Oleh: Meyarni.
Mana lebih berbahaya, sehat tapi sakit atau sakit tapi sehat? Jika harus memilih, kebanyakan orang pasti akan memilih pernyataan kedua. Meski seseorang dalam keadaan sakit tapi merasa sehat, itu akan jauh lebih baik dibanding seseorang yang merasa sakit, meski kenyataannya ia “tampak” sehat. Memang, idealnya, seorang yang sehat memiliki fisik dan perasaan tidak sakit.
Itu sebabnya, defenisi sehat oleh WHO, adalah sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan spiritual. Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Harus diakui, di zaman sekarang, mencapai standart sehat seperti yang diamanatkan WHO tidaklah mudah. Kenyataannya banyak orang yang fisiknya sehat, tetapi pikirannya sakit. Sayangnya, tak banyak di antara mereka yang menyadari hal itu.
Dalam terminologi psikologi kesehatan, kita mengenal istilah psikosomatis. Penyakit ini disebut-sebut berawal dari pikiran yang kemudian menganggu kesehatan fisik seseorang. Pikiran-pikiran sakit itu bisa memengaruhi kerja organ-organ tubuh seseorang. Namun tidak jarang, pada tahap awal, secara fisik, gejala itu tidak dapat dideteksi oleh alat-alat medis. Maka tidak heran sering kita mendengar seseorang yang tengah sakit, tetapi ketika diperiksa secara medis, hasilnya negatif.
Karena tidak menemukan jawaban itu, akhirnya keadaan ini pun sering dikait-kaitkan masyarakat ke dalam perspektif klenik. Banyak pula di antaranya yang memilih pengobatan alternatif sebagai solusi atas penyakititu. Beruntung bila orang tersebut memilih orang yang tepat, yakni pengobat tradisional yang tidak hanya menyandarkan kemampuan pengobatan secara batiniah, namun juga disertai dengan kecakapan medis. Banyak yang terjebak pada pengobat tradisional yang melulu klenik.
Dapat kita bayangkan, pengobat tradisional itu memaksakan ramuan tertentu, yang tidak ada kaitannya dengan penyakitnya. Alhasil organ-organ tubuh yang awalnya sehat, malah menjadi sakit, karena dipaksa menerima “zat” yang tak sesuai dengan porsi dan kebutuhan.
Demikian juga dengan pikiran pasien. Semula rasional menjadi irasional. Ia dipaksa meyakini sesuatu yang seringkali tak ada hubungan dengan penyakitnya. Malah sering dipaksa meyakini sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pikiran pun menjadi semakin sakit manakala pasien harus membayar mahal untuk biaya pengobatannya itu. Padahal yang terjadi, orang tersebut sedang mengalami gangguan pikiran. Penyakit yang semua orang pasti mengalaminya.
Perasaan Negatif
Merasa negatif adalah hal yang dialami setiap orang, terutama pada fase-fase tertentu. Pada remaja awal, perasaan ini biasanya cepat berkembang. Apalagi jika remaja tersebut tumbuh dan besar dalam lingkungan yang terbiasa saling menjatuhkan satu dengan yang lain.
Istilah imajinary audience serta personal thales menandai fase remaja awal, yaitu berupa pikiran negatif terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Gejalanya, si remaja merasa bahwa ia adalah satu-satunya yang mengerti akan dirinya dan menganggap bahwa orang lain sekedar penonton. Ia juga merasa bahwa orang lain terlalu memberinya tekanan, sehingga ia menjadi rendah diri dan berupaya berontak.
Pada dasarnya, seiring waktu oleh berkembangnya kognisi serta pengalaman, kedua perasaan itu akan hilang dengan sendirinya, tetapi bagi remaja yang terjebak perasaan itu terus menerus, sekalipun ia sudah tidak lagi remaja, akan berpengaruh buruk. Cepat atau lambat akan mengidap penyakit pikiran. Salah satunya psikosomatik. Seperti diurai di atas, psikomatik sendiri adalah penyakit yang berawal dari gangguan pikiran. Dalam keadaan akut, pengaruhnya akan sampai menyerang organ-organ fisik seseorang.
Menjadi Bahagia
Mengulang saran para psikolog, obat yang paling mujarab adalah pikiran bahagia. Berdasarkan riset, orang-orang dengan pikiran bahagia, terbilang jarang sakit dan berumur tua. Pikiran bahagia akan membuat seseorang menikmati hidupnya, baik di kala susah apalagi gembira. Pikiran bahagia akan menjaga fungsi syaraf-syaraf otak sesuai dengan porsinya. Otak sendiri merupakan pemimpin dari semua organ serta mekanisme tubuh manusia. Jika otak sehat, maka fungsinya akan maksimal. Dengan kata lain, kerja-kerja organ lainnya ikut maksimal.
Pikiran bukan semata-mata dipengaruhi otak. Manusia juga memerlukan “sesuatu” selain organ-organ fisiknya, yakni nilai-nilai. Nilai-nilai yang dianut juga akan berpengaruh besar bagi kestabilan fungsi otak. Keterbatasan otak manusia serta rangsangan dari luar cenderung rentan memengaruhi otak. Dengan adanya nilai-nilai itu, kekurangannya akan dapat ditutupi.
Karena itu kita sering mendengar prinsip keseimbangan, di mana antara otak dan hati yang dianggap mewakili nilai-nilai itu, saling berhubungan. Di satu sisi, hubungan itu bisa saling menguatkan. Di sisi lain, bisa saling mengkritisi.
Dalam teori freud, bentuk kerjasama itu diistilahkan sebagai trilogi id, ego dan super ego. Id merupakan energi dasar yang menggerakkan manusia. Sedangkan ego dan super ego mempunyai cara kerja layaknya otak dan hati.
Mengutip Kazuo Murakami Ph D seorang ahli genetika dari Jepang yang menyatakan dalam bukunya “The Divine Message of the DNA” bahwa faktor faktor positip seperti kegembiraan, sukacita,keyakinan dan doa dapat mengaktivasi gen-gen yang bermanfaat. Sementara faktor negatif seperti kegelisahan, stress, kesedihan, rasa takut, dapat menon-aktifkan gen yang bermanfaat dan sebaliknya mengaktifkan gen yang tidak bermanfaat (buruk). Perasan dan pikiran dapat mengaktifkan gen kita. Bahkan sebagian besar gen kita yang sedang tidur dapat diaktifkan oleh kekuatan pikiran dan perasaan.