HUJAN BELUM HENTI
Ayu Sundari Lestari
Hujan belum henti
menyanyikan ratapan hati
karena kangen tak pernah menepi
begitu juga dengan penantian yang terpaku abadi
membuat jalan menjadi sepi
Dunia KOMA, Februari 2016
HATI YANG MENUJUMU
Ayu Sundari Lestari
Percayalah hatiku adalah jalan menujumu
jalan yang rimbun rerinduan
jalan yang tanahnya basah, sebasah hujan yang luruh
di sini (hati) hanya ada namamu yang tertulis kekal.
Dunia KOMA, Februari 2016
BERLAYAR
Ayu Sundari Lestarii
Kapalku berlayar di atas lautan lepas nan biru
sebiru warna sweeter usangku
setenang birunya langit
pelayaran yang membawaku menemukanmu
wahai lelaki pecinta hujan, lelaki yang mebuat jantungku berdebar
Dunia KOMA, Februari 2016
KANGEN?
Ayu Sundari Lestari
Kangen? Bukankah kangen itu ikhwal jarak yang menjajah temu kita
Jarak yang meluruhkan tanya
Jarak yang menenun sabar di penantian senja
penantian kabar yang membuat jantung berdebar
berdebar kencang
sekencang gemuruh angin
Dunia KOMA, Februari 2106
AMBIL IMPIANMU!
Iis Aprianti
Mengejar impian tidaklah semudah
mengedipkan mata,
karenanya, jangan pernah cengeng
karena hatimu yang luka, galau, hambar, dan terkatung-katung
andai dia yang di seberang sana tidak mengerti kegelisahanmu
biarkan saja
Serambi Kompak, Maret 2015
PERCAYALAH
Iis Aprianti
Hampir tak ada bahasa
yang bisa kutitip pada lembayung senja
siapa yang akan percaya
pada mawar yang sendiri tanpa kumbang menemani
Serambi Kompak, Maret 2015
TENTANG MALAM ITU
Iis Aprianti
Dingin ini menggigit
mengingatkanku pada tangis
yang sempat tertumpah dalam diam
dingin ini menusuk sampai ke sumsum
ke dalam memori di bawah temaram purnama
Serambi Kompak, Maret 2015
JEJAK KA'BAH
Ardani
Aku kunjungi
rumah berpintu rindu
sudah lama rindu ini
terpendam dalam kalbu
rumah anak Adam dan Hawa
ZAMAN DIGITAL
Ardani
Jarak dan waktu
kini tak bersekat
inilah peradaban baru manusia
zaman digital
manusia banjir informasi
apa yang tertinggal dari manusia
instiusi itulah keabadian kita
PARADOK
Ardani
Jiwaku terguncang
tak ada kata seirama
antara kata dan perbuatan
semuanya berubah warna
tak ada lagi putih dan hitam
yang ada abu-abu
semua tampil paradok
MENUNGGU
Ardani
Menunggu godot semuanya
ibu, ayah dan anak
rumah-rumah kumuh
dibantaran rel kereta api
dirobohkan
ada pembangunan yang besar
transportasi cepat
yang melesat
HUJAN
Satria Dwi Saputro
Melihat langit yang tidak lagi biru dibumbung awan yang hitam
menjadikan panas pun ikut mengatup dalam selimut
angin yang berhembus bersama dengan gemuruh yang bersahutan
menandakan sebentar lagi butir-butir air yang terjun ke bumi
kala awan yang sudah tidak sanggup menghitam lagi
akhirnya menurunkan ribuan tetes mengempas tanah yang bisu.
Beranda Sanggar Pelangi, 2016.
BANJIR
Satria Dwi Saputro
Hujan yang tidak lagi turun sebentar ini
mengalir tanpa henti memenuhi setiap ruang yang senggang akan udara
ketika ruang-ruang itu penuh oleh air yang dihembuskan langit
mengisyaratkan agar mencarikan ruang lagi pada hujan yang terus menetes
tapi ruang-ruang banyak yang enggan berbagai dengan hujan itu
karena ditimpa oleh sampah yang tak terhingga macamnya
hingga membuat air itu menjadi meluap yang menenggelamkan mata kaki ini.
CERITA TENTANG HUJAN
Abd. Rahman M.
Aku ingin pulang mendekap tubuhmu
yang kuyup di bawah pohon rindu
cerita ini masih tentang hujan
dibawa angin-angin kenangan
SSSK, 2016
CERITA SINGKAT DI SENJA KEMARIN
Abd. Rahman M.
Senja kemarin ketika pebruari lindap
di stasiun kereta bersama suara-suara riuh
mengantarkan kepulanganmu
senja ini benar-benar temaram
yang sinarnya cepat menghilang
SSSK, 2016
PADA SATU PAGI
Abd. Rahman M.
Pada satu pagi bermekaranlah bunga kemuning
yang rupanya laksana mentari
hinggap setitik kasih
lama-lama menjelma muara kasih
SSSK, 2016
PUISI PERTAMA
Abd. Rahman M.
