Oleh: Audrey
“NEK, ini kalung siapa? Antik sekali kelihatannya.“
Fifi menunjukkan kalung yang ditemukannya di dasar koper yang kusimpan di dalam lemari pakaian.
“Ini kalung nenek, Sayang. Pemberian dari seseorang yang istimewa buat nenek. Kalau Fifi suka, ambil saja ya?”
“Makasih, Nek. Fifi suka sekali dengan kalung ini. Ohya, nenek harus istirahat sekarang, barusan 'kan sudah Fifi berikan obat untuk nenek minum. Nah, biar cepat sembuh, nenek harus istirahat yang cukup.”
Aku hanya tersenyum memandangi cucuku yang paling kusayangi ini. Fifi memang perhatian sekali padaku. Padahal aku hanya merasa flu biasa, tapi cucuku yang satu ini sudah merasa cemas sekali. Sambil berbaring pikiranku menerawang ke masa silam, masa yang penuh dengan keceriaan khas seorang remaja.
Kala itu aku adalah siswi SMP yang penuh bakat, banyak kegiatan yang kuikuti sehingga banyak guru yang salut dan memberi perhatian ekstra padaku. Hal ini membuatku bangga juga was-was dengan antipati teman-teman sekolah yang iri pada keberhasilanku, juga pada perhatian yang diberikan guru-guru padaku. Waktu itu aku diibaratkan puteri raja, yang dikagumi segala-galanya, dari segi paras hingga kepintaranku.
Usiaku baru menginjak 14 tahun, saat itu. Aku mulai tertarik pada seorang guru muda yang mengajar matematika. Aku jadi makin menyukai mata pelajaran satu ini, padahal sebelumnya aku sangat anti dengan ilmu hitung-menghitung, yang terkadang rumusnya membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Kini, sebaliknya, aku malah bersemangat sekali untuk mempelajarinya. Semua rumus-rumusnya kuhapal cepat, sehingga untuk mata pelajaran yang satu ini, aku selalu mencapai nilai tertinggi di kelas. Mungkin guru yang satu ini begitu kukagumi dan kuidolakan sehingga aku jadi terlalu bersemangat begini.
Masa itu aku masih tak mengerti dengan perasaan aneh ini, yang merasa senang tak terkirakan bila bertemu dengan guru yang satu ini. Bila sehari tak berjumpa, rasanya semangat hidup jadi menurun 180 derajat. Perasaan aneh itu kujalani hingga dua tahun lamanya.
Tiba saat kenaikan kelas III, aku merasa sedih jika mengingat akan meninggalkan sekolah yang sangat kucintai. Selama 9 tahun aku bersekolah di sana, rasanya aku sudah begitu melekat dengan lingkungan dan keadaan sekolah itu. Sedih juga membayangkan akan berpisah dengan teman-teman yang kompak dan guru-guru yang memperhatikanku, terutama Pak Rick, guru idolaku.
Di malam perpisahan, aku dan teman-teman mengajak guru idolaku berfoto bersama. Malam itu, aku hanya bisa melihat senyumannya yang terakhir dan ucapan terakhirnya masih terngiang jelas di telingaku.
“Nanti di sekolah yang baru, kamu harus belajar yang rajin supaya bisa menjadi murid teladan seperti di sekolah ini ya, Astrid? Jarang-jarang Bapak menjumpai murid yang luar biasa sepertimu. Terus terang, Bapak kagum dengan kehidupanmu yang lain daripada yang lain. Tapi kamu tetap tabah menjalaninya. Nah, Bapak hanya bisa mendoakanmu dari jauh dan jaga dirimu baik-baik ya, Astrid.”
Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan selanjutnya acara perpisahan pun dimulai. Aku pun bergabung dengan teman-teman sekelas. Di malam itu, aku memberikan kado yang berisikan pulpen Parker kepada Pak Rick, guru idolaku itu. Dan Pak Rick juga memberikan kado yang luar biasa. Mau tahu apa isinya? Seuntai kalung berbentuk hati dan di liontinnya ada inisial namaku AL, Astrid Lousiana. Istimewa sekali, bukan? Sampai kini kalung itu masih kusimpan dengan baik hingga tadi ditemukan oleh Fifi di dasar koper.
Selama di bangku SMA di sekolah baruku, aku memang meraih predikat sebagai murid terbaik. Kehidupanku masih tak berubah, harus membantu mama mengerjakan pekerjaan rumah dan memelihara ayam, membantu mama menjahitkan pakaian langganannya. Sementara papa yang bekerja dengan penghasilan yang lumayan, cukuplah untuk membiayai sekolahku, Kak Pingkan, Bang Andrew dan adikku satu-satunya, Thomas.
