Gedung DPRD Medan, Konsep Analogi Rumah Rakyat

Boy Brahmawanta Sembiring, ST., MT., IAI., AA.
Arsitek

Oleh: Syafitri Tambunan

LEGISLATOR perlu tempat khusus agar dapat menerima aspirasi setiap masyarakat. Tempat itu sering disebut 'Gedung Dewan' atau 'Rumah Rakyat', seperti Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang ada di Kota Medan.

Kelompok masyarakat tak pernah lupa ‘singgah’ ke sini ketika unjuk rasa. Makanya, gedung ini lebih sering ‘dikunjung’ dibandingkan bangunan pemerintahan semisal kantor walikota/bupati atau kepresidenan. Sebab, hubungan antara rakyat dengan wakilnya memang tidak bisa terputus.

Kata ‘Medan' sendiri berarti ‘arena’ atau ‘area’ melakukan banyak hal. Karena itu, arsitektur bangu­nan ini sebenarnya berkonsep seperti itu, namun diterjemahkan secara analogi. Konsep analogi yang digunakan arsiteknya memuat pesan bahwa gedung ini berada di arena yang banyak dikunjungi orang-orang. Sesuai dengan identitas legislatif dan ciri Me­dan itu.

Bangunan  baru telah didirikan setelah peruntuhan ge­dung lama yang perencanaannya sekitar tahun 2011. Tim arsitek lain juga turut menggodok konsep yang di usung, di antaranya,  Boy Brahmawanta Sem­biring, ST, MT, IAI, AA, Rahmadoni IAI; DR Bambang Karsono IAI, Taufik Mustafa IAI. Merekalah yang turut menggodok konsep yang di­usung.

 Salah satu ahli bidang arsitektur, Boy Brahma­wanta Sembiring, ST, MT, IAI, AA, kepada Analisa, membeberkan mengapa bentuk gedung itu berbeda dibanding lainnya.

"Medan itu kan artinya area atau arena orang melakukan banyak hal. Kota Medan ini juga  multi­kultural, terdiri dari banyak suku, budaya, agama, dibandingkan tempat-tempat lain. Itulah konsep dasar sang arsitek. Saat itu, saya jadi principal arsiteknya dan berapa teman, yang juga ikut  memikirkannya," ujarnya saat dijumpai di kantornya PT Brahmawanta Arsitek Tim.

Lokasi Gedung DPRD Medan, persis menghadap Kantor Walikota Medan. Kedua bangunan ini erat dengan kebutuhan rakyat. Makanya, banyak yang merasa bangunan ini sangat penting, mulai dari fungsi bahkan bentuknya. “Gedung dewan dianggap sebagai ‘rumah rakyat’, bukan ‘rumah dewan’. Itu konsep awalnya,” ungkapnya.

Bentuk lengkungan di fisik bangunan, diakui sangat kontras dengan Kantor Walikota Medan. "Bangu­nan ini berbentuk melengkung juga merespon area di sekitarnya. Dia ‘rumah dewan’, agar orang yang menyampaikan aspirasi bisa nyaman. Anggota dewan dapat melihat aspirasi langsung dari atas. Kalau Gedung walikota kan kaku, bersudut, sebab kepemimpinannya tegas kepada jajarannya. Sedang­kan dewan kan harus wellcome (menerima)," ujarnya.

Bangunan tersebut juga dibuat sebagai common area (area publik). “Bisa tempat bermain, duduk-duduk, bahkan taman kota. Makanya, (saat didesain secara arsitektur), saya tidak pernah berpikir membuat pagar," sebutnya.

Memunculkan Identitas

Menurut beberapa masyarakat awam, bentuk arsi­tektur gedung di Jalan Kapten Maulana Lubis Medan itu terlalu berlawanan dengan identitas Kota Medan. Banyak anggapan tidak mencerminkan arsitektur nusantara jika melihat perbedaan bentuknya. Yang paling menonjol dari keseluruhan bangunan ini salah satunya konsep lekukannya.

Hal-hal anggapan masyarakat awam tersebut dijelas­kannya, memiliki jawaban sendiri. “(konsep Nusantara) Tidak mesti diterjemahkan harus berupa ukiran-ukiran dan sebagainya, bukan begitu. Itu terse­rah si arsitek mau menerjemahkan seperti apa. Ben­tuknya (dikonsep) di zaman sekarang sesuai abadnya. Agar ketahuan bahwa bangunan ini tidak dibuat di zaman dulu, tapi di masa sekarang," jawabnya.

Dalam konsep sebenarnya ada secondary skin (lapisan kedua) yang berbentuk pola songket Melayu. “Ini berfungsi mengurangi panas dalam dari cahaya matahari ke bangunan,” katanya.

Saat dipekerjakan konsultan gedung ini, dia dan rekan tim butuh waktu hingga sampai kepada hasil maksimal. "Saya dihire konsultan sebagai ahli arsitek­tur saja. Awalnya, cari data-data, diriset dan dipikirkan secara ilmiah juga imajinasi bermain. Butuh beberapa bulan,” sebutnya.

Sebelum memulai sketsa, pemegang sertifikat Asean Architect ini  mencari data-data lain. "Hal pertama yang dipikirkan adalah bagaimana identitas multietnis dan konsep arena itu muncul sebagai Medan yang sebenarnya. Multietnis Medan diterjemah­kan dalam kerangka moderen," katanya.

Garis Sempadan

Juga tentang lingkungan tempat gedung ini berada, yang bersebelahan dengan sungai. "Sebelum kita merencanakan, tentu perlu minta data. Ada namanya Garis Sempadan Sungai (GSS). Data itu dari Balai Wilayah Sungai (BWS), didapati struktural bangunan minimal 15 meter dari pinggir sungai. Untuk taman, pedestrian, jalur mobil, itu tidak masalah, selama konteksnya berpagar dan aman,” tuturnya.

Jarak bangunan dengan sungai sudah sesuai  keten­tuan. "Saat ini, jarak sungai dengan pedestrian atau jalur mobil sekitar 12 meter. Sedangkan dengan ja­rak sungai dengan bangunan inti sekitar 20 meter. Artinya, sudah lebih dari 15 meter,” ungkapnya.

'Cum-Laude' Sarjana Departemen Arsitektur Ins­titut Teknologi Adityawarman Bandung dan Magister Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menceritakan telah ada perencanaan yang lebih matang terkait gedung ini. “Basement di bawah itu bisa sampai dua lantai kan parkirnya? Itu rencananya agar bisa terkoneksi ke kantor walikota,” ungkap sambil menam­bahkan ada ahli berbeda untuk  penanganan lain seperti interior atau konstruksi.

Bangunannya dan penghuni (wakil rakyat) pun harus fleksibel dan wellcome (menerima) terhadap kehadiran masyarakat. Legislator yang memberikan kritik atau sebaliknya mendukung kebijakan peme­rintah. Dewan juga bergerak dinamis, agar masalah rakyat segera tersampaikan dan terselesaikan.

Gedung ini wellcome dalam arti mempersilahkan siapa saja, tidak kaku, namun tetap beridentitas Me­dan. Makna filosofis tersebut teranalogikan dalam bentuk bangunan dengan konsep masa kini.

Dia berharap, orang-orang luar Medan bisa datang ke sini. “Artinya, gedung parlemennya itu ‘Well­come’. Pengunjung pun bisa foto-foto,” ujar Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatera Utara periode 2016-2019 ini.

(Analisa/irfan batubara) BAGIAN DALAM:  Salah satu tampilan bagian dalam Gedung DPRD Medan.

(Analisa/irfan batubara) BAGIAN DALAM: Salah satu tampilan bagian dalam Gedung DPRD Medan.

(Analisa/irfan batubara) AREA PUBLIK: Tampilan taman dilihat dari atas. Taman ini awalnya didesain tanpa pagar agar bisa menjadi salah satu area publik.

(Analisa/irfan batubara) AREA PUBLIK: Tampilan taman dilihat dari atas. Taman ini awalnya didesain tanpa pagar agar bisa menjadi salah satu area publik.

(Analisa/syafitri tambunan) BENTUK MELEKUK: Gedung DPRD Medan yang berbentuk melekuk. Konsep ini diartikan sebagai wujud ketidakkakuan para anggota dewan.

(Analisa/syafitri tambunan) BENTUK MELEKUK: Gedung DPRD Medan yang berbentuk melekuk. Konsep ini diartikan sebagai wujud ketidakkakuan para anggota dewan.

(Analisa/syafitri tambunan) KANTOR WALIKOTA: Kantor Walikota Medan dengan bentuk kaku dan banyak sudut. Konsep ini mengartikan ketegasan kepemimpinan walikota kepada jajarannya.

(Analisa/syafitri tambunan) KANTOR WALIKOTA: Kantor Walikota Medan dengan bentuk kaku dan banyak sudut. Konsep ini mengartikan ketegasan kepemimpinan walikota kepada jajarannya.

(Analisa/internet) GEDUNG DPR: Gedung DPR RI di Jakarta memiliki konsep analogi salah satunya anak tangga yang langsung mengarah ke ruang kerja dewan.

(Analisa/internet) GEDUNG DPR: Gedung DPR RI di Jakarta memiliki konsep analogi salah satunya anak tangga yang langsung mengarah ke ruang kerja dewan.

(Analisa/internet) ANALOGI GELOMBANG: Bangunan karya Frank Lloyd Wright yakni Museum Guggenheim. Bangunan ini secara analogi mirip gelombang air yang berputar-putar.

(Analisa/internet) ANALOGI GELOMBANG: Bangunan karya Frank Lloyd Wright yakni Museum Guggenheim. Bangunan ini secara analogi mirip gelombang air yang berputar-putar.

()

Baca Juga

Rekomendasi