Oleh: Pardison Yurlius
Menurut Wikipedia, Kearifan Lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.
Dapat juga disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalaui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan yang panjang, sepanjang keberdaan masyarakat tersebut.
Dalam hal menjaga kelestarian lingkungan hidup, sebenarnya sejak zaman dahulu nenek moyang kita telah melakukan pelestarian lingkungan dan diturunkan sampai sekarang dari generasi ke generasi. Sejak dahulu, nenek moyang kita telah menurunkan pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah yang biasanya diturunkan dari generasi ke ke generasi. Jadi, kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Kearifan loka ini sudah diuji selama ratusan tahun oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia.
Dalam beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya.
Beberapa Kearifan Lokal Indonesia
1. Di Jawa
Pranoto Mongso. Di Pulau Jawa ada yang disebut pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam.Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.
Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
Keramat
Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya di dekat pohon tersebut ada sumber air.
2. Di Sulawesi
Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan.
Agar tetap terjaga, Dewan Adat Karampuang sebagai simbol penguasa tradisional, sepakat untuk mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka (Muh Basir Said Dan Ummanah dalam Suhartini, 2007).
Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan seorang galla (pelaksana harian pemeritahan adat tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat paska turun sawah (mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai sutu bentuk ketetapan bersama dan semua warga komunitas adat karampuang harus mematuhinya.
Contoh kearifan tradisional dalam bentuk larangan (Muh Basir Said dan Ummanah dalam Suhartini, 2007) adalah : * Aja’ muwababa huna nareko depa na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke artinya “jangan memukul tandang buah enau pada saat dewan adatbelum bangun, jangan pula memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masukkandangnya” = “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari”.
Hal tersebut merupakan imbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
Contoh Kearifan Tradisional dalam bentuk sanksi :Narekko engka pugauki ripasalaiartinya Jika ada yang melakukannya akan dikutuk = jika melanggar akan dikenakan sanksi adat. Maksud dari ungkapan tersebut adalah jika ada warga komunitas adat Karampuang yang melakukan pelanggaran atau tidak mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan ajakan dan larangan yang difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar kecilnya sanksi tergantung dari pelanggarannya.
3. Di Baduy Dalam
Menurut Gunggung Senoaji dalam Suhartini (2007), masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy.
Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini, penguatan modal sosial, seperti pranata sosialbudaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama.
Seperti kita ketahui adanya krisis ekonomi dewasa ini, masyarakat yang hidup dengan menggantungkan alam dan mampu menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dengan kearifan lokal yang dimiliki dan dilakukan tidak begitu merasakan adanya krisis ekonomi, atau pun tidak merasa terpukul seperti halnya masyarakat yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh kehidupan modern. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya. Berkembangnya kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor yang akan mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungannya.