Nasib Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk?

Oleh: Riduan Situmorang

TAK LAMA ini, Indra Trang­gono menggelisahkan ba­hasa daerah. Dia meringkaskan sedikit bagaimana bahasa dae­rah dalam pelukan pergantian rezim senantiasa berubah. Ber­mula dari semangat populisme masyarakat yang dengan gegap gempita mendaulat bahasa Me­la­yu menjadi induk kandung dari bahasa Indonesia.

Saya lebih su­ka menyebutnya sebagai pemekaran bahasa da­erah menjadi bahasa nasional. Sejak saat itu, bahasa Melayu res­mi ditabalkan menjadi baha­sa Indonesia sekaligus menjadi langgam pemersatu.

Dalam hal ini, Melayu bukan lagi identitas kesukuan, melain­kan identitas kebangsaan dan ke­banggaan. Dikatakan demiki­an karena bahasa Indonesia ti­dak serta-merta menghapus, apa lagi mengeliminasi bahasa daerah. Penabalan bahasa Mela­yu pun bukan menjadi simbol, Melayu perkasa dan yang lain lemah sehingga bisa dijajah sesuka hati. Penabalan ini lebih cocok disebut sebagai simbol kemauan untuk bersatu. Tanpa peduli siapa yang lebih besar, siapa yang lebih kecil.

Ini adalah penerimaan, bu­kan penjajahan. Suku Jawa, mi­salnya, tak ngotot harus mem­buat bahasa Jawa sebagai bayi tung­gal untuk bahasa Indonesia. Suku Batak pun tak berkeras hati.

Atas nama kemauan bersatu, baik Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, maupun Jong-jong lainnya membentuk suatu iden­titas dengan sebuah sumpah yang sakral. Singkatnya, dipilih­nya bahasa Melayu bukan ber­da­sarkan kesukuan, melainkan karena potensi bahasa itu untuk menyatukan suku bangsa sangat besar.

Lingua Franca

Betapa tidak? Saat itu bahasa Melayu adalah lingua franca. Dasar-dasar historis untuk mem­buktikan hal itu sudah ba­nyak. Dari prasasti yang dite­mukan di Palembang. Misalnya (683 Masehi), dapat diketahui, ba­hasa Melayu (kuno) sudah di­gunakan sebagai alat komuni­ka­si masyarakat. Prasasti itu meng­gunakan bahasa Melayu ku­no dengan aksara Pallawa. Karena Sriwijaya punya penga­ruh luas di Nusantara, warga di wilayah Nusantara yang berin­teraksi dengan Sriwijaya pun itu pun pasti memakai bahasa Me­layu.

Bahkan, ada beberapa nega­ra ASEAN yang dulu sangat ak­rab dengan bahasa Melayu, seperti Singapura dan Malaysia. Menariknya, Sriwijaya, seperti kita tahu, adalah simbol keagu­ngan Nusantara di masa lampau. Kerajaan ini sangat maju, terma­suk dalam kesusastraan dan il­mu pengetahuan (agama). De­ngan begitu, keagungan Sriwi­jaya (juga Majapahit) adalah ke­agungan sekaligus mimpi kita bersama saat itu.

Pada abad XIV, Kerajaan Ma­laka kemudian merdeka. Tak bisa dimungkiri, Kerajaan Malaka punya pengaruh besar di wilayah timur Nusantara. Ke­rajaan Malaka sangat aktif me­nyebarkan agama Islam.

Penyebaran agama Islam se­jalan dengan penyebaran baha­sa Melayu, bahkan bahasa Me­layu menjadi mediumnya. Kera­jaan inilah yang kelak mempu­nyai andil besar untuk menye­barkan bahasa Melayu di Timur Indonesia. Ini sudah cukup mem­buktikan, bahasa Melayu benar-benar bukan lagi semata ba­hasa kesukuan, tetapi sudah menjadi bahasa perantara.

Atas dasar itulah bahasa Me­layu dibuat menjadi bahasa Indonesia. Meski begitu, bahasa Indonesia pada saat itu tetap me­lindungi bahasa daerah lain­nya. Pada periode selanjutnya, bahasa Indonesia pelan-pelan ter­cipta (atau sengaja dicipta?) menjadi predator dan pemamah biak bahasa daerah.

Setidaknya itu bisa dirunut da­ri ketika Orde Lama berakhir, di mana semangat populisme berubah menjadi semangat elitis. Semua serba terpusat. Politik pun berubah, dari antimodal asing menjadi pro. Dengan be­gitu, ekonomi menjadi pusat per­hatian.

Apalagi saat itu, pemerintah kita kegandrungan ekonomi di ma­na definisi ekonomi dibuat sangat dekat dengan pembangu­nan. Syahwat membangun dari pemerintah sangat terasa. Ter­nya­ta pembangunan rupanya tak selalu ramah. Pembangunan juga membawa murkah. Pem­bangunan bahkan tak banyak be­danya dengan pengrusakan. Betapa tidak, dengan memba­ngun yang baru, kita sebenarnya sedang merusak yang lama. Yang lama itu termasuk di da­lamnya adalah tradisi dan buda­y­a, seperti bahasa daerah. De­ngan kata lain, banyak memba­ngun juga mengandung penger­tian banyak merusak.

