Oleh: Rafyq Panjaitan
Medan, sebagai kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya menjadikan kota ini mendapat gelar kota metropolitan. Tetapi, sepertinya, kata metropolitan perlu dikaji ulang untuk disematkan pada kota Medan. Pasalnya, sungguh miris melihat tata kota di Medan yang sangat amburadul, imbas dari keamburadulan tersebut adalah kemacetan parah yang terjadi di sejumlah ruas jalan di kota Medan.
Metropolitan merupakan bentuk adjektif dari metropolis. Kata metropolis berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata meter yang bermakna ‘ibu’ dan polis bermakna (1) ‘ibu kota’ atau ‘kota terpenting dalam negara atau wilayah’ dan (2) ‘kota yang menjadi pusat kegiatan perdagangan, industri dan pemerintahan’ (badan bahasa.kemendikbud.go.id)
Medan sebagai ibu kota di Sumatera Utara, tidak memiliki tandingan dari segi kebutuhan masyarakat (perekonomian, pendidikan). Medan, hari ini bahkan seterusnya akan terus dihujani kaum urban selama pembangunan masih sentralistik. Hilir mudik masyarakat di momen hari hari besar keagamaan dan tahun ajaran baru membuat Medan semakin sesak.
Kaum pendatang, yang terus berdatangan tiap tahun juga tidak sedikit memboyong kendaraan dari kampung, otomatis volume kendaraan bertambah. Pun target penjualan kendaraan bermotor dari perusahaan semakin tinggi, tidak adanya regulasi tegas dari pemerintah pusat membuat kepemilikan kendaraan bermotor menjadi blunder tersendiri, adalah kemacetan yang menjadi dampak nyatanya.
Macet, adalah situasi yang sangat membuat stres. Tumpukan kendaraan yang merayap padat dengan intensitas waktu yang cukup sering membuat citra kota Medan yang memiliki slogan ‘Medan Rumah Kita’ menjadi tak tepat guna. Pasalnya, rumah adalah tempat yang paling nyaman, tempat menemukan kedamaian yang tiada tara. Medan dengan sekelumit masalah pokok kota tentang tata ruangnya sudah dalam taraf mengkhawatirkan dan tidak layak disebut rumah.
Medan berdasarkan data tahun 2015 memiliki jumlah penduduk sekitar 2.210.624 jiwa, sangat padat. Pun Medan yang menjadi kota tujuan seluruh penduduk Sumatera Utara dikarenakan kota simpul perekonomian, industri dan pusat pusat pemerintahan setiap tahun menjadi target perantauan penduduk dari segala penjuru Sumatera Utara. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya Medan terus berbenah, terkhusus dalam tata ruang kotanya.
Kita tidak sedang menghakimi kota Medan kebanggaan rakyat Sumatera Utara ini, namun penulis meyakini melihat Medan secara objektif dalam permasalahannya sangat penting agar permasalahan tersebut tidak menjadi masalah laten sehingga sulit untuk disembuhkan.
Dari hasil monitoring, ruas jalan paling parah di jam sibuk, terutama pagi dan sore terlihat di jalan Ahmad Yani, jalan Kapten Maulana, jalan Raden Saleh, jalan Imam Bonjol, jalan S. Parman, jalan Aksara, jalan jamin ginting, simpang Dr. Mansur, jalan Pandu, jalan Sutomo, jalan M.H. Thamrin, jalan Setia Budi dan jalan SM Raja. Jalan-jalan tersebut sebagai jalan padat/macet golongan I atau paling parah (sumutpos.co, 11/09/15) Umumnya, kemacetan parah terjadi di pusat-pusat perbelanjaan masyarakat, aktivitas kampus, dan perkantoran.
Pada jam jam makan siang dan jam pulang kerja seperti pukul 12.00 dan 18.00, jalanan sangat padat dan sulit untuk menemukan situasi arus lalu lintas yag lancar. Hal ini begitu menyita waktu masyarakat, katakanlah untuk menempuh jarak dari RS. Adam Malik ke jalan Iskandar Muda saja membutuhkan waktu sekitar minimal 1 jam lebih, padahal jika jalanan tanpa macet waktu tempuh bisa tidak kurang dari 30 menit saja.
