Merawat Warisan Budaya Pencak Silat

Oleh: J Anto

DARI bangku tribun penonton di GOR Pajajaran Bandung, sepasang mata Jainab, legenda Wushu Indonesia tahun 1990-an, tak berkedip saat menyaksikan 18 pesilat dari Sasana Pencak silat Kujang Panglipur, Baleendaah, Bandung memeragakan jurus-jurus “kanuraga” pada acara pembukaan pertandingan cabang olahraga (cabor) wushu PON 2016,  Minggu (18/9) pagi lalu.

Diiringi alunan instrumental lagu rakyat Sunda, Cing Cangkeling yang berasal dari empat alat musik, seruling, kecapi, tamborin dan terompet, para pesilat itu memeragakan jurus memukul, menangkis, membanting, menyepak dan menendang.

Seorang pesilat laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi besar, sigap menyabetkan  kujang, ke samping kiri-kanan, mengikuti irama gerakan kedua kakinya. Kujang adalah senjata khas orang Sunda, yang terbuat dari besi, baja dan bahan pamor, panjangnya sekitar 20 sampai 25 cm dan beratnya sekitar 300 gram. Kujang menjadi logo PON 2016.

Pesilat lain menggunakan pedang, kipas, trisula dan sobrah (rambut panjang yang diikat pada salah satu ujungnya). Mengenakan iket (penutup kepala) atau totopong dan spangsi, pakaian khas orang Sunda yang warna-warni. Gerakan-gerakan para pesilat dari Pagu­ron Silat Kujang Panglipur Balendaah, Bandung itu mengundang aplaus meriah penonton yang me­madati GOR Pajajaran.

“Gerakan kuda-kuda, menangkis dan memukul yang dilakukan para pesilat  mirip seperti gerakan dalam wushu. Bedanya dalam pencak silat, para pesilat terlihat seperti tengah menari,” ujar Jainab saat diminta tanggapannya. Jainab adalah  peraih medali perak taiji pada Kejuaraan Dunia 1995 di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.

Paguron Pencak Silat Kujang Pang­lipur menurut Masri Atmadja, pinisepuh aliran tersebut adalah aliran panglipur. Usia aliran panglipur sudah cukup tua. Lahir pada era penjajahan Belanda, pada 1909. Tokohnya adalah Abah Aleh seorang keturunan Banten. Lahir di Garut pada 1856 dan wafat pada 1980, pada usianya yang ke-124.

“Para sesepuh saat itu tengah berlatih ilmu kanuraga, ilmu beladiri, namun diintip oleh para serdadu Belanda yang khawatir bahwa mereka merupakan kelompok yang tengah menyiapkan pemberontakkan,” tutur Masri Atmadja. Untuk mengelabui serdadu Belanda para sesepuh yang tengah berlatih pencak silat kemudian menambahkan musik gendang saat berlatih.

“Itu biar mereka tidak dicurigai dan bisa terus berlatih pencak silat,” kata Masri Atmadja yang pada November ini akan genap berusia 80 tahun.

Masri menjelaskan pada awal kemun­culan­nya, tidak semua orang bisa mempelajari pencak silat. Hanya orang-orang terpilih, biasanya kaum bangsawan atau menak, serta mereka yang memiliki ilmu agama tinggi. Itulah sebabnya, silat sangat identik dengan nilai-nilai Islam. Sejarah juga mencatat bahwa dahulu latihan silat tidak pernah dilakukan secara terbuka dan pada siang hari. Para pesilat memilih berlatih malam hari setelah salat Isya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Namun pada perkembagannya, pencak silat diajarkan secara terbuka kepada siapa pun yang berminat. Termasuk orang-orang asing. Aliran Kujang Panglipur misalnya telah memiliki  cabang di Belanda.

“Padahal orang Belandanya datang ke Bandung dan belajar sama abah Masri Atmadja hanya sebentar. Tapi mereka canggih, bawa kamera dan rekam lalu buka paguron di sana,” ujar Achmad Hermawan (54) dengan tertawa. 

