Penyebab Malam Tampak Gelap Gulita

KADANG-kadang, pertanya­an yang paling se­der­hana dalam astronomi justru sulit untuk dijawab, mi­sal­nya, “Mengapa langit pada malam hari itu tampak gelap?”

Ini adalah pertanyaan yang sa­ngat sederhana dan mungkin hanya anak kecil yang menanya­kan­nya. Sementara orang tua mung­­kin akan menganggapnya se­bagai hal yang tidak penting.

Tapi kosmolog Edward Har­rison justru menghabiskan puluhan ta­hun waktunya untuk mempe­la­jari hal sepele ini. Dalam bukunya “Dar­kness at Night”, Harrison me­nuliskan, “Saya sering bertanya da­lam hati, mengapa alam semesta tidak dipenuhi dengan cahaya? Dan meskipun setelah meme­cah­kan hal ini, tapi saya tetap mere­nung­­kannya, saya tersentuh oleh kekuatan serta kegaiban alam.”

Lebih dari satu abad lalu, para il­muwan telah menjelaskan me­nga­pa langit itu biru, sementara per­tanyaan tentang mengapa la­ngit di malam hari itu gelap yang sekilas tampak lebih sepele ini, ba­ru mendapatkan jawaban yang relatif rasional sampai pada abad ke-20.

Menurut teori cahaya: Cahaya dari bintang lain terlalu lemah.

Jawaban atas pertanyaan sepele itu sekilas tampak jelas di depan mata, karena matahari terbenam. Tapi berdasarkan pengetahuan yang dikenal, jika alam semesta itu tak terbatas, dan dipenuhi de­ngan bintang-bintang yang tak ter­hitung jumlahnya, bukankah ma­lam hari itu seharusnya sama te­rang­nya seperti pada siang hari? Kontradiksi antara observasi dan teori ini dikenal sebagai “Paradoks Olber.”

Wilhelm Olbers adalah seo­rang dokter dan astronom Jerman abad ke-19. Ia suka mengamati langit, men­­cari komet, dan akhir­nya me­ne­­mukan dua asteroid. Pada 1823, Obers menulis sebuah makalah kos­mologi.

Coba bayangkan, jika bintang-bin­tang itu tersebar secara merata di alam semesta, maka bintang-bin­tang yang lebih dekat jaraknya dari bumi, tentu saja tampak terlihat be­sar, tetapi jumlah bintang-bin­tang yang jauh juga akan ba­nyak.

Olbers berusaha mencoba untuk membuktikan, meskipun bintang-bintang di kejauhan yang jumlah­nya banyak itu relatif kecil dalam “ska­la visual,” namun, di medan peng­lihatan manusia, bintang-bin­tang itu masih menyelimuti sege­nap angkasa. Dan jika alam semesta tak terbatas, itu berarti langit dipe­nuhi dengan gemerlapan bintang-bin­tang yang tak terhitung jumlah­nya, jadi, langit pada malam hari itu seharusnya terang sama seperti di siang hari.

Namun jelas sebagaimana yang dijelaskan Olber, bahwa alam tidak mengatur hal-hal seperti ini. Bumi tidak diselimuti dalam cahaya bin­tang yang menyilaukan mata, ka­rena jika tidak orang tidak akan bisa melihat bintang-bintang di langit, dan hanya dapat menyim­pul­kan keberadaan matahari me­lalui pengamatan bintik (matahari), se­mentara bulan dan pla­net itu tak lebih dari bintik gelap yang berge­rak di balik kece­ra­hannya. Lalu di­mana sebenarnya cahaya dari bin­tang-bintang ini?

Makalah Olbers tidak menarik perhatian luas ketika itu, sehingga misteri langit malam yang gelap gulita itu juga tak ada yang peduli. Sam­pai tahun 1576, seorang as­tro­nom Inggris bernama Thomas Diggers mencoba menjelaskan terkait me­ngapa malam hari tidak diterangi oleh cahaya bintang dari lampiran sebuah buku yang ditulis ayahnya.

Materi dari buku tersebut me­ngenai sistem kosmik yang men­jadikan bumi sebagai pusatnya, na­mun, menurut astronom Co­per­nicus bahwa bintang-bintang ter­se­bar di angkasa. Bintang-bintang di langit yang tak berujung meman­car­kan cahaya yang tak terbatas. T­api mereka (cahaya-bintang) sa­ling menghalangi satu sama lain dan jarak mereka juga sangat jauh, sehingga pancaran cahaya semakin lemah, karena itu­lah, malam hari yang orang saksikan sekarang baru begitu gelap.

Teori Jarak

Bintang-bintang pada jarak tertentu, yaitu pada batas horizon, tidak bisa dilihat karena cahaya yang mereka pancarkan tidak per­nah sampai ke Bumi.

Selain memiliki umur, karakter alam semesta adalah mengembang (Hukum Hubble). Horizon adalah lo­kasi tarjauh yang bisa orang ama­ti. Bintang di belakang horizon ti­dak akan pernah bisa diamati, ka­rena kecepatan cahaya tidak sang­gup melintasi jarak Bumi-bintang yang terus bertambah karena Hu­kum Hubble tadi.