Penyebab dari kemacetan ini adalah tidak tertibnya masyarakat dalam menggunakan jalan. Berdagang di bahu jalan, parkir yang semrawut bahkan sampai ke badan jalan adalah penyebab utama kemacetan yang ada. Hal ini jelas sebuah pertanda bahwa Medan belum siap untuk menjadi kota metropolitan. Belum siap secara tata kota, dan dari kultur masyarakatnya, kultur yang penulis maksud adalah kultur dalam beraktivitas di jalan raya.
Hidup ini indah jika kita saling menghargai. Beraktivitas di jalan raya seyogyanya adalah ciri, tipikal yang mendefenisikan karakter masyarakatnya, belum lagi soal angkutan umum yang sembarangan naik dan menurunkan penumpang, ugal-ugalan bahkan menyalip sesuka hati sehingga membahayakan pengguna jalan lain.
Namun dalam hal ini masyarakat tidak adil juga jika ‘dikambinghitamkan’, dimana pemerintah kota? Pemko (negara) tidak hadir dalam persoalan kemacetan di kota Medan. ‘Penertiban yang humanis’ tak kunjung kita lihat dari pemerintah kota Medan, banyaknya parkir liar dan pedagang yang sembarangan berjualan adalah buntut dari abainya pemko Medan.
Sulitkah mengurai kemacetan di Medan? Volume kendaraan yang kian hari terus meningkat tentu membuat kemacetan semakin sulit terurai. Dinas Perhubungan kota Medan telah membuat solusi kemacetan yakni: memasang rambu lalu lintas dengan sistem ATCS (Area Traffic Control System), ATCS ini telah dilakukan di 50 titik persimpangan yang ada di Medan dan mengoperasikan bus Mebidang (medan.tribunnews.com, 23/04/15)
Solusi versi Dishub Medan tersebut belum terlihat efeknya, buktinya, kemacetan tetap tak terbendung. Dibutuhkan keseriusan dari pemerintah kota Medan dalam mengatasi kemacetan yang sudah semakin akut di kota ini, tidak bisa hanya sekedar himbauan dan kebijakan yang tak dikawal implementasinya. Karena macet sangat berpengaruh pada produktivitas masyarakat, sangat berpengaruh pada kualitas aktivitas masyarakat.
Secara historis, dulu di zaman kolonial, masyarakat dihimbau untuk membuat rumah 10 meter dari jalan raya, agar aktivitas kendaraan bisa leluasa, hal ini dimaksudkan, karena semakin hari populasi masyarakat semakin bertambah. Sekarang kita bisa lihat, tak kurang dari 3 meter rumah sudah dibangun bahkan di depan rumah buat warung pula, ditambah lahan parkirnya lagi yang tak jarang sampai ke bahu jalan. Kita harus belajar dari sejarah, seharusnya, proteksi dilakukan sembari menyiapkan infrastruktur jalan menyambut populasi yang kian masif.
Belanda melihat kedepan tata ruang kota, prediksinya untuk jangka panjang. Sebagai negara berkembang, memang sangat sulit untuk menciptakan sebuah keteraturan, itu suatu hal yang sangat mahal harganya. Akan tetapi, keteraturan bukan sesuatu yang mustahil dapat terwujud, jika konsistensi ada dari berbagai pihak dalam menciptakan kota yang rapi dan tertata.
Penyebab kemacetan di berbagai kota besar adalah peningkatan volume kendaraan yang tidak dibarengi dengan peningkatan jalan raya. Belajar dari Jepang, Jepang memiliki strategi jitu dalam mengatasi kemacetan. Pertama: pembatasan tingkat emisi setiap kendaraan, di Jepang setiap kendaraan ditempeli stiker sertifikasi uji emisi yang dilengkapi dengan masa berlaku dan batas waktunya. Di Indonesia (Jakarta) hal ini sudah diterapkan, namun belum terlihat dampaknya.
Kedua: pengaturan pajak, ketiga: parkir mahal, keempat: biaya tol mahal, kelima: sarana transportasi umum yang sangat baik.Transportasi umum di Jepang sangat baik, nyaman, tepat waktu dan juga sangat murah. Dalam konteks Medan, apa yang dilakukan di Jepang tidak salah jika diterapkan di kota Medan.Kemacetan tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele, jalanan adalah jantung aktivitas masyarakat.
Kita merindukan kenyamanan di kota Medan, macet, sangat menguras energi. Di usia kota Medan yang ke-426 ini semoga masalah kemacetan menjadi perhatian serius pemko Medan. Medan rumah kita semoga menjadi slogan yang mencerminkan realita bukan utopia.***
Penulis Mahasiswa FISIP Universitas Sumatera Utara