Napi Ikut Pilkada, Plutokrasi Mengancam

Oleh: Fransisca Ayu Kumalasari SH, MKn

Membaca rencana pemerintah memberi kesempatan pada para terpidana korupsi bisa mencalonkan diri di pilkada, nurani kita langsung terguncang. Mantan bupati Maybrat, Papua Barat, Bernard Sagrim yang pernah divonis penjara 15 bulan penjara karena kasus korupsi dana hibah pemekaran Kabupaten Maybrat tahun 2009 senilai 3 milyar. Ada pula Mantan Wali Kota Sidoardjo Utsman Ihsan yang dihukum 8 tahun penjara dan denda 200 juta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana APBD Sidoardjo 2003-2004 senilai 20 miliar lebih. Ada juga Muhammad Zayat Kaimoeddin alias Derik dihukum 2 tahun penjara karena terbukti korupsi proyek peningkatan mutu SLTP di Dinas P & K Sulawesi Tenggara Tahun 2003. Selanjutnya, calon gubernur Aceh Ruslan Abdul Gani diduga melakukan korup dermaga Sabang serta bakal calon Maluku Utara, Ahmadhidayat Mus yang terbelit kasus korupsi Mesjid Raya Sula yang diusut Mabes Polri.

Kalau terpidana diberi kesempatan ikut dalam perhelatan pilkada, maka ini jelas-jelas akan mencoreng-moreng pelaksanaan pilkada yang telah menelan dana tak sedikit. Sebagai ajang pendidikan demokrasi, pilkada mestinya menjadi panggung besar untuk sebuah pertunjukan politik penuh keagungan, di mana di dalamnya ada prinsip integritas yang dijunjung tinggi, prinsip fair play dan yang terpenting ada norma-norma kepantasan yang harus dihormati semua peserta atau kandidat. 

Rakyat sebagai saksi dan penontonnya, apalagi yang cerdas dan dewasa, tentu berharap ajang kompetisi politik tersebut berlangsung secara berkualitas dan memberikan jaminan bahwa hasil dari pilkada tersebut akan melahirkan seorang pemimpin yang bisa diandalkan secara moral, kapabilitas dan kompetensi untuk memimpin daerah menuju pada pulau kesejahteraan. 

Jika satu dari prinsip penting tersebut hilang, maka pilkada tidak lagi bisa dikatakan memberikan nilai dan faedah bagi pelaksanaan demokrasi, selain sebuah ajang politik penuh banyolan dan memalukan.Mendorong masuknya mantan napi dalam pilkada mencerminkan pemerintah kita belum keluar dari penyakit amnesia. Melupakan kesalahan seseorang itu di satu sisi memang penting dan perlu dalam relasi sosial sebagai suatu proses menerima dan mengaktualisasikan benih humanitas. Namun jangan karena begitu, kita langsung menggeneralisasinya tanpa memikirkan perlunya membangun koridor moral dan etika, agar relasi sosial politik tidak tersandera oleh preseden masa lalu dan nilai demokrasi itu tetap terjaga kesakralannya. 

Tidak Bijak

Kebaikan untuk menerima seorang yang pernah bersalah dalam kehidupan sosial, itu satu hal. Tapi “dipaksa” untuk membuka pintu bagi mereka dalam proses pencarian pemimpin yang notabene mensyaratkan kualifikasi moral, karena alasan hak politik tentu tidaklah bijak. Bukankah kebaikan umum, adalah memikirkan dan merawat nilai-nilai publik yang lebih besar dampaknya daripada sekadar memenuhi kepentingan satu dua orang? Lawrence M Friedman dalam bukunya American Law: What Is A Legal System pernah berkata, dalam suatu sistem hukum, terkandung suatu makna bahwa penegakan hukum tidak sebatas melaksanakan hukum tertulis tetap juga (Living Constitution). Artinya nilai-nilai sosial seperti kepantasan sosial, kejujuran, kehormatan, keteladanan positif, yang ada dan dominan di masyarakat timur harus tetap dijaga demi tegaknya hukum yang sejati. 

Ketiga, jika napi bisa melenggang kangkung dalam pilkada, takutnya, prinsip moral politik tidak lagi menjadi syarat utama dalam politik, sehingga oleh publik hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar.Maka dengan demikian, secara eksplisit, kita seolah sedang memperbesar pintu masuk bagi para koruptor untuk mengembangkan sayap gerakannya, karena di negeri ini, penjahat atau orang baik, sama-sama diberi tempat secara proporsional dalam pilkada, ataupun juga dalam interaksi sosial. 

Jika seperti ini yang terjadi, maka masyarakat kita secara kolektif akan hidup dalam kondisi kesakitan orientasi. Masyarakat kita mengalami anomi terutama dalam menakar dan mempersepsikan penegakan hukum, keadilan, dan hak politik. Kekaburan cara berpikir ini antara lain karena disokong oleh kekaburan batas dalam mendefinisikan antara kejahatan dan kebaikan.

Gergaji Demokrasi

Jangan-jangan, dan ini sangat berbahaya, wacana membuka karpet merah terhadap koruptor untuk berpolitik di pilkada akan menjadi pintu masuk lahirnya model pemerintahan plutokrasi. Menurut James Scot (dalam Lucky Djani 2012) model pemeritahan plutokrasi adalah model pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan orang-orang kaya yang memiliki karakter korupsi, kolusi, nepotisme. Model pemerintahan seperti ini akan meletakkan basis eksploitasi sebagai tujuan dasar dalam tatanan kekuasaan. 

Pemerintahan model begini, tak mungkin patuh pada nilai-nilai moral, etika dan hukum positif. Ini karena wataknya adalah bagaimana berupaya sekeras mungkin mengkondisikan sistem yang menopang kekuasaannya dengan model komunikasi, informasi dan pertanggungjawaban yang tertutup, jauh dari kritik atau kontrol. Alih-alih membuka diri terhadap kritik masyarakat atau kelompok kepentingan progresif, yang terjadi, mereka akan berusaha menarik berbagai elemen-elemen penyokong kritik itu ke dalam lingkarannya dengan berbagai cara dari yang moderat hingga kasar, dari yang bersifat hegemoni hingga radikal ekstrem. Dengan demikian sumbatan untuk menghambat kekuasaan plutokrat mereka, tidak akan tercipta.

Yang pasti plutokrasi tersebut akan menggergaji fondasi bangunan demokrasi. Demokrasi sebagai wacana formal memang ada, bahkan selalu menggaung dalam bibir mereka, tapi secara substansi dan roh, tak akan dijumpai lagi. Karena memang antara spirit demokrasi substantif dan spirit korupsi, bagai air dan minyak yang tidak akan pernah bersatu. Saya yakin, untuk bapak-bapak pejabat di pusat dan para politisi di Senayan, yang katanya berpendidikan tinggi, bermoral, pasti masih punya akal panjang untuk berpikir bagaimana supaya daerah dan rakyat tidak dikorbankan hanya demi memenuhi hasrat kekuasaan sempit.

Saya curiga, memberikan lampu hijau kepada mantan koruptor untuk ikut pilkada adalah bagian dari desain politik mereka untuk melanggengkan politik balas jasa, atau politik protektif kepada kawan, kolega mereka dengan rancangan keuntungan ke depan yang dibuat mereka. Bagaimanapun kita yakin, negara ini, selemah-lemahnya ia, masih memiliki kewarasan dalam berpikir apalagi untuk sebuah kepentingan bangsa dan negara. 

Negara tidak “membenci” para mantan napi yang ingin ikut pilkada, tapi negara punya kewajiban untuk menghargai jejak rekam moral, integritas setiap individu calon pemimpin. Sebab di situ, kualitas seorang yang akan menjadi calon pemimpin akan dipertaruhkan dan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan Tuhan.

Maka kita sebagai rakyat yang memiliki tanggung jawab moral untuk menegakkan demokrasi, menyerukan kepada pejabat dan wakil kita di pusat agar wacana tersebut harus dikubur dalam-dalam. Cukup sudah kita disuguhi politik munafik yang tidak lucu dari para pejabat dan politikus berdasi, dan janganlah main-main dengan suara rakyat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan.***

Penulis adalah Pemerhati Sosial.

()

Baca Juga

Rekomendasi