Inilah solusi terhadap Paradoks Ol­ber menurut pemahaman kos­mo­logi modern. Solusi ini pernah di­tuliskan oleh Edgar Allan Poe, seorang sastrawan Amerika, lewat esainya “Eureka:A Prose Poem.”

Seseorang mungkin akan men­duga, bahwa semakin jauh sebuah bin­tang akan tampak semakin re­dup. Ini memang benar, tapi ini juga tidak bisa menjadi jawaban. Jika kita memandangi sebagian la­ngit malam, bintang-bintang yang ekstrim jauh memang redup, tapi semakin anda melihat semakin ada banyak bintang.

Dua efek ini tidak akan berlaku di alam semesta seragam, meng­ha­silkan langit malam berwarna putih (hal ini dikarenakan intensitas ca­haya bintang ber­kurang setiap kuadrat jarak, sementara fakta me­nunjukkan jumlah bintang ber­tam­bah setiap kuadrat jarak).

Pada tahun 1901, mate­ma­ti­ka­wan dan fisikawan Skotlandia, Lord Kelvin menerangkan secara kuantisasi atas penjelasan Edgar Allan Poe. Dengan perhitu­ngan se­cara konkret, Kelvin me­nyata­kan, bahwa jika ingin langit malam itu menjadi terang, setidaknya kita dapat melihat dalam rentang ratu­san juta tahun cahaya jauhnya.

Karena usia alam semesta saat ini kurang dari 1 triliun tahun, se­hingga langit malam itu gelap. Hal ini memungkinkan lebih banyak il­muwan percaya bahwa inter­pre­tasi Allan Poe paling mendekati kebenaran.

Allan Poe dan Lord Kelvin me­nya­dari bahwa alam semesta yang bisa dilihat para astronom itu tak lebih dari “bentuk alam semesta masa lalu” bukan “bentuk alam se­mes­ta seperti sekarang.”

Mengakui

Menurut Harrison, bahwa keya­ki­nan beragama telah menunda solusi “Paradok Olber”. Ditilik dari ting­kat tertentu, orang-orang telah me­ngakui akan pentingnya kece­patan cahaya, tapi kontradiksi se­sung­guhnya itu bersumber dari pan­dangan alam semesta yang telah ber­urat berakar, karena ini ber­kai­tan dengan usia alam semesta.

Pada 1964 silam, kosmolog Edward Harrison kembali membuat penjelasan tepat lainnya tentang “Paradok Olber” : Energi yang di­miliki alam semesta itu sendiri ter­lalu lemah.” Harrison mencoba meng­hitung energi yang dibu­tuh­kan bintang-bintang yang tak ter­hi­tung jumlahnya itu untuk mene­rangi langit malam.

“Awalnya, hasil perhitungan saya tidak bisa membuat orang un­tuk percaya, tapi tak lama kemudian hal itu pun seketika menjadi jelas, orang selalu mengikuti perspektif yang keliru pada seluruh masalah,” katanya.

Hasil perhitungan Harrison me­nun­jukkan, bahwa untuk mene­ra­ngi langit malam, maka energi di­butuh­kan alam semesta teramati itu adalah 1 triliun kali dari energi se­karang-lu­minositas setiap bin­tang mesti me­ningkat 1 triliun kali. Atau jumlah bin­tang harus ber­tam­bah 1 triliun kali.

Selain itu, bintang juga tidak bisa langgeng, meski alam semesta itu tak terbatas, langit malam tetap saja gelap, karena bintang-bintang pasti akan mati. Seperti matahari, bintang-bintang terus mengubah massa-nya menjadi energi melalui reaksi nuklir.

Jangan berharap pada bintang lainnya, meskipun segenap massa di alam semesta itu diubah menjadi energi, malam hari juga tidak akan se­terang malam yang memiliki ca­haya bulan.

Jadi, pertanyaannya sekarang me­­miliki “asuransi ganda” atas ja­wa­ban terkait, yakni alam semesta ma­­sih terlalu muda, dan tidak me­mi­liki energi yang cukup. Mene­ra­ngi segenap isi alam semesta ibarat se­perti menggunakan sebatang lilin dan menghabiskan waktu satu jam untuk memanaskan sebuah rumah. Satu jam terlalu pendek, meski masih dapat menunggu lebih lama sekalipun, tapi lilin itu sudah habis terbakar sebelum menyelesaikan pekerjaan.

Namun, sampai pada 1987, jajak pendapat menunjukkan bahwa hanya 30% dari buku-buku as­tro­nomi dapat menerima secara positif penj­elasan yang secara relatif benar ini. Jika seseorang juga menerima penjelasan Harrison ini, kemudian menyimpulkannya lebih lanjut ber­dasarkan teori ini, maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah bah­wa langit yang disaksikan mungkin akan semakin gelap. (Secretchina/ebn/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi