Oleh: David Siagian.
Bumi mungkin hanyalah titik kecil di antara benda-benda langit di dalam Galaksi Bima Sakti yang jumlahnya miliaran. Planet yang kita diami ini tidak lebih dari sekedip cahaya kecil jika di antara 200 hingga 400 miliar bintang yang terbentang di angkasa. Betapa kecilnya bumi kita.
Faktanya, meski terlihat tidak begitu penting, hanya planet bumilah tempat tinggal segala makhluk yang hidup. Hingga detik belum ditemukan satu benda langit pun yang layak dijadikan tempat untuk hidup dan berkembang biak meski manusia berusaha mencari “bumi” lain yang layak dijadikan tempat tinggal. Bumi adalah rumah bagi segala yang bernapas yang juga menyediakan segala sesuatu bagi keberlangsungannya. Sebab, hanya bumlah mengandung air dan oksigen sehingga tumbuhan, hewan dan manusia dapat hidup.
Mencukupi Kebutuhan
Meski terlihat kecil dalam keluarga Bima Sakti, bumi cukup besar bagi kita umat manusia. Bumi, yang 70% terdiri air dan luas daratan diperkirakan 150 juta km persegi, sejatinya, cukup untuk memenuhi kebutuhan semua mahkluk yang tinggal di dalamnya. Lautan dan daratan memberi sumber-sumber kehidupan bagi umat manusia. Pertanyaannya, berapa banyak manusia yang dapat tinggal dan hidup di dalamnya. Berapa banyak manusia yang dapat hidup sumber-sumber alam yang kian terbatas itu. Saat ini, jumlah penduduk bumi diperkirakan 7 miliar jiwa.
Namun, jumlah penduduk terus bertambah setiap tahun seiring kemajuan teknologi kedokteran dan medis. Faktor-faktor kesehatan lainnya juga ikut meningkatkan ketahanan manusia terhadap berbagai penyakit sehingga dapat mengurangi angka kematian. Hal itu berarti pertambahan penduduk akan terus mengalami kenaikan. Diperkirakan, di akhir abad ini jumlah penduduk dunia bisa mencapai 10 miliar jiwa.
Jika melihat ke depan, apakah ada satu titik atau satu saat di mana bumi tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup setiap orang yang diam di dalamnya? Apakah suatu saat kapasitas bumi menyediakan sumber-sumber kehidupan akan habis? Sebagian penduduk bumi mungkin memiliki cukup sumber makanan dan air sehingga mereka tetap merasa sejahtera dan sehat. Namun, bagaimana dengan penduduk di belahan bumi yang lain.
Faktanya, sebagian besar sumber kehidupan yang disediakan bumi ini dikuasai oleh segelintir orang. Menurut penelitian yang pernah dilakukan Oxfam mengatakan 62 orang-orang terkaya di muka bumi ini menguasai hampir sama dengan seluruh kekayaan yang dimiliki oleh separuh penduduk dunia. Ironis memang. Di satu sisi, segelintir orang hidup dalam kemewahan dan berlebihan. Tetapi di sisi lain, miliaran orang hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, sebagian dari mereka mati kelaparan.
Kalau diperhatikan gaya hidup orang di negara-negara kaya benar-benar berbanding terbalik dengan gaya hidup penduduk di negara-negara miskin, termasuk di negara kita. Saya pernah bekerja di sebuah lembaga swadaya milik asing (NGO). Ketika saya makan bersama dengan salah satu keluarga dari staf NGO asing itu, saya perhatikan betapa berlimpahnya dan mahalnya bahan-bahan makanan yang mereka konsumsi. Itu mereka lakukan setiap hari paling sedikit dua kali. Saya jadi berpikir, seandainya seluruh penduduk bumi makan seperti yang cara mereka makan, maka dibutuhkan tiga bumi lagi -dengan sumber daya yang sama seperti yang kita diami saat ini- supaya kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi.
Penduduk di negara-negara kaya, seperti Eropa dan Amerika, menghabiskan bahan pangan jauh lebih banyak daripada yang bumi bisa hasilkan. Inilah ironi yang sedang terjadi, dan akan terus terjadi. Ketimpangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan pun semakin kentara akibat distribusi sumber-sumber kehidupan terus menceng, atau berat sebelah.
Laporan Living Planet yang dikeluarkan World Wildlife Fund (WWF) beberapa waktu lalu menyebutkan kebutuhan manusia atas sumber daya alam akan terus meningkat dua kali lipat kurang dari 50 tahun dari sekarang. Saat ini, bumi hanya mencukupi kebutuhan manusia kurang dari setengahnya, secara global kita membutuhkan dua planet bumi pada 2030.
Seiring dengan itu, orang akan menumpuk harta dan kekayaan untuk memenuhi kerakusan mereka. Alam pun dikuras habis. Hutan dibabat dan dibakar. Pohon-pohon dan kekayaan hayati yang ada di dalamnya diganti dengan kelapa sawit yang dianggap cepat memberi kekayaan. Lahan-lahan gambut dijadikan tambang dan indistri. Semua demi memenuhi hasrat mereka akan uang dan kemewahan.
Orang-orang mungkin tidak menyadari, bahwa beban bumi semakin berat akibat kerusakan yang dibuat oleh penghuninya. Kemampuan bumi menyediakan bahan makanan pun semakin berkurang. Semakin sulit menumbuhkan tanaman pangan. Gagal panen sering terjadi. Seorang ahli sosio-biologis terkenal dari Harvard University Edward O. Wilson mengatakan, selain keterbatasan tersedianya air bersih, bahan makanan yang dapat diproduksi bumi juga semakin sedikit. Bahkan jika dilakukan penghematan maksimal (maximum efficiency), di mana seluruh tanaman pangan yang ditanam dijadikan sebagai bahan makanan dan semua orang menjadi vegetarian, kemampuan bumi menyediakan makanan yang cukup bagi seluruh manusia tetap sangat terbatas.
Pembangunan Berkesinambungan
Dua krisis besar abad ini adalah krisis lingkungan dan krisis pangan. Tingginya tingkat kerusakan lingkungan akibat eskploitasi sumber-sumber alam dan penggunaan energi secara berlebihan telah mengancam keberlangsungan keselamatan bumi. Sementara krisis ekonomi (pangan) di berbagai belahan bumi menjadi ancaman serius terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Meski dampak kerusakan alam terjadi di depan mata, pengalihan fungsi hutan terus berlangsung secara masif (massive deforestation) menjadi lahan industri perkebunan sawit, pertambangan dan industri lainnya terus terjadi. Sementara itu, penegak hukum seolah tak berdaya melawan kekuatan finansial perusahaan-perusahaan besar yang merusak hutan. Beberapa hari yang lalu, Polda Riau menghentikan penyidikan hukum terhadap 15 perusahaan yang diduga pembakar hutan. Jelas ini suatu tindakan yang sangat kontrapoduktif dengan uapaya pelestarian lingkungan.
Negara dituntut tanggungjawabnya atas kerusakan hutan dan alam yang terjadi dan iharapkan dapat mengambil kebijakan-kebijakan penting dan genting untuk segera diimplementasikan dalam menyeimbangkan pertumbuhan industri dan kelestarian alam seiring dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan angka kemiskinan. Para pembuat kebijakan di negeri ini harus memiliki komitmen dan keberanian melakukan sebuah perubahan besar dalam konsep pembangunan ekonomi dan masyarakat agar terjadi berkesinambungan (sustainable development).
Namun demikian, kelestarian bumi bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah. Semua warga negara, utamanya perusahaan-perusahaan besar dituntut tanggungjawabnya terhadap konservasi alam. Negara sudah saatnya menerapkan praktek-praktek pembangunan berbasis lingkungan yang berkesinambungan. Tanpa itu, kita tinggal menunggu kehancuran.
(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan)