Mungkinkah Mengganti Nama Indonesia?

Oleh: Asruddin P. Kurang lebih, setahun belaka­ngan, muncul sebuah ide untuk meng­ganti nama Indonesia menjadi Nusan­tara, penyebutan yang sejatinya sudah se­ring digunakan di zaman Majapahit. Arkand Bodhana Zeshaprajna, pria yang belasan tahun berguru­meta­fi­sika, adalah salah satu pencetusnya. Dok­tor lulusan University of Me­ta­phy­sics International Los Angeles, Ca­lifornia, Amerika Serikat ini tanpa te­deng aling-aling memberikan usulan agar nama Indonesia lebih baik di­ganti. Alasan­nya, bila nama Indonesia tetap diper­ta­hankan bakal meng­ha­silkan sebuah kehancuran di negeri ini. Menurut ilmu me­tafisika, Indone­sia akan hancur di tahun 2020 bila ma­sih mem­per­ta­han­kan nama Indonesia.

Selama ini, tidak sedikit juga yang me­ngatakan bahwasanya kata indon ber­konotasi merendahkan Indonesia. Se­cara etimologis, Indonesia berasal dari kata Indus (bahasa latin, artinya In­dia) dan nesos (bahasa yunani, ar­tinya pulau, kepulauan). Istilah ini per­tama kali diperkenalkan dalam tu­lisan etnolog Inggris, George Windsor Earl, 1850. Dengan istilah indune­sians, orang-orang yang tinggal di Ke­pulauan India. Murid Earl, James Richard­son Logan, kemudian mema­kai kata Indonesia dalam tulisannya, yang disusul banyak cendekiawan di Be­landa. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang sebelumnya di­perkenalkan oleh George Samuel Win­dsor Earl, seorang ahli etnologi bangsa Inggris. Oleh Logan, huruf u diganti­nya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik.

Maka lahirlah istilah Indonesia. Konon sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepu­lau­an ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah ter­lanjur akrab di Eropa. Abad ke-20, et­nolog jerman, Adolf Bastian (1826-1905), memasukan signifikan politik sehingga Indonesia bermakna sebagai identitas bangsa. Ditahun 1913, Suwardi Suryaningrat memakai “Indonesia” ketika mendirikan Biro Pers Indonesia di belanda, disusul sumpah pemuda 1928 dimana para pemuda mengukuhkannya sebagai identitas kebangsaan (Hargens 2014).

Alasan mengganti Indonesia

Menurut Arkand, alasan mengganti nama Indonesia karena nama mengan­dung ideasi dan energi, bukan sekadar kata atau kumpulan kata. Ilmu fisika me­nyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimus­nah­kan. Segala sesuatu di alam se­mesta ini memiliki energi, termasuk nama. Nama Indonesia dalam dunia me­tafisika tidak memberi energi yang po­sitif bagi bangsa ini. Dalam pan­dangan metafisika Arkand, nama Indo­nesia untuk penyebutan republik ini dinilai tidak tepat. Nama Indonesia hanya punya Synchronicity Value se­­besar 0.5. Synchronicity Value ada­lah paramater dalam Arkand secret code untuk menganalisa sebuah nama. Rentang Synchronicity Value be­rada di kisaran 0,05 hingga 1,0. Sedangkan Synchronicity Value yang positif berada di angka 0,8 hingga 1,0. Nama Indonesia hanya memiliki Syn­chronicity Value 0,5.

Paramater lain yang digunakan Ar­kand adalah Coherence Value, yang me­nunjukkan struktur kode-kode da­lam diri sendiri yang saling berkaitan satu dengan kode yang lainnya. Ren­tang Coherence Value berada di ki­saran 0,1 hingga 1,0. Sedangkan nilai positifnya di kisaran 0,7 hingga 1,0. Nah, Indonesia hanya me­miliki Coherence Value sebesar 0,2, yang menurutnya jauh dari bagus. Co­herence Value dalam kehidupan bisa dilihat dari cara seseorang atau ne­gara menguasai satu atau beberapa ke­ahlian. Semakin tinggi Coherence Va­lue tingkat penguasaan terhadap ke­ahlian semakin baik.

Dari paparan argumen di atas, Arkand sangat optimis, jika Indonesia berganti nama, nasib dan kehidu­pan bangsa bisa berubah, alias lebih baik dari sekarang. Namun benarkah ide metafisis penggantian nama terse­but, pada akhirnya bisa merubah kea­daan Indonesia seperti sekarang ini.

Harapan untuk Indonesia yang da­mai, sejahtera memang menjadi im­pian seluruh rakyat yang sudah tum­buh berpuluh-puluh tahun sejak kita mem­boyong nama Indonesia. Sampai saat ini, gerbang kemerdekaan yang sudah dilalui lebih dari setengah abad Indonesia telah memunculkan banyak ce­rita dan dinamika, suka dan sedih. Ber­bagai tantangan datang silih ber­ganti menerpa, mengkristaliasi se­ma­ngat segenap anak bangsa untuk me­ner­jemahkan arti me­ngisi kemer­de­kaan yang kini sudah berorientasi pada tan­­tangan menak­luk­kan “musuh dari dalam” yakni ke­mis­kinan, ketidakadi­lan, korupsi, kerakusan dan sebagai­nya.

Kita berada dalam pusaran moder­ni­sasi yang membawa implikasi kom­pleks bahkan eksesif dalam tatanan ke­hidupan berbangsa. Kebudayaan li­beral yang kerap berlawanan dengan jati diri bangsa masuk dengan leluasa dan menghipnotis anak bangsa, se­hing­ga memaksa mereka keluar dari cang­­kang kepribadian dirinya. Persai­ngan untuk menghadapi kompetisi di se­gala bidang dengan dunia luar ter­masuk di ASEAN memunculkan ke­kha­watiran selain optimisme, dengan ber­kaca pada eksistensi peluang yang ada dalam negara kita. Indonesia di­pre­diksi akan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2020-2030.

Di periode tersebut, Indonesia diperkirakan akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif dan kurang lebih 60 juta jiwa tidak produktif. Jika saat ini Indonesia tidak cepat mempersiapkan diri, di masa depan akan semakin kesulitan meng­ha­dapi kebutuhan pangan, kemiski­nan, kebutuhan tenaga kerja berkom­pe­ten, dan kesem­ra­wu­tan. Meng­ha­dir­kan SDM yang mumpuni, mampu mem­baca dan “berkelahi” dengan tanta­ngan, bukan hal mudah di tengah ke­ter­lenaan bangsa ini pada pemujaan gu­­nung mentalitas instan, konsum­ti­fis­me yang ikut memengaruhi daya saing nasional.

Patut Didiskusikan

Dengan pola kepemilikan ekonomi yang masih dikuasai sekelompok orang pemodal, kemampuan akses rak­yat akan kebutuhan kesehariannya menjadi tidak gampang. Di sisi lain, untuk mencapai apa yang diinginkan kerap harus dilewati menurut hukum Darwinisme, siapa kuat, dialah yang menang. Ini kian disokong oleh hukum yang masih mudah dipermainkan ka­rena ketiadaan integritas, wibawa dan m­o­ralitas.

Dengan narasi yang terpampang di atas, tak heran jika kemudian muncul bongkahan kerinduan segenap rakyat akan hadirnya negara yang benar-benar tangguh, sentosa dalam khidmat dan kemanusiaan yang menjulangkan asa kejayaan dari satu generasi ke ge­nerasi. Sebuah tonggak kerinduan yang akan kembali berpijar di tengah kita menapaki dan menyongsong bulan kemerdekaan yang tak lama lagi dirayakan.

Arkand, dan juga kita yang lain memang berharap ada sisi lain dari bangsa ini yang bisa digali untuk menyongsong masa depan yang lebih menjanjikan. Jika memang sebutan Nusantara sudah menyatu lama dalam haribaan bangsa kita, dan mampu menerbitkan spirit daya juang dan kebanggaan berbangsa, tak ada yang salah jika memang nama Indonesia mau diganti.

Apalagi dengan merujuk pada awal tulisan ini, bahwa nama Indonesia tidak lahir dari rahim sebutan bangsa ini.Sebagai wacanapembuka, ke depannya hal ini perlu kita diskusikan lebih serius, agar wacana mengganti nama Indonesia tidak sekadar ide futurologis emosional dan satire belaka, namun le­bih darinya sebagai upaya menautkan nasionalisme dan harapan bangsa ini pada sejarah otentik dan doa yang berdaraskan ketulusan sukma. ***

Penulis adalah peneliti

()

Baca Juga

Rekomendasi