UU ITE dan UUD 1945

Oleh: Drs. Gustap Marpaung, SH.

Sebelum teknologi informasi komunikasi ber­kembang, konstitusi Indonesia telah mengatur rakyat Indonesia dalam berko­mu­nikasi dan mengekspresikan pendapat­nya. Un­dang Undang Dasar 1945 (UUD 45) Pa­sal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28F dan Pasal 28I UUD 45 menjamin seluruh rak­yat Indonesia menyampaikan pikirannya se­cara tulisan dan lisan.

UUD 45 menjamin rakyat Indonesia da­lam berekspresi menggunakan media apapun ter­masuk internet  yang merupakan hak kons­titusional setiap warga Indonesia.

Penegasan senada tercantum dalam Pasal 14, 19, 20 dan 21 TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 14, 23 ayat (2), dan Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, serta Pasal 19 Konvenan Sipol (diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005).

Kini terjadi perubahan besar cara orang meng­­ekspresikan pendapat dan perasaannya. Da­hulu mengekspresikan pendapat dan pe­rasaan lewat surat, bertutur langsung de­ngan para teman/sahabat atau menyam­pai­kan pendapat lewat media cetak (su­ratkabar, majalah, buku).  Kini ada blog, je­jaring sosial atau media sosial ketika in­ternet hadir dan hadir pula media online.

Teknologi informasi memudahkan orang ber­komunikasi dan mengekspresikan pen­dapat dan perasaannya serta mem­per­mudah ber­transaksi. Teknologi sifatnya netral, ter­gantung kepada manusia yang mem­per­gu­nakan teknologi itu. Teknologi netral dengan tujuan memberikan kemudahan.

Bertentangan dengan Konstitusi Tertinggi

Kini setiap berita dari media online banyak mun­cul komentar pro dan kontra bahkan ter­­kadang terjadi pertengkaran antara sesama yang berkomentar dengan status yang dibuat para pemilik akun media sosial. Berbeda in­teraksi di media cetak (suratkabar, majalah, ta­­bloid) yang tidak bisa langsung mem­pos­ting ka­rena ada sensor dari redaksi sehingga tidak ter­ekspose komentar yang tidak ber­etika atau uja­ran kebencian terhadap se­seo­rang atau golongan.

Boleh jadi dari fenomena ini Kapolri Jen­deral Polisi Tito Karnavian secara tegas me­merintahkan setiap Polda untuk tidak mem­biarkan media sosial menjadi ajang provokasi dan segera memproses secara hukum para pe­nyebar ujaran kebenci­an. Termasuk pe­ristiwa yang terjadi di Kota Tanjungbalai Pro­vinsi Sumatera Utara. Seorang warga Ja­gakarsa, Jakarta Selatan AT (41) diduga te­lah melakukan pelanggaran dan ditangkap po­lisi sebagai tersangka penyebar ujaran ke­bencian di media sosial.

Tersangka penyebar kebencian diancam de­ngan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) dan atau Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (1) UU  Nomor 11 Tahun 2008 tentang  In­formasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan atau Pasal 156 dan atau 160 KUHP de­­ngan ancaman hukuman penjara enam tahun.

UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE saat ini sedang menanti proses revisi sebab ti­dak sejalan, selaras dan sesuai dengan konstitusi yang lebih tinggi.

Kebebasan berekspresi merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang harusnya dijamin pelaksanaannya oleh negara harus mengacu kepada UUD 45 se­bagai hukum tertinggi di Indonesia. Na­mun, hak konstitusional warga negara itu kini berhadapan dengan UU No. 11 Tahun 2008 tentang UU ITE.

Kehadiran UU ITE membuat warga yang mengepresikan kebebasan berfikir dan pen­dapat tidak dijamin pelaksanaannya oleh negara. Hal ini karena UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE  bertentangan dengan UUD 1945 pada Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Lebih parah lagi dengan an­caman hukuman enam tahun penjara se­hingga memenuhi satu syarat penyidik bisa langsung melakukan penahanan terhadap se­se­orang yang disangkakan.

Hebatnya, pasal karet dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XVI Peng­hinaan Pasal 310 dinaikkan ancaman hu­kumannya pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Artinya, keberadaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE telah men­ciptakan chilling effect bagi kebebasan ber­pendapat dan berekspresi di Indonesia mem­buat masyarakat khawatir menyam­pai­kan pendapatnya secara bebas yang menjadi hak konstitusi setiap warga negara yang dijamin pe­laksanaannya oleh negara.

Wajar semenjak disahkan tahun 2008, UU ITE telah memunculkan polemik di ma­syarakat, terutama terkait dengan sejumlah pa­sal-pasal yang dinilai mengekang ke­be­ba­san warga negara dan hak asasi manusia. Ke­hadiran UU ITE yang idealnya untuk menjadi panduan dan memberikan per­lindungan mema­dai bagi warga negara dalam pemanfaatan teknologi internet itu, namun jus­tru menjadi alat mengekang kebebasan ber­pen­dapat dan berekspresi yang dijamin oleh UUD 45.

Pasal 45 juncto Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang menuduh me­la­kukan tindak pidana pencemaran nama baik me­lalui media internet bertentangan dengan se­mangat UUD 45 dan dinilai cacat hukum. Ki­ranya penting melakukan perubahan UU ITE agar regulasinya terkait dengan pe­manfaatan teknologi internet untuk melin­du­ngi masyarakat pengguna internet bukan hak mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang melanggar UUD 45.

Perubahan atau revisi UU ITE ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Hal yang menyalah dalam UU ITE itu khususnya keberadaan pasal pencemaran nama baik, sehingga penting untuk dilakukan perubahan. Merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada Pasal 27 dinilai membatasi kebebasan masyarakat da­lam menyuarakan pendapatnya di dunia maya.

Sebaiknya UU ITE lebih memfokuskan kepada kejahatan konvensional yakni kejahatan di dunia elektronik. Sebenarnya UU ITE memiliki cakupan tentang globa­li­sasi, per­kembangan teknologi informasi dan keinginan untuk mencerdaskan kehi­dupan bang­sa. Na­mun, dalam perjalanannya mun­cul dan me­nonjol sanksi pidana tentang peng­hinaan dan pen­cemaran nama baik melalui me­dia massa men­jadi alat pengekangan terhadap kebebasan ber­pendapat. Kebebasan ber­pendapat itu me­rupakan hak azasi ma­nusia (HAM) yang melekat pada setiap diri warga negara Indonesia.

Pasal 27 dalam UU ITE cenderung di­gunakan me­nuntut pidana netizen yang me­la­yangkan kri­tik lewat dunia maya terhadap pe­merintah. Pa­dahal kritik dibutuhkan untuk me­ng­awasi pem­bangunan yang dilaksanakan oleh pe­merintah agar berhasil guna dan ber­daya guna. Kritik dibutuhkan oleh pemim­pin pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Sementara amanat UUD 45 yang menja­min kebebasan dalam mengeluarkan pen­dapat, memberikan masukan, saran dan kri­tikan.  Ancaman pidana berdasarkan Pasal 45 juncto Pasal 27 dalam UU ITE  ber­ten­ta­ngan dengan konstitusi. Tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan UUD 45. Bila ada maka isi atau pasal UU yang bertentangan dengan UUD 1945 otomatis batal demi hukum. ***

Penulis pemerhati masalah hukum, alumnus Fisip USU Medan dan FH Unla Bandung.

()

Baca Juga

Rekomendasi