Bertutur Santun, Berbudi Luhur

Oleh: Hidayat Banjar

TULISAN ini berjudul Bertutur Santun, Berbudi Luhur ber­titik tolak dari nilai rasa santun lebih kepada ujaran. Me­mang kata santun juga mengandung pengertian perbua­tan, si­kap dan hal-hal fisik lainnya (kesantunan - kata sifat). Pada tu­lisan ini kata santun diposisikan kepada berbahasa (bertutur).

Sedangkan luhur, meskipun juga mengan­dung pengertian non-fisik (ujaran), nilai rasanya lebih kepada perbuatan (tindakan). Justru itu kita lebih menilih santun sebagai ujaran dan luhur sebagai perbuatan (budi).

Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Memahami Bahasa Agama” (Mizan, Mei 2011) mengemukakan: Hermeneutika ada­lah ilmu penafsiran teks, yaitu penyelidikan tentang makna sebuah teks. Penafsiran hermeneutik bukan berarti pencarian ‘makna tunggal’, melainkan segala kemungkinan makna yang disediakan oleh sebuah teks (halaman 21).

Bertitik tolah dari hal itulah kita memper­sepsikan ke­santunan bertutur, berujung pada budi yang lulur. Santun menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonedia): 1. Halus dan baik (budi bahasa, tingkah lakunya); sabar dan tentang; sopan. 2. Penuh rasa belas kasihan; suka menolong.

Sedangkan luhur bermakna: tinggi, mulia: demi cita-cita yang -- , kami bersedia mengor­bankan jiwa dan raga. Jadi me­luhurkan/menganggap (memandang dan sebagainya) lu­hur; memuliakan; menghormati. Keluhuran/kemuliaan; kebesaran; ~ jiwa kemuliaan atau kebesaran jiwa: ~ jiwa seseorang dapat diketahui dari tingkah lakunya.

Leluhur

Kata leluhur berasal dari luhur, yang artinya nenek moyang (yang diluhurkan), bibit buwit, cikal bakal, kakek moyang, nenek moyang, karuhun, onyang, pendahulu, pitarah, poyang; sumber. Begitu juga dengan kata tetua berasal dari kata tua. Tetua untuk menyatakan orang (komunitas) yang dituakan, yang dihormati, bersinonim juga dengan leluhur.

Leluhur atau nenek moyang merupakan nama yang normalnya dikaitkan pada orang tua maupun orang tua leluhur (seperti kakek nenek, canggah, dan seterusnya). Jadi luhur le­bih dengan dengan perbuatan (sifat).

Menurut teori evolusi, spesies yang memi­liki leluhur yang sama disebut sebagai turunan bersama. Beberapa budaya me­la­kukan peng­hor­matan tinggi pada leluhur yang hidup dan telah meninggal.

Penghormatan Leluhur pada budaya Tiong­kok dilakukan ang­gota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut me­rupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persa­tuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan. Menun­jukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat Tiongkok. Dasar pe­mi­kirannya adalah kesalehan anak yang ditekankan oleh Kong Hu Cu.

Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu menga­sihi orang tua. Dipercaya bahwa meskipun orang ter­kasih telah mening­gal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung. Yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Penger­tian­nya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mem­pe­nga­ruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.

Menjadi Harmonis

Konfusius mengajarkan pentingnya mema­hami serta me­lak­sanakan Lima Etika (Wu Lun). Lima Etika merupakan atur­an dalam berinteraksi agar kehidupan masyarakat menjadi har­monis. Kelima hubungan tersebut adalah: 1. Antara pemim­pin dan rakyat, 2. Antara ayah dan putra, 3. Antara suami dan istri, 4. Antara kakak dan adik, 5. Antara yang lebih tua dan yang lebih muda.

Semenjak masa hidup Konfusius hingga abad ke-20, kema­tian orang tua secara umum memiliki arti bahwa anak-anak mereka akan berkabung selama tiga tahun. Masa tiga tahun tersebut melambangkan tiga tahun pertama pada kehidupan anak-anak saat mereka dirawat dan dicintai secara penuh oleh orang tua mereka.

Praktik perkabungan tersebut termasuk mengenakan baju goni, tidak mencukur rambut, makan bubur dua kali sehari, ting­gal dalam gubuk berkabung yang didirikan di samping rumah. Dikisahkan bahwa setelah kematian Konfusius, para muridnya melaku­kan periode tiga tahun perkabungan ini untuk menunjukkan komitmen mereka pada ajaran­nya.

Berbudi luhur pada prinsipnya untuk meng­hormati leluhur. Implementasinya bagaimana kita bersikap dan berkata-kata. Perbuatan dan kata-kata bagai dua mata koin uang logam yang tak terpisahkan. Kata-kata telah menjadi bagian integaral dari hidup manusia semenjak dahulu kala. Kata-kata (bahasa) ber­evolusi sebagai sarana bereks­presi, dan karenanya mencer­min­kan aspek-aspek sosial, ekonomi, lingkungaan, agama, dan lainnya yang berhubungaan dengan manusia.

Dengan demikian, kata-kata adalah cara untuk meng­eks­presikan berbagai emosi dan perasaan. Proses ini, memiliki efek besar dan juga keajaiban dalam mencapai kedamaian otak. Ketika orang mendengarkan kata-kata indah, bagian dari otak, yang disebut striatum ventral rilis dopamin, membuat pengalaman menyenangkan. Kata-kata yang indah memi­liki efek menanangkan pikiran.

Mendengarkan kata-kata yang indah, nasihat yang tak menggurui, mengangkat mood seseorang. Hal ini juga mem­berikan energi bagi orang yang lelah. Kata-kata yang indah dapat menenangkan saraf.

Dua Golongan

Kata-kata terbagi dua golongan, yang baik (indah) atau ter­pu­ji dan tercela. Menuduh seseorang sebagai tersangka korupsi akan menjadi ujaran terpuji jika memiliki bukti. Ujar­an tersebut akan membuat pengujar sehat dan yang mendengar (membaca) ujaran juga sehat karena tercerahkan. Begitu pula sebalik­nya, ujaran akan jadi tercela karena tanpa bukti atau bukti yang dibuat-buat. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan?

Jika sangkaan jadi fitnah, maka ujaran tersebut adalah api yang menghanguskan. Bila tuduhan memiliki bukti, ujaran menjadi air (embun) yang menyejukkan negeri ini. Orang yang melontarkan kata-kata terpuji secara psikis, dirinya akan merasa nyaman dan sejuk, begitu pula orang yang mende­ngar­kannya. Ujaran terpuji juga dapat menumbuhkan daya-daya positif yang ada dalam tubuh manusia dan lingkungan sekitarnya. Secara fisik, tubuh akan merasa lebih rileks karena darah dapat mengalir dengan lancar serta jantung berdetak dengan teratur.

Ya, marilah senantiasa melontarkan kata-kata bergizi agar diri, lingkungan dan masya­rakat sehat lahir dan batin. Berujar sehat menuju negeri yang sehat. Semoga. ***

Penulis adalah Pengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Penulisan Ilmiah di STAB (Sekolah Tinggi Agama Buddha) Bodhi Dharma Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi