan kata geremis menjadi remis yang dilakukan penyair.
Penyimpangan struktur kalimat, pembalikan tata urut kata, pelesapan unsur kata, penyingkatan kata. Selain dimaksudkan untuk tercapainya maksud keindahan dari puisi yang diciptakan.
Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara leluasa. Karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977:22). Karya sastra dianggap sebagai sebuah karya kreatif-imajinatif yang memiliki kelebihan khusus. Yaitu dimana bahasa dalam kesusastraan tidak hanya sebagai media komunikasi. Akan tetapi bahasa dalam sastra juga memberi makna yang luas bagi hubungan antar manusia. Kemampuan sastrawan mengeksploitasi bahasa dalam berbagai bentuk dimensi membuat bahasa sastra terkesan lebih memukau.
Bahasa sastra dicirikan memiliki karakteristik konotatif, simbolis, efek musikalitas dan multi-tafsir. Terakhir disebut merupakan yang paling menonjol. Karena kesalahan tafsir bisa menimbulkan persepsi (pembaca) yang berbeda. Ini mengakibatkan adanya kesalahan komunikasi. Tujuan (misi) puisi tersebut tidak total dimengerti oleh pembaca yang salah tafsir tersebut.
Tafsir Bahasa Sastra
Chairil Anwar menuliskan ini kali (dalam puisi Senja di Pelabuhan Kecil). Bila mengikuti aturan tata bahasa seharusnya ditulis kali ini. Ini kali bisa menimbulkan penafsirkan ini sungai (kali=sungai).
Padahal tidak, kali disini ialah persoalan waktu. Namun, bila kata kali ini diganti menjadi saat atau sekarang tentu citarasa puisi akan berbeda.
Dalam puisi Kenangan yang pendek, Chairil sengaja meyempatkan menyelang-seling. Kata-kata klise dengan kata-kata dan bentuk yang justru baru atau belum dikenal. Kadang/ Di antara jeriji itu-itu saja/ Mereksmi memberi warna…dst.
Kata mereksmi sangat menarik perhatian dan terlihat istimewa (selain jeriji tentunya). Kata ini begitu asing ditelinga kita. Ada kemungkinan mereksmi adalah bahasa prokem. Bahasa prokem yang digunakan sebagai sarana komunikasi para remaja, atau juga para preman.
Di balik bahasa tersebut terselubung dengan sandi-sandi yang hanya dimengerti oleh kalangan tertentu saja. Chairil menampakkan kebosanannya dengan kata itu-itu saja. Muncullah kata-kata baru yang segar sebagaimana yang telah dilakukannya dengan berbagai eksprimen dan inovasi.
Ada hal bisa membuat terhenyak ialah ketidaksesuaian kata dengan makna. Bila mengikuti aturan deviasi bahasa dan licentia poetica hal ini tidak melanggar. Seperti Ahmad Yulden Herwin dalam puisi Enam Simetri Jennifer Lee (Kompas, 23 Juli 2016) tertulis: Gema ombak pada cawan/ Atau pasu bunga, di sini/ Sebutir pasir adalah semesta…dst.
Disini, keterlibatan penyair dalam menafsirkan puisinya sangat penting. Ada indikasi yang lebih kuat. Sebagaimana kita ketahui, terlepas dari kontroversi apakah puisi yang memberi dan menghadirkan makna kepada pembacanya. Ataukah sebaliknya pembaca itu sendiri yang menyajikan makna terhadap sajak.
Di pihak lain apakah pembaca/penafsir harus semata-mata berhadapan dengan teks (puisi). Sebagai sesuatu yang telah utuh ataukah keterlibatan penyair menjadi penting. Walau bagaimanapun sebuah sajak terbuka untuk berbagai penafsiran selagi ia memberikan argumentasi atau alasan yang layak diterima.
Penyair melalui puisi-puisinya bukan hendak mengostruksikan persoalan linguistik, baik dari segi gramartikal maupun stilistika. Penyair seharusnya hanya peduli pada makna dari puisi yang dihasilkannya.
Perkara bahasa tidak perlu dipedulikan. Sebab, penyair telah didudukan secara “terhormat”. Memiliki keleluasaan untuk mengeksploitasi bahasa atas nama deviasi dan licentia poetica. Wahai penyair, teruslah berkarya dengan sepenuh jiwa.