Sebenarnya penghasilan papa cukup untuk membiayai hidup kami sekeluarga, tapi ada kebiasaan papa yang suka minuman keras sehingga membuat kehidupan keluargaku agak melarat.
Masa remajaku di bangku SMA kujalani dengan biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dan aku bertekad untuk menamatkan sekolah dengan hasil baik.
Teman-teman sekelasku berlomba untuk menarik perhatian Arie, cowok terganteng di kelas kami atau pun memburu kakak kelas kami yang punya doku tebal dan mantap. Tapi aku tak terusik dengan semua itu. Karena aku masih menyimpan sejuta harapan pada Pak Rick, yakni suatu saat nanti di saat aku sudah menjadi orang yang berhasil akan bertemu lagi dengannya.
* * *
Masa SMA telah berlalu, berganti dengan masa bekerja, masa mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga yang susah.
Utang papa semakin menumpuk akibat kebiasaannya itu sehingga aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ditambah lagi dengan adikku satu-satunya yang masih kelas II SMA. Mau tak mau aku harus mencari uang dengan giat. Untunglah, gaji Kak Pingkan cukup untuk membiayai makan sehari-hari. Sementara Bang Andrew merantau entah ke mana, tak ada kabar beritanya. Sementara gajiku yang minim, harus kutabung untuk biaya pendidikan Thomas.
Syukurlah, dua tahun terlalui dengan lancar. Tak terasa Thomas sudah menamatkan sekolahnya dan tinggal melanjut ke kuliah. Aku dan Kak Pingkan mengusahakan uang pendaftarannya. Semuanya kami kerjakan dengan hati rela dan gembira, sehingga waktu berjalan dengan cepat seakan berlari meninggalkan masa lalu yang kelam dan menyongsong masa depan yang tak ketahuan rimbanya.
Mungkin itulah sebabnya, akhirnya Kak Pingkan harus dilangkahi Bang Andrew yang pulang dari merantau sudah membawa isteri dan anak. Pikiran Kak Pingkan, kalau belum punya rumah untuk ditempati bersama orangtua serasa belum tuntas kewajibannya sebagai anak. Setelah uang terkumpul untuk bisa membeli sebuah rumah, ternyata usia Kak Pingkan pun sudah tigapuluhan. Malah Thomas pun sudah berancang-ancang untuk menikah dengan Leli, gadis yang dikenal di tempat kerjanya.
Sekali lagi Kak Pingkan pun dilangkahi oleh adik bungsu kami. Aku yang dilangkahi pun merasa cukup was-was, kenapa sampai saat ini aku belum juga berjumpa dengan orang yang sudah sekian tahun ini kucari? Aku masih meniti jalan setapak demi setapak untuk mencari jejak Pak Rick. Sebab hanya beliaulah satu-satunya orang yang bisa menggugah hati dan perasaanku.
Tapi sudah lelah aku mencari, tak ada hasilnya. Sampai waktu seakan berlari memburuku, dan jalan hidupku masih takberubah.
Kak Pingkan pun akhirnya menyusul menikah dengan laki-laki yang dikenal di tempat kerjanya. Sebenarnya aku juga akan dicalonkan dengan anak kenalan mama, tapi hatiku sama sekali tak tergerak untuk mengenal laki-laki lain lebih jauh. Entah kenapa hati, jiwa dan perasaanku sudah lenyap seakan ikut terbawa oleh Pak Rick bertahun-tahun lalu.
* * *
Di senja yang mendung, aku berjumpa dengan Nadya, teman sebangku-ku di SMP. Nadya masih seperti dulu, cantik, periang dan blak-blakan. Kami asyik sekali mengobrol di depan toko bunga yang kukelola. Aku pun mengajaknya untuk mampir ke rumah makan di seberang toko, supaya perbincangan kami makin seru. Ya, cerita demi cerita bergulir begitu saja. Mungkin terlalu lama kami berpisah sehingga mulut ini serasa tak bisa direm lagi.
“As, kamu masih ingat sepupuku, Anton? Dia masih menunggumu lho. Apakah pintu hatimu sudah begitu rapat kamu tutup, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengusik hatimu lagi? Astrid, usiamu sudah tak muda lagi. Sudah 33, apalagi yang masih kamu tunggu?”
“Nad, aku tak mau menyembunyikan darimu lagi kali ini. Aku hanya menunggu Pak Rick, guru matematika kita dulu. Aku hanya menyukainya. Tolonglah Engkau mengerti, Nad, dan jangan memaksaku untuk menerima Anton lagi. Please? Aku sudah lelah mencari jejak Pak Rick. Terus terang, aku ingin kamu ikut mencarinya, Nad. Bisakah?” tanyaku penuh harap.