Ironisnya, pembangunan (baca: perusakan) ini tak berhen­ti, malah semakin membahana. Setelah Orde Baru tergusur, eko­nomi justru semakin berkuasa. Ekonomi tak lagi urusan nasio­nal, tetapi sudah menjadi urusan internasional. Semua bebas ma­suk, bebas keluar. Bebas mem­ba­ngun, bebas merusak.

Tak ada lagi batas-bata teri­to­rial. Nasionalisme seperti ter­gantikan internasionalisme sete­lah sebelumnya sukuisme juga ditukar nasionalisme. Namanya globalisme. Pada paham ini, adab-adab negara maju menja­di acuan utama. Negara-negara berkembang akhirnya seperti sengaja digilir untuk berpacu di lintasan untuk mengejar negara maju.

Kenyataan ini lalu berimbas pada ditinggalkannya adab-adab lama secara perlahan. Memang, di tengah peristiwa itu, kita men­dengar ada banyak seruan nya­ring agar adab itu dilestarikan. Pe­ngertian melestarikan bagi kita sudah berbelok: sudah lebih pada dogma bahwa yang diles­tarikan itu kini sudah mati.

Celakanya, yang mati tak bisa dihidupkan lagi. Karena itu, pe­lestarian cukup dimaknai seba­gai perayaan, ritual, bahkan zia­rah. Lihatlah, artefak-artefak bu­daya dikumpulkan lalu disema­yamkan di museum.

Di museum ini, artefak itu di­pajang. Ada kecenderungan pa­da kita, semakin banyak terpa­jang, semakin kita melestarikan budaya. Walhasil, kita mengar­tikan pelestarian sebagai festival penumpuk benda-benda ber­sejarah.

Siapa pun bisa menumpuk, ter­masuk orang dari luar negeri. Pada posisi seperti inilah bagi kita menghormati budaya sudah cukup dengan mengunjungi mu­seum (ziarah). Dengan kata lain, secara tak langsung kita sudah mewakafkan adab itu. Ada pun kedatangan kita hanyalah untuk berziarah.

Alarm Kuat

Hasilnya, lihatlah kenyataan di mana beratus-ratus bahasa da­erah terancam punah, bahkan sudah banyak yang punah. Punah bukan karena bahasa itu tak mem­punyai kata-kata untuk di­tuturkan, tetapi karena bahasa itu tak lagi mempunyai penutur. Kita sudah lebih bangga meng­abadikan kata-kata itu di kamus, lalu memajangnya di museum.

Selekas itu, bagi kita, lesta­rilah budaya dan itu sudah beres. Sebab seperti tadi, melestarikan budaya cukup dengan menggali, mencari, lalu membungkusnya. Inilah periode di mana bahasa daerah tergusur.

Setelah bahasa daerah, ter­nya­ta target selanjutnya adalah ba­hasa nasional. Ini masuk akal sebab bahasa daerah adalah be­nih bahasa nasional. Tergu­sur­nya bahasa daerah sama dengan tergusurnya bahasa nasional. Wu­jud paling gampangnya bisa kita lihat dengan kenyataan di mana anak bangsa yang tinggal di kota sudah lebih doyan meng­gunakan bahasa asing (sebe­lum­nya, warga kampung sudah ke­canduan bahasa nasional). Bahkan, pada percakapan seha­ri-hari, kita sudah menganak­tirikan bahasa nasional.

Hal itu dengan mudah dapat kita lihat pada anak-anak penutur bahasa Indonesia masa depan. Me­reka sudah dicekoki bahasa asing. Toleh, misalnya, tulisan The New York Times (25 Juli 2010) dengan judulnya yang provokatif: “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”.

Di sana dikisahkan beberapa anak yang bermain di Jakarta su­dah mahir menggunakan baha­sa Inggris, tetapi tak tahu ber­ba­hasa Indonesia sama sekali. Se­perti inilah dulunya gejala pu­nah­nya bahasa daerah. Saya kha­watir ke depan, bahasa Indo­nesia akan menjadi artefak. Kita akan mengunjunginya di kamus yang terbungkus dan tersimpan rapi di museum.

Pada masa itu dalam imaji­nasi saya, ketika membuka ka­mus di museum itu, kita membi­carakan bahasa Indonesia de­ngan bahasa asing. Untunglah, baru-baru ini Kementerian Pen­di­dikan dan Kebudayaan sudah mengajak seluruh gubernur dan bupati/wali kota si Indonesia. Diminta untuk mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia melalui surat Nomor 5947/G/BS/2016 tentang Pemartabatan Ba­hasa Indonesia (terlampir). Setidaknya, ajakan itu menjadi alarm kuat bagi kita. Kini nasib bahasa Indonesia berada di ujung tanduk. Mudah-mudahan alarm itu dapat kita dengar!

Penulis Adalah Konsultan Bahasa di Prosus Inten dan Aktif di Toba Writer Forum

()

Baca Juga

Rekomendasi