Pelipur Lara

Panglipur itu sendiri dalam bahasa Sunda artinya pelipur lara atau peng­hibur. Apa hubungannya pencak silat dengan hiburan?

Menurut sebuah sumber, nama Panglipur diberikan Bupati Bandung saat dijabat  Wiranatakusumah. Alkisah, Bupati Wiranatakusumah jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh. Di tengah sakitnya, bupati merasa ingin dihibur oleh kesenian silat yang dipimpin oleh Abah Aleh dan tembang Cianjuran yang dipimpin Hamim.

Dua kesenian itu terbukti bisa meng­hibur bupati hingga kesehatannya berangsur membaik. Setelah sembuh, Wiranatakusumah menganugrahkan penghargaan dengan memberikan nama kepada pencak silat Abah Aleh dengan nama Panglipur Galih (Pelipur Hati) dan kepada grup tembang Cianjuran Bapak Hamim diberikan nama Panglipur (Penghibur).

Musik yang mengiringi peragaan jurus-jurus pencak silat, sering perkem­bangan memang tak lagi berupa empat gendang Sunda, tapi juga ditambah alat musik lain agar makin atraktif bagi telinga penonton. 

Menurut pinisepuh Kujang Panglipur itu, orang yang belajar silat sebenarnya bukan sekadar belajar ilmu kanuragan, atau belajar bela diri. Atau hanya sekadar belajar igel-igelan atau menari pencak silat. Belajar beladiri pencak silat menurut Masri atmnadja lebih dari itu. Orang juga harus tahu filosofi pencak silat.

“Silat itu memiliki filosofi tepa-selira atau toleransi. Seorang pesilat bukan sekadar  bisa memukul atau menjatuhkan musuh, tapi memberi pelajaran musuh sehingga musuh menjadi tahu kenapa ia jatuh. Musuh akhirnya bisa melakukan koreksi diri,” kata Masri Atmadja.

Dalam wawancara dengan Radio BBC London, pesilat Yayan Ruhian, yang telah membintangi sejumlah film laga seperti film Merantau (2009) dan The Raid (2012) yang disutradarai Gareth Evans dan belakangan tampil dalam film berlevel internasional yang disutradarai Takashi Miike, sutradara asal Jepang, Yakuza Apocalpyse (2015), memberi contoh filosofi kuda-kuda atau sikap pasang. Sikap pasang di dalam pencak silat itu jarang melakukan posisi dengan tangan dikepal, tapi selalu dengan tangan terbuka.

Itu maksudnya bahwa pencak silat itu bukan sebuah bela diri untuk berantem (berkelahi) untuk memukul orang atau menyakiti orang. Tapi betul-betul untuk bela diri. Bahkan, di dalam sikap pasang, kalau ada yang mengajak berkelahi, pesilat masih mencoba mengatakan, “Jangan”.  Kalau kemudian lawan menyerang, hindarilah. Kalau masih juga mau menyerang, tangkislah dulu.

Setelah ditangkis, dan lawan masih bisa menyerang, ditangkap, dan  dikunci. Untuk melumpuhkan, untuk menga­lahkan orang, tidak harus menyakiti.

Dalam istilah Achmad Hermawan, Ketua Perguruan Pencak Silat Kujang Panglipur Baleendaah, pencak silat itu tidak menciptakan lawan tapi kawan. Pencak Silat mengutamakan sikap satria dan hubungan kemanusiaan.

Karena itu orang yang belajar pencak silat dengan serius, tak sekadar bisa igel-igelan atau sekadar menarikan jurus-jurus pencak silat, tapi juga harus bisa ngigelken dunia. Artinya orang yang belajar silat juga harus bisa bekerja dan menjadi pemimpin di segala bidang.

Dengan filosofi mulia seperti itu, warisan budaya bela diri asli Indonesia, sejatinya memang harus mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentngan yang ada. Terutama,  tentu saja, pemerintah.

Apalagi santer terdengar, sejak 2014, pencak silat telah diusulkan sebagai salah satu warisan budaya ke UNESCO. Pertanyaannya sudahkah itu?

()

Baca Juga

Rekomendasi