Menghalau Narsisme di Medsos

Oleh: M Arif Suhada. KEBERADAAN  media sosial (medsos) telah memutus ruang keterbatasan setiap orang untuk mendapatkan dan berbagi setiap informasi. Keterbukaan ini pula yang mendorong setiap orang untuk gemar berbagi atau menampilkan setiap aktifitas hidupnya agar diketahui khalayak ramai. Adanya fasilitas interaksi yang diberikan medsos, seringkali membuat penggunanya haus akan respon dan tanggapan dari orang lain. Tanpa disadari, kebiasaan itu akan membentuk mereka menjadi orang-orang dengan gaya hidup yang narsisme.

Narsisme dalam KBBI diartikan sebagai suatu keadaan yang mencintai diri sendiri secara berlebihan. Orang yang narsis gemar menampilkan berbagai sisi kehidupannya secara sengaja untuk menjadi konsumsi publik. Entah itu berharap mendapat pujian, tanggapan, atau hanya sekadar berbagi cerita.

Medsos adalah tempat yang paling mudah untuk mengetahui seseorang itu narsis atau tidak. Ciri-ciri orang yang narsis itu suka sekali dalam bergonta-ganti foto, meng-upload segala macam kegiatannya, dari hal yang penting sampai tak penting.

Tak hanya urusan berfoto, saat mem-posting status di medsos juga demikian. Barangkali kita sering menemukan teman di medsos kita yang hobi sekali mem-posting status dalam rentang waktu yang berdekatan. Tentu tak masalah ketika apa yang di-share itu mengandung nilai kebaikan atau manfaat bagi orang lain. Jika tidak, inilah yang cukup disesalkan, karena hal itu hanyalah bentuk kesia-siaan belaka dan besar kemungkinan mengganggu pengguna medsos yang lain.

Orang yang narsis memang tak memandang persoalan bermanfaat atau tidaknya yang di-share. Yang terpenting baginya adalah orang mesti tahu yang ia lakukan, yang ia rasakan. Dengan begitu, ada kepuasan tersendiri di saat telah membagikan status tentang dirinya kepada publik. Apalagi jika status yang di-share itu mendapatkan feedback (pujian, tanggapan, komentar positif) dari orang lain.

Kenarsisan ini tak jarang pula dijadikan sebagai ajang untuk pamer dan menyombongkan diri. Supaya bisa mendapat pujian dan pandangan luar biasa dari orang lain, segala hal yang berbau kebanggaan tak pernah luput untuk di-share ke publik. Hal inilah yang menyebabkan manusia kecanduan dengan gaya narsisme.

Memperoleh pujian dan tanggapan positif dari orang lain cenderung membuat seseorang menjadi terlena dan bangga. Bagi yang tak bisa menanggapinya dengan bijak, maka sikap narsisme akan menjadi kebutuhan mutlak baginya untuk memperoleh pengakuan itu secara berkepanjangan. Mungkin saja bila tak mendapat hal itu dalam kurun waktu tertentu bisa mengakibatkan dia frustrasi dan stres.

Narsisme Ekstrem

Gaya hidup narsisme yang sudah pada tingkatan tinggi (akut) biasanya ditandai pada pola gaya bernarsisnya yang ekstrem. Kalau kata narsis itu sendiri diidentikkan dengan berfoto, maka narsisme ekstrem akan menjadikan objek-objek yang di luar batas kewajaran/kelayakan sebagai objeknya untuk berfoto, kemudian di-upload di akun medsos miliknya.

Misalnya, berfoto narsis dengan mayat, berfoto narsis dengan background kecelakaan/musibah, berfoto narsis dengan hewan buruan langka, dan lain-lain. Contoh yang penulis paparkan ini bukan sekadar omong kosong belaka. Fenomena inilah yang sekarang banyak dilakukan orang-orang yang terkontaminasi dengan gaya narsisme ekstrem. Malah baru-baru ini, gaya narsis yang lagi hangat dibicarakan adalah berfoto dengan gaya konyol di jalan raya, sambil membelakangi para pengendara motor yang tengah berhenti menunggu traffic light. Benar-benar kurang kerjaan!

Konsekuensinya, narsisme ekstrem ini membuka celah dalam mengundang petaka. Bukan tak mungkin, narsisme ekstrem yang kelewat batas bisa terbawa ke ranah hukum. Dikarenakan melanggar batas-batas kewajaran/kelayakan pada umumnya, maklum bila hal itu memancing pro dan kontra di banyak kalangan. Jika sudah begini, maka beragam tanggapan akan muncul.

Gaya hidup narsis adalah salah satu sifat naluri dasar manusia. Umumnya setiap manusia memiliki sifat ini, cuma kadarnya saja yang berbeda. Tinggal bagaimana kita mengendalikan nafsu kenarsisan dalam diri kita pada batasan yang wajar. Ada etika  yang mesti dijaga untuk tidak ditonjolkan dalam bentuk sikap narsisme itu ke publik.

Di zaman keterbukaan sekarang, sikap narsisme yang kita umbar ke publik bisa berujung bencana bagi diri sendiri apabila kita tidak bijak dalam menyikapinya. Kata kunci yang ingin penulis tekankan adalah cerdaslah kita dalam menempatkan sikap kenarsisan itu dalam setiap situasi dan kondisi.

Ada hal-hal yang memang pantas untuk menjadi konsumsi publik, namun ada pula yang cukup kita tahan dan jadi konsumsi pribadi semata. Apalagi informasi yang sifatnya privasi, lebih baik tak usah diumbar ke publik karena bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. Mudah-mudahan dengan begitu, kita dapat terhindar dari berbagai prasangka buruk manusia atas sikap narsisme yang kita miliki.

()

Baca Juga

Rekomendasi