Nadya sangat terkejut mendengar ini. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, yang jelas dia tampaknya susah mengatakan sesuatu yang diketahuinya dariku.
Aku pun hanya terdiam dan menyimak suara Chrisye sayup-sayup.
Di malam yang sesunyi ini, aku sendiri tiada yang menemani
Akhirnya kini kusadari, Dia telah pergi... tinggalkan diriku
Adakah semua kan terulang, adakah kisah cintaku yang seperti dulu….
Nadya memegang tanganku, dan menatapku dalam-dalam.
“Jadi..., kamu belum mengetahuinya, Astrid? Kuharap Engkau mau melupakan cinta pertamamu itu. Mungkin Kamu terlalu terobsesi dengan idola masa kecilmu, sehingga begitu mengagung-agungkan sosok Pak Rick. Sadarlah As…. Aku sahabatmu sedari kecil, aku tak mau melihatmu hidup dengan penantian begini terus, mau sampai kapan, Astrid? Aku tak sabar kalau harus melihatmu hidup termenung begini terus. Astrid, maukah Kamu mengubah diri kalau aku menceritakan kejadian yang sebenarnya padamu?”
“Sebenarnya ada kejadian apa yang menimpa Pak Rick, Nad? Ceritakanlah!“
Nadya hanya menghela napas panjang melihat gelagatku yang tak mau berjanji untuk mengubah diri. Kami terdiam beberapa saat, yang terdengar hanya nyanyian sedih dari Chrisye.
…hanya dirimu yang kucinta dan kukenang
Di dalam hatiku, takkan pernah hilang
Bayangan dirimu untuk selamanya....
“Aku bukannya keras kepala, Nad. Tapi hatiku memang tak bisa lagi untuk menerima kehadiran orang lain, dari dulu pun sudah kucoba dan hasilnya memang tak bisa. Bukannya aku tak mau, Nad. Tolonglah untuk mengerti keadaanku ini, Nad,“ aku memelas.
“Baiklah, tapi kamu jangan shock kalau sudah mendengar ceritaku ini nanti ya, As?”
Aku mengangguk.
“Sebenarnya Pak Rick kena kanker otak. Sangat disayangkan memang kalau mengingat beliau sangat pintar dan ulet. Pantasan beliau nampak kurus sekali waktu itu 'kan? Nah, begini saja ceritaku, As.“
Aku menatap Nadya dengan pandangan nanar seakan tak percaya. Apakah Nadya tadi mengatakan Pak Rick mengidap kanker otak? Aku merasa Nadya masih belum menceritakan semuanya dengan lengkap, dengan tangan dingin dan gemetaran aku memegangi tangannya kuat-kuat.
“Jadi, Pak Rick bagaimana? Apakah sudah tiada, Nadya? Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya padaku? Mengapa…?“
“Ya, Pak Rick sudah meninggal lima tahun yang lalu. Astrid, tabahkanlah hatimu,“ Nadya berbisik. Tapi aku sudah merasakan pandanganku gelap gulita.
* * *
Kini, usiaku sudah genap 60 tahun. Aku hanya ditemani cucu dari anak angkatku. Aku tak pernah menikah. Takdir sudah menentukan bahwa aku tak bisa tertarik dengan pria lain, sehingga orangtuaku pun tak bisa memaksakan kehendak mereka supaya aku berumah tangga. Aku sudah bersyukur sekali mendapat anak angkat dan cucu yang perhatian di saat-saat seperti ini.
Malam ini aku tertidur dalam keadaan damai, mengenang kembali semua kejadian manis dan pahit dalam hidupku, kenangan paling mengesankan sewaktu bertemu Pak Rick dan menikmati masa-masa muda dengan segudang perhatiannya. Ah… mati pun aku sudah merasa puas jika sudah mengingat semua ini. Aku merasa tubuhku melayang-layang di angkasa, rasanya semua beban hidup ini terlepas sudah, aku merasa damai. Tubuhku seringan bulu dan mengarungi seluruh jagad raya ini hingga di satu lingkaran yang penuh dengan nuansa kejinggaan. Di sana, aku melihat seraut wajah yang kurindukan selama ini Tangannya menjulur ke arahku dan aku menyambutnya. Kami berdua terbang menembus ruang waktu.
Di bawah aku melihat sekilas Fifi yang menangis memanggil-manggil dan mengguncang tubuh tua yang ada di tempat tidurku. Tapi tubuh itu telah kaku dan mendingin. Yang kurasakan hanyalah... aku terbang bersama Pak Rick, orang yang kunantikan seumur hidupku.
…mengapa terjadi pada dirimu
Aku tak percaya kau telah tiada
Haruskah kupergi tinggalkan dunia
Agar aku dapat berjumpa denganmu….
* Oktober 2013