Idola

Oleh: Yosep Rustandi

Sebel, sudah tentu. Serasa ditonjok dada. Bayangkan bila kejadiannya seperti ini....

Aku ini suka musik sejak sebelum sekolah. Kata Mama, malah sejak di dalam kandungan. Aku akan tenang, tidak banyak bergerak, bila diputar lagu-lagu pop. Lalu ketika sekolah TK, SD, SMP, dan SMA, aku biasa nyanyi di banyak acara. Kenaikan kelas, perayaan hari kemerdekaan, ulang tahun teman, rasanya tidak lengkap bila aku tidak tampil.

“Tompi... Tompi maju... To­mpi...!” teriak teman-teman bila dalam suatu acara aku belum menyumbangkan sebuah lagu.

Nah, tiba-tiba datang penyanyi dadakan itu. Dia tidak hanya terkenal di antara teman-temanku, orang-orang sekotaku, tapi sudah se-Indonesia. Kabarnya, dia sudah diundang ke panggung-panggung di Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi. Dia menjadi idola banyak ABG. Suaranya yang serak-berat banyak ditiru orang.

Teman-teman di kota kecilku tiba-tiba melupakanku. Hanya untuk menyapaku saja mereka sepertinya berat. Mereka lebih asyik membicarakan dan men­dengarkan lagu idola baru itu. Huh!

Namanya Dablo. Tidak bagus 'kan? Awalnya dia mendaftar di acara pencarian bakat sebuah televisi. Dablo pergi ke Bandung, bersaing dengan ribuan peserta lainnya. Kebetulan dia mendapat satu tiket ke Jakarta. Dia di­karantina, dilatih oleh penyanyi-penyanyi tenar. Agnes Mo, Rossa, Dhani Dewa 19, Anang, dan banyak penyanyi top lainnya yang melatih mereka. Dablo beruntung, dia mendapat apresiasi penonton sehingga menjadi jawara acara televisi itu. Di kotaku, nonton bareng acara finalnya digelar di mana-mana. Lebaynya, bupati pun ikut nonton bareng dan meminta seluruh stafnya mendukung Dablo dengan sms.

Idola baru pun lahir. Idola dadakan! Suaranya memang lu­mayan enak. Dia bisa menjangkau tingginya oktaf Judika, meniru seraknya Cakra Khan. Hapalan lagunya pun luar biasa. Lagu-lagu jadul dari Queen, Michael Jackson, Ahmad Albar, Iwan Fals, sampai penyanyi terkini seperti Linkin Park, Sam Smith, Coldplay, Thir­teen, Burgerkill; dia menguasainya. Tambahan lainnya, dia mulai menciptakan lagu. Salah satu hitsnya, Inilah Aku, dia tulis sendiri lirik dan aransemennya.

Menyakitkannya, karena dia satu kota denganku. Dia telah mencuri ketenaranku, mencuri perhatian teman-temanku. Sudah lama sebenarnya aku ingin men­datangi rumahnya. Ingin tahu, bagaimana sih sebenarnya pe­nyanyi idola itu. Siapa tahu dia hanya dibesarkan media untuk keperluan bisnis semata. Modalnya tampan dan hoki saja. Padahal kemampuan menyanyinya jong­kok.

Sudah lima kali aku mendatangi rumahnya, tapi dia tak pernah ada. Kunjungan pertama dan kedua, kata ibunya dia sedang manggung di Jakarta. Kunjungan ketiga dan keempat sedang kursus gitar dan vokal. Kunjungan terakhir sedang resital di tempat kursus gitar.

“Tinggalkan nomor telepon saja, Dik,” kata ibunya. “Biar nanti kalau Dablo ada di sini, dia bisa meng­hubungimu. Kasihan, sudah ber­kali-kali kamu datang tapi tak pernah bertemu. Teman-temanmu yang lain itu, tahu Dablo sedang di sini atau tidak?”

Aku pun memberikan nomor telepon. Tapi rasanya percuma. Sepertinya itu semua hanya san­diwara saja. Aku menduga, Dablo tak sehebat yang diberitakan televisi, koran dan majalah. Tapi malam Minggu itu handphone-ku berdering.

“Hallo,” kataku.

“Ini Rama, ya?”

“Iya, kamu siapa?”

“Aku Dablo. Aku baru datang nih dari Padang. Besok ditunggu di rumahku ya?”

Aku terkejut. Jawaban “iya” saja sepertinya tidak begitu terdengar.

Besoknya pukul sembilan pagi aku ke rumah Dablo. Tapi Dablo tidak ada. Dia sedang lari pagi.

“Tunggu saja sebentar,” kata ibunya. “Biasanya kalau Dablo ada di sini, teman-temannya pada datang. Tapi kali ini tidak ada yang dikasih tahu. Kecuali kamu, karena kamu selalu ke sini tapi tak pernah bertemu. Tadi Dablo sudah pesan, bila kamu datang diminta me­nunggu.”

Setengah jam aku menunggu. Melihat foto-foto Dablo saat manggung, berfoto bersama pe­nyanyi-penyanyi top tanah air, piagam penghargaan yang meng­hiasi dinding ruang tamu, dan susunan piala di lemari.

Ketika Dablo datang dia tidak tahu aku sudah menunggu. Dia berlatih pernafasan di halaman. Ketika aku keluar rumah, baru dia memandangku. Dia menghampiri dan menjabat tanganku.

“Sori menunggu,” katanya. “Setiap pulang, aku tidak menyia-nyiakan untuk jogging, berlatih pernafasan, dan istirahat. Mari masuk, kita ngobrol di dalam.”

Sejak memenangkan acara pencarian bakat di televisi itu karir Dablo terus naik. Undangan manggung selalu datang setiap minggunya. Tapi siapa yang sangka audisi yang membawa ketenaran­nya itu audisi yang ketiga­puluh lima.

“Audisi kesatu sampai ke­tigapuluhempatku, jeblok se­muanya,” kenangnya. ”Tapi aku tidak kapok. Aku terus berlatih. Kursus vokal, kursus alat musik, olahraga untuk menjaga kebugaran, dan mengikuti berbagai audisi dan perlombaan. Berlatih dan olahraga adalah kerja kerasku. Audisi dan perlombaan adalah jalan ke­beruntungan bagiku.”

Dan yang mengejutkan, Dablo tahu siapa aku.

“Aku beberapa kali melihat kamu nyanyi. Kamu punya bakat yang besar,” katanya. Hidungku tiba-tiba mengembang. ”Sayang­nya, bukan saja tidak memajukan bakat, kamu tidak memelihara bakatmu.”

“Tahu dari mana?”

“Kamu tak berusaha berlatih menyanyi yang benar. Suaramu pas-pasan. Kamu tak menjaga kebugaran agar suaramu prima. Apalagi mencari jalan agar bakat yang sudah terasah itu menemukan keberuntungannya sendiri. Kamu sudah merasa puas sebagai pe­nyanyi panggung perayaan ke­merdekaan di RT-RW, panggung kenaikan kelas, atau menyumbang di ulang tahun teman.”

Sebenarnya aku ingin marah. Sok tahu dia. Tapi setiap aku renungkan, kebenarannya semakin banyak. Aku yang salah melihat idola selama ini. Idola itu bukan gaya santainya di televisi, atau memukaunya di panggung-pang­gung. Tapi kerja keras dan mental kuat di belakangnya itu.

Diam-diam aku mengidolakan Dablo.

* Februari 2016

* Alamat penulis: Jl. Dr. Setiabudhi  No. 24/170C Km 10,2 Bandung 40254

()

Baca Juga

Rekomendasi