Katakanlah ini puisi pertama
dibawa lari, tiada bertemu pada jodoh
hingga terlahirlah tangis resah
SSSK, 2016
SPASI KITA
Juni Oci K Sipakkar
Aku dan Kamu berdiri di sudut siku-siku
tegak berdiri menantang hitungan busur
sinar matahari tersenyum mengejek
terpantul sampai ke ulu hati
kau berdiri menentang awan
kau berteriak seakan langit berlapis kabut
kau terbang ke awan tidur bersama bintang
kau mengusik bidadari dengan tongkat penyihir
kau tertawa menyambut fatamorgana
tak ada kata mendefiniksikan dunia mu
aku terdiam di tanah hening
aku melihat burung bisikkan kata benci
aku tersesat di pulau tak berpenghuni
aku terjatuh ke dalam jurang kekelaman
aku perih sesak dicengkram kesuyiaan
inilah definisi duniaku
spasi
terkaan saat dunia hujanmu sampai ke tanahku
menetes bentuk perdamaian keadaan
spasi
sengit langit akan kutarik ke bumi dengan terluka
kujelaskan aku dan kau dengan spasi
MUSIM AIR MATA
Julaiha S
Berapa musim telah kau kutuk
agar dapat membaca hatiku yang
pasang-surut. dermaga sunyi
bertumpahan air mata. luka luka terkemas
membangun pekat di mimpi kita.
purnama berpunggung sendu
menyanyikan lagu nostalgia kepulangan
dalam resah yang panjang, daun gugur adalah jelmaan
air mata paling pahit.
jasad kesedihan yang terpelihara, tak akan lenyap
bersemayam dan membekukan bunga bunga layu.
SELEPAS MEMBACA SAJAK
Julaiha S
Tuntaskan saja terlebih dahulu
agar waktu dapat menjemputmu dari tuan yang wajah gelap dan matanya pudar.
lekaslah, hujan akan membersihkan kepingan jejak
yang tertinggal di tubuhmu
menuangkan sirih yang tua
agar waktu dapat menjemput dari tuan
yang wajah mirip seperti jarum jam
atau barangkali aku akan meninggalkanmu
sama seperti waktu
sebab, kau akan paham mengapa Tuhan mengembalikan roh-roh ke dalam mimpi dan sajak pagi
MENGASAH ANGIN PARA NELAYAN
Julaiha S
Ribut-ribut angin adalah dahaga untuk musim
setiap orang, suami-suami nelayan akan terpaku membiru
menikmati angin yang sudah serupa janin-janin hati
tersisa hampa, penunggu yang mendung tak berujung
angin tak seperti rupa dahulu
ikan-ikan kehilangan bapak dan ibu
yang dingin, beku dan beberapa dari mereka hampir layu.
nelayan-nelayan sunyi hanya mampu menunggu.
MASA LALU YANG SEMPIT
Julaiha S
Waktu telah memisahkan
perangai kasih. melambatkan perahu berlayar
menyinggahi pulau tubuhmu, merambati seluruh aliran
yang kau sebut rindu
kenangan menguap, seperti duka-duka bertingkap
asmara bagaikan pelita tua, dan orang-orang mulai lupa
untuk kembali menghurup kuntum bunga. sebagaimana kita,
aku telah sirami sunyi dengan pergantian musim
untuk menanam masa lalu yang sempit
BULAN ROMANTIS
T.Sandi Situmorang
Bisa saja matahari telentang di langit kota
hingga menyengat kepala
atau hujan yang menggumpal
sampai banjir menyapu
tetap saja kau kata ini bulan yang romantis
ketika melangkah kian sudut
kita temu mata penuh cemas
tubuh yang rapuh
sebab hidup semakin kelat
tetap bilangmu, ini bulan penuh cinta
YANG TERSISA
T.Sandi Situmorang
Sendiri
telusuri sisa malam yang pecah
wajahmu mengayun pada reranting
teramat lelah menghitung waktu
:seberapa jarak memenggal kasih?
jauh di sini
pada tanah perantauan yang amis
berusaha kugenggam kenangan
walau semakin tipis
aku yakin tak akan habis
PECINTA HUJAN
T.Sandi Situmorang
Katamu, begitu lama hujan tidak turun di kota kita
hingga coklat daun-daun mangga di depan rumah
lelah kau mengutipi
seperti tak habis-habis
bilangku, di sini hujan seperti tak tau diri
sering ia mengurungku pada emperan toko
atau memaksa mengambil jemuran basah
kemudian kau cemas
sebab tau aku pecinta hujan
TENTANG JALAN YANG USAI
T.Sandi Situmorang
Melintas lagi
pertemuan kita di bawah hujan
pada ujung Desember yang redup
di situ kita hanya berganti sapa
sibuk menatap langit yang pekat
kemudian kita berpisah
hanya saling melepas senyum
padahal begitu banyak ruang
untuk kita berbagi kenangan
awal Februari yang gersang ini
melesap sebuah kabar di berandaku
:tentang jalanmu yang sudah
andai saja bisa akan kulempar waktu
hingga di ujung Desember yang redup itu kudekap engkau